tirto.id - Setelah dua tahun pemerintah Indonesia vakum memberangkatkan jemaah haji imbas dari pandemi COVID-19, kabar kesepakatan tentang kuota haji sebanyak 221 ribu jemaah tahun ini terdengar bak angin segar. Rincian kuota tersebut terdiri atas 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus.
Kuota itu sama seperti tahun 2019 dan meningkat lebih dari dua kali lipat ketimbang tahun lalu, yakni 100.051 jemaah. Selain persoalan kuota, menukil laman Kementerian Agama (Kemenag), aturan pembatasan usia jemaah haji pun dicabut. Sebelumnya Arab Saudi memang sempat menerapkan syarat usia jemaah haji 2022 di bawah 65 tahun seturut pandemi COVID-19 yang belum usai.
Tahun 2020 dan 2021 bahkan lebih ketat, yakni ibadah haji dibatasi khusus untuk penduduk dalam Kerajaan Arab Saudi. Dengan begitu jemaah haji pada 2020 tercatat hanya kurang dari seribu orang, lalu pada tahun berikutnya sebanyak 58.745 orang. Data itu dinukil dari Statistik Haji yang dirilis General Authority for Statistics Kingdom of Saudi Arabia.
Di lain sisi, menurut Dr Amr bin Reda Al Maddah sebagai Wakil Kementerian Haji dan Umrah untuk Layanan Haji dan Umrah Arab Saudi, seperti dilansir Gulf News, paket haji tahun ini pun disebut 30 persen lebih murah dibandingkan tahun lalu. Percikan protes publik pun dimulai dari sini.
Masyarakat mempertanyakan usulan kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Indonesia di tengah penurunan biaya haji yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi. Dari paparan Menteri Agama (Menag) saat rapat kerja (raker) bersama Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Kamis (19/1/2023), kenaikan BPIH 2023 diajukan menjadi Rp98,89 juta atau naik sekira Rp514.888 dari tahun sebelumnya berjumlah Rp98,38 juta.
Nilai Manfaat Tergerus di Usulan BPIH 2023
Satu hal yang mengejutkan adalah perubahan skema yang signifikan. Di tahun 2022, besaran komponen nilai manfaat yaitu 59,46 persen dan sisanya merupakan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung oleh jemaah.
Sementara usulan tahun ini persentase nilai manfaat dan Bipih yakni 30 persen dibanding 70 persen, dengan kata lain biaya yang mesti dibayar calon jemaah haji (terdiri atas setoran awal dan setoran lunas) adalah Rp69,19 juta. Angka tersebut meningkat tajam, sebesar 42,36 persen, ketimbang Bipih 2022 sebesar Rp39,89 juta.
Di kesempatan raker 19 Januari, Menag Yaqut Cholil Qoumas bilang, kebijakan formulasi komponen BPIH ini diambil dalam rangka “menyeimbangkan besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang.”Dengan begitu, kata Menag Yaqut, “pembebanan Bipih harus menjaga prinsip istitha’ah (mampu) dan likuiditas penyelenggaraan haji tahun-tahun berikutnya.”
Nilai manfaat sendiri diperoleh dari hasil kelolaan BPKH terhadap setoran awal calon jemaah haji melalui investasi dengan prinsip syariah di Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), penempatan di bank, serta investasi dalam dan luar negeri. Kewenangan pengelolaan keuangan haji memang dipegang BPKH sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Perlu diketahui pula bahwa per akhir 2022, BPKH menyampaikan saldo dana kelolaan haji per 2022 adalah Rp166,01 triliun, naik 4,56 persen dari saldo 2021 sebesar Rp158,79 triliun.
Peningkatan dana kelolaan haji berbanding lurus dengan target nilai manfaat yang diperoleh BPKH ditahun 2022 yang melampaui target dengan realisasi Rp10,08 T.
Saat itu, kepala BPKH Fadlul Imansyah mengungkapkan (19/1/2023) bahwa keuangan haji saat ini sehat dimana posisi penempatan dana di bank per Desember 2022 adalah sebesar Rp48,97 triliun atau lebih dari 2 kali kebutuhan dana penyelenggaraan ibadah haji.
