tirto.id - Kiai Haji (KH) Hasyim Asy'ari merupakan tokoh pahlawan nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai pendiri organisasi Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).
Biografi KH Hasyim Asy'ari dan latar belakang pendidikan telah tercatat sejak abad ke-19. Ia diketahui lahir di kalangan keluarga agamis dan pendiri pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur.
Latar belakang keluarganya ini kemudian memengaruhi pemikiran KH Hasyim Asy'ari yang menuntunnya menjadi tokoh besar di dalam negeri. Tak hanya berpengaruh sebagai individu, generasi sebelum dan keturunan KH Hasyim Asy'ari juga merupakan tokoh besar Indonesia.
Bahkan dipercaya, silsilah KH Hasyim Asy'ari masih berkaitan dengan pendiri agama Islam, Nabi Muhammad SAW. Tak hanya itu, ia juga merupakan kakek dari mantan presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur.
Terlepas dari silsilahnya yang banyak berisi tokoh-tokoh penting, KH Hasyim Asy'ari sebagai individu merupakan sosok menginspirasi. Perjuangan KH Hasyim Asy'ari tak hanya di bidang keagamaan, tetapi juga upaya meraih kemerdekaan Indonesia.
Pengaruh KH Hasyim Asy'ari masih sangat besar hingga saat ini, khususnya di kalangan pengikut NU.
Biografi singkat KH Hasyim Asy'ari
KH Hasyim Asy'ari lahir dengan nama Muhammad Hasyim pada 14 Februari 1871 di Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama KH Asy'ari dan ibunya bernama Nyai Halimah. Ia merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara.
Muhammad Hasyim lahir dari kalangan keluarga agamis dan pendiri pondok pesantren besar di Jawa Timur. Ayahnnya, Kiai Asy'ari adalah pendiri Pondok Pesantren Keras yang berdiri di Desa Keras, Jombang.
Sang ayah dulunya juga merupakan seorang santri yang berguru pada Kiai Usman, pendiri Pondok Pesantren Nggedang. Kiai Usman adalah kiai terpandang di Jombang kala itu, sekaligus ayah kandung ibunda KH Asy'ari, Nyai Halimah.
Keduanya dinikahkan pada usia yang masih sangat muda. Heru Sukadri dalam Kiai Haji Hasyim Asy'ari: Riwayat Hidup dan Pengabdiannya (1985) menyebut bahwa Hasyim Asy'ari kurang mendapatkan asuhan dari kedua orang tuanya.
Barangkali ini ada kaitannya dengan jumlah saudaranya yang begitu banyak, sehingga kasih sayangnya terbagi. Untungnya, Hasyim memiliki kakek dan nenek yang sangat mencintai dan dicintainya.
Ia tumbuh di lingkungan Pondok Pesantren Nggedang, hingga akhirnya pindah ke Desa Keras mengikuti sang ayah yang mendirikan pondok pesantren di wilayah itu. Memiliki keluarga yang berlatar belakang santri dan pendidik membuat Hasyim kecil menyadari pentingnya ilmu.
Ia melumat habis buku-buku agama di pondok pesantren yang didirikan sang ayah bahkan sebelum menginjak usia remaja. Hasyim kecil juga menyerap nilai-nilai luhur yang dijunjung para santri di sekitarnya, seperti hidup sederhana, gotong royong, dan semangat belajar.
Kemudian, pada saat usianya remaja Muhammad Hasyim memutuskan untuk berkelana menuntut ilmu. Meskipun keluarganya adalah pemilik pondok pesantren besar, ia tetap rendah hati dan mau belajar di pesantren-pesantren lainnya.
Ia kemudian belajar dari satu pesantren ke pesantren lain di daerah Jawa Timur. Saat usianya masih 15 tahun, ia mengembara ke Tuban, Surabaya, Probolinggo, Madura, hingga akhirnya ke Sidoarjo. Di Sidoarjo, ia belajar di Pondok Pesantren Siwalan Panji yang dipimpin oleh Kiai Yaqub.
Sosok Muhammad Hasyim saat itu sangat disukai oleh Kiai Yaqub sehingga dijodohkan dengan sang putri bernama Nafisah. Perjodohan itu diterima dan keduanya menikah pada 1892, ketika Muhammad Hasyim berusia 21 tahun.
Setelah menikah, Hasyim dan Nafisah pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Tak hanya itu, keduanya juga berencana untuk tinggal di sana sembari belajar tentang agama Islam.
Di Mekkah pula, sang istri akhrinya hamil anak pertama mereka yang kelak diberi nama Abdullah. Sayangnya, tidak lama setelah Abdullah lahir, Nafisah meninggal dunia karena sakit.
Sang putra, Abdullah yang dikira Hasyim bisa jadi pelipur lara kehilangan istri tercintanya malah menyusul sang ibunda. Abdullah meninggal tak sampai 40 hari sejak Nafisah meninggal. Dirundung duka yang mendalam, Muhammad Hasyim kembali ke tanah air pada 1893.