Lantas, apa masalahnya?
Jika merunut catatan BPKH dan Kemenag selama 2010 – 2022, persentase nilai manfaat dari tahun ke tahun memang merangkak naik.
Namun hal itu juga beriringan dengan terus meningkatnya BPIH, kecuali pada tahun 2016 manakala BPIH turun menjadi Rp60 juta dari tahun sebelumnya Rp61,56 juta. Di tahun 2016 itu persentase nilai manfaat dibanding Bipih adalah 42,33 persen dan 57,67 persen.
Perlu digarisbawahi, semenjak 2014 besaran Bipih tak pernah menyentuh 70 persen. Itu artinya jika usulan pemerintah tahun ini dijalankan, maka skemanya mirip seperti tahun 2013 di mana komponen nilai manfaat dan Bipih masing-masing adalah 24,70 persen dan 75,30 persen.
Sementara dari sisi persentase nilai manfaat diketahui terdapat lonjakan pada tahun 2022, dari 49,05 persen saat sebelum pandemi tahun 2019 menjadi 59,46 persen. BPIH pada 2022 pun terlihat meningkat tajam dibanding 2019, yakni sebesar 42,25 persen menjadi Rp98,38 juta setelah berada di level Rp69,16 juta pada 2019.
Berdasarkan penjelasan Kemenag, hal itu terjadi lantaran Pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan untuk menaikkan biaya layanan Masyair (saat di Arafah, Muzdalifah, Mina selama 8 – 13 Zulhijjah) menjadi sebesar SAR5.656 per jemaah sehingga apabila ditambah biaya visa dan asuransi total menjadi SAR6.066.
Kebijakan itu dikeluarkan saat seluruh jemaah telah melunasi Bipih dan kloter pertama hampir diberangkatkan. Pada akhirnya, biaya kenaikan dibebankan pada nilai manfaat keuangan haji.
“Padahal sebelumnya hanya sebesar SAR1.940,85. Sehingga, terdapat kenaikan biaya sebesar SAR4.125,27 per jemaah haji. Kenaikan tersebut berimbas pada kenaikan BPIH secara total kurang lebih Rp1,472 triliun,” mengutip laporan Kemenag.
Dengan demikian Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief menyatakan jika komposisi Bipih 41 persen dan nilai manfaat 59 persen dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat cepat habis. Padahal, jemaah yang menunggu 5-10 tahun akan datang juga berhak atas nilai manfaat.
Data terakhir Kemenag pada 2021 menunjukkan jumlah pendaftar baru pada tahun tersebut tercatat sebanyak 2,88 juta orang, sehingga daftar jemaah haji reguler yang tengah dalam waiting list mencapai 5,22 juta orang pada 2021. Mereka banyak berasal dari Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Per provinsi umumnya memiliki masa tunggu haji beragam, mulai dari yang paling singkat 9 tahun di Papua, dan paling lama di Sulawesi Selatan yang bisa menunggu hingga 46 tahun.
Menyoal penurunan paket layanan haji atau Masyair oleh Arab Saudi, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief menekankan hal itu sudah diperhitungkan dalam usulan BPIH tahun 1444 H/2023 M ini.“Tahun lalu paket layanan haji (Masyair) 2022 sebesar SAR5.656,87. Alhamdulillah tahun ini selain turun, Kemenag berhasil negosiasi hingga menjadi SAR4.632,87. Turun sekitar SAR1.024 atau 30 persen,” terang Hilman, dikutip dari lansiran Kemenag tertanggal 21 Januari 2023.
Namun demikian, lanjut Hilman, komponen BPIH bukan hanya paket layanan haji. Komponen yang diusulkan mencakup biaya penerbangan dari embarkasi ke Arab Saudi (Rp33,98 juta), akomodasi Makkah dan Madinah (Rp24,37 juta), living cost (Rp4,08 juta), visa (Rp1,22 juta), dan terakhir paket layanan Masyair itu sendiri senilai Rp5,54 juta.