Namun, ia kembali tidak lama dan kembali lagi ke Mekkah bersama sang adik Anis pada tahun yang sama. Pada kunjungan keduanya di Mekkah ini Hasyim singgah lama di Mekkah selama 7 tahun untuk belajar agama dengan lebih keras.
Ia berguru pada ulama-ulama terkemuka seperti Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Salih al-Samarqandi, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan sebagainya. Ia banyak mendalami ilmu tauhid, tafsir, hadis, dan belajar bahasa Arab.
Selama merantau, ia kembali dirundung duka dengan kepergian adik kandungnya, Anis. Namun, pada 1899 jelang akhir kunjungannya di Mekkah, Hasyim bertemu dengan Kiai Romli.
Dikutip dari NU Online, Kiai Romli adalah ulama ahli ilmu tauhid dan fikih yang sangat terkenal di Jawa Timur saat itu. Ia datang ke Mekkah bersama putrinya bernama Khadijah yang dijodohkan dengan Hasyim.
Perjodohan itu diterima dan keduanya menikah pada 1899. Namun pernikahan itu tak bertahan lama, karena dua tahun kemudian pada 1901, Khadijah meninggal dunia karena sakit.
Setelah menikah, Muhammad Hasyim dan istrinya, Khadijah, memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Saat kepulangan tahun 1899 inilah ia mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.
Dari sinilah ia dikenal dengan nama KH Hasyim Asy'ari. Tebuireng dipilih bukannya tanpa alasan. Pasalnya, masyarakat di desa ini belum memperoleh pendidikan yang layak dan masih terikat dengan pengaruh Belanda.
Oleh karena itu, Pondok Pesantren Tebuireng ini diharapkan dapat memodernisasi masyarakat setempat sehingga mampu mengurangi pengaruh Belanda. Pondok pesantren ini awalnya hanya memiliki 27 murid.
Namun seiring berjalannya waktu, murid-murid yang belajar di Pondok Pesantren Tebuireng semakin bertambah, dari ratusan bahkan ribuan. KH Hasyim Asy'ari tak hanya memberikan ajaran keagamaan kepada para santrinya kala itu.
Ia juga memberdayakan para santri serta memupuk jiwa-jiwa nasionalisme dan anti-penjajahan. KH Hasyim Asy'ari juga begitu tegas menolak pemerintahan kolonial saat itu.
Tak hanya menolak medali kehormatan dari Belanda, KH Hasyim Asy'ari juga mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam naik haji menggunakan fasilitas milik Belanda.
Kemudian, KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab menggagas sebuah organisasi keagamaan yang bukan hanya untuk melestarikan nilai-nilai Islam tetapi juga mempersatukan umat. Melalui persatuan inilah diharapkan umat Islam di Indonesia bisa bekerja sama melawan para penjajah.
Gagasan keduanya inilah yang nantinya akan melahirkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini baru bisa didirikan pada 1926, usai KH Wahab belajar agama ke Mekkah.
Lalu, bersama dengan ulama lainnya yaitu KH Wahab dan KH Bisri Syansuri, NU resmi didirikan di Surabaya, 31 Januari 1926. Organisasi ini awalnya hanya bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Tujuannya tentu untuk memberdayakan masyarakat agar memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik sehingga mampu melawan penjajah. Perjuangannya melawan penjajah tak sampai di sana.
Ia juga mengeluarkan fatwa jihad atau yang kini dikenal sebagai Resolusi Jihad pada masa Agresi Militer Belanda I 1947. Resolusi Jihad ini ia tunjukkan kepada kaum santri untuk ikut berperang (jihad) melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Berkat Resolusi Jihad yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy'ari ini, masyarakat di Jawa Timur dapat bertahan dari serangan militer Belanda dan kemerdekaan Indonesia dapat diraih. Saat ini, peristiwa Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy'ari diperingati setiap tahun sebagai Hari Santri Nasional.
KH Hasyim Asy'ari meninggal pada 25 Juli 1947 di tengah-tengah situasi Agresi Militer Belanda 1. Masih dikutip dari NU Online, saat itu baru masuk bulan puasa dan KH Hasyim Asy'ari menerima kabar bahwa Malang sudah diduduki Belanda.
Kabar buruk itu begitu mengguncangnya yang saat itu sudah berusia sepuh, yaitu 76 tahun. Saat itu juga ia memegang kepalanya dan berteriak “Masya Allah, masya Allah!.”
Setelah itu, KH Hasyim Asy'ari jatuh tak sadarkan diri. Menurut dokter ia mengalami pecah pembuluh darah otak dan meninggal dunia. Wafatnya KH Hasyim Asy'ari itu menorehkan luka mendalam, tak hanya bagi keluarganya tetapi juga para santrinya.
Ia kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman dekat Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Hingga saat ini, makamnya masih sering didatangi oleh para peziarah yang begitu menghormatinya.
Kemudian, 17 tahun setelah wafatnya KH Hasyim Asy'ari, ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Statusnya sebagai Pahlawan Nasional ini diberikan bertepatan pada bulan pahlawan pada 17 November 1964 oleh Presiden Sukarno.
Silsilah KH Hasyim Asy'ari
Silsilah KH Hasyim Asy'ari melibatkan sejumlah nama-nama tokoh penting. Pasalnya, sosok Pahlawan Nasional itu diduga memiliki darah Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Nabi Muhammad SAW.
Garis keturunan Rasulullah ini berasal dari nasab sang ayah dan ibunya. Ayah KH Hasyim Asy'ari, yaitu Kiai Hasyim merupakan keturunan dari salah satu walisongo, yaitu Muhammad Ainul Yaqin alias Sunan Giri.
Sunan Giri adalah walisongo yang merupakan keturunan Nabi Muhammad dari nasab Husain bin Ali. Sementara itu, ibunda KH Hasyim Asy'ari bernama Nyai Halimah, adalah keturunan langsung dari Raja Brawijaya IV bernama Lembu Peteng alias Jaka Tingkir. Jaka Tingkir diketahui merupakan keturunan ke-23 Nabi Muhammad
Keturunan KH Hasyim Asy'ari juga merupakan tokoh nasional terkenal. Diketahui KH Hasyim Asy'ari menikah sebanyak 4 kali. Namun, pernikahannya itu bukan terjadi karena poligami, melainkan karena istri-istrinya meninggal dan menikah lagi (cerai mati).
Anak dari istri pertamanya bernama Abdullah meninggal saat masih bayi. Sedangkan ia tidak memiliki anak dari isti keduanya, Khadijah. Setelah Khadijah meninggal, ia menikah lagi dengan anak Kiai Ilyas, pemilik Pesantren Sewulan Madiun bernama Nafiqah.
Pernikahan KH Hasyim Asy'ari dengan Nafiqah ini dikaruniai 10 orang anak, salah satunya Abdul Wahid Hasyim. Abdul Wahid Hasyim sendiri merupakan Mantan Menteri Agama Indonesia sekaligus Ketua Partai Masyumi.
Abdul Wahid Hasyim ini kelak memiliki enam orang anak. Anak pertamanya bernama Abdurrahman Wahid alias Presiden ke-4 Indonesia. Dengan kata lain, Gus Dur adalah cucu dari KH Hasyim Asy'ari.
Setelah Nafiqah meninggal dunia, KH Hasyim Asy'ari menikah lagi dengan Masrurah. Masrurah adalah putri dari Pemimpin Pondok Pesantren Kapurejo, Kediri. Pernikahan KH Hasyim Asy'ari dan Masrurah dikaruniai empat orang anak, yaitu Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub.
Berikut ini gambaran silsilah KH Hasyim Asy'ari:
1. Kakek buyut dari Ibu: Kiai Sihah
2. Kakek dari Ibu: Kiai Utsman
3. Ayah: Kiai Asy'ari
4. Ibu: Halimah
5. Istri 1 Nafisah
6. Istri 2: Khadijah
7. Istri 3: Nafiqah
8. Istri 4: Masrurah
9 Anak dari pernikahan dengan Nafisah: Abdullah
10. Anak dari pernikahan dengan Nafiqah:
- Hannah
- Khoiriyah
- Aisyah
- Azzah
- Abdul Hakim
- Abdul Karim
- Ubaidillah
- Mashurah
- Muhammad Yusuf.
- Abdul Qadir
- Fatimah
- Khadijah
- Muhammad Ya’qub
- Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
- Salahudin Wahid
- Lily Chodidjah Wahid
- Hasyim Wahid
- Aisyah Hamid Baidlowi
- Umar Wahid
Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Pemikiran KH Hasyim Asy'ari sebagai ulama banyak berfokus pada pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan. Hal ini sesuai dengan latar belakang KH Hasyim Asy'ari yang sangat menjunjung tinggi sebuah ilmu.
Menurut Zainur Rosyid dalam IQ: Jurnal Pendidikan Islam Volume 5 (2022) pemikiran KH Hasyim Asy'ari tentang pendidikan adalah belajar merupakan ibadah untuk mencari ridho Allah yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, belajar atau menuntut ilmu bukan sekadar menghilangkan kebodohan, tetapi juga mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai agama. Lebih lanjut, Rosyid menilai setidaknya ada dua poin utama yang bisa diuraikan dari pemikiran KH Hasyim Asy'ari, yaitu:
- Pendidikan adalah cara untuk mempertahankan status manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
- Pendidikan penting untuk menciptakan masyarakat berbudaya dan beretika.
UU yang sama menegaskan bahwa pendidikan juga berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi dasar KH Hasyim Asy'ari dalam menyebarkan pendidikan, baik lewat Pondok Pesantren Tebuireng maupun NU.
Editor: Dhita Koesno