Selain itu, usulan BPIH juga memperhatikan komponen kurs Dollar (USD) dan kurs riyal (SAR). Masih bersumber dari Kemenag, usulan BPIH 2023 dikatakan menggunakan asumsi Rp15.300 untuk kurs 1 dolar AS, dan Rp4.080 untuk kurs 1 SAR. Sementara pada 2022, kurs SAR yang digunakan adalah Rp3.846 dan kurs 1 dolar AS Rp14.425. Hal lain yang menjadi perhatian adalah komponen pesawat yang sangat bergantung pada harga avtur.
Hilman mengatakan pihaknya bakal mencari pengganti jika ada jemaah yang tidak sanggup melunasi biaya naik haji 2023. Ia pun menyebut, Kemenag telah memberikan waktu pelunasan yang cukup untuk para jemaah sesuai peraturan, yakni 30 hari setelah biaya haji diputuskan pemerintah atau pada 13 Februari 2023. Jika jemaah memerlukan perpanjangan waktu pelunasan, Kemenag masih bisa memberikannya tetapi tidak dalam jangka waktu yang lama.
Tak Bebas Kritik
Usulan kenaikan persentase Bipih serta nilai BPIH tahun 2023 juga menuai pro kontra. Salah satu pihak yang kontra adalah dari kalangan Komisi VIII DPR sendiri.
Hidayat Nur Wahid, yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, mengkritik dan menolak usulan kenaikan biaya haji yang diajukan Menag. Katanya, landasan Kemenag dalam menentukan angka kenaikan biaya haji lemah dan bikin resah calon jemaah.
Meskipun ibadah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu, dan memang ada kondisi pembiayaan penyelenggaraan haji yang menyebabkan biaya haji ditanggung setiap jemaah perlu disesuaikan. Namun penyesuaian tersebut, menurut Hidayat, harus berlandaskan perencanaan yang matang, asumsi-asumsi yang riil, dan maksimalisasi lobi dan koordinasi Kemenag dengan berbagai pihak.
"Sehingga pembiayaan haji tetap mampu dijangkau para calon jemaah haji. Itulah juga sebagian aspirasi dari calon jemaah haji yang menolak keberatan dengan kenaikan biaya haji yang diusulkan Menag,” ujar Hidayat dalam keterangannya di Lombok, Sabtu (21/1/2023), dinukil dari laman resmi MPR.
Senada, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menilai usulan kenaikan biaya haji saat ini terlihat seperti aji mumpung lantaran sebelumnya kebijakan pemberangkatan haji dibatasi. Menurutnya, kegiatan ibadah tidak seharusnya dikomersialisasikan.
"Jangan menggunakan aji mumpung, mentang mentang 3 tahun terakhir tak ada haji dan umroh, mereka menaikkan biaya operasional haji/umroh seenak perutnya sendiri," kata Agus, seperti dikutip Kontan, Senin (23/1).
Namun, Ketua Umum Syarikat Penyelenggara Umrah dan Haji (Sapuhi) Syam Resfiadi menilai kenaikan ini masih lazim, apalagi ditambah perkiraan adanya kenaikan harga-harga hotel.
Ia beranggapan, kenaikan memang seharusnya dicanangkan tahun ini agar para jemaah yang akan berangkat di tahun 2024 menyiapkan diri dengan angka-angka tersebut.
“Tapi paling tidak kenaikan ini bisa jadi satu pertimbangan matang agar jangan membebani pihak-pihak lain. Karena yang berangkat kan bukan pemerintah, bukan juga BPKH, jadi jemaah itu sendiri,” ujar Syam saat dihubungi Tirto, Rabu (25/1/2023).
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah mengingatkan BPKH mengenai titik-titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan haji di Indonesia, seperti mark up biaya akomodasi, penginapan, konsumsi dan pengawasan haji. Oleh karenanya, seperti dinukil dari Antara, Firli Bahuri selaku Ketua KPK menekankan tingginya animo masyarakat Indonesia harus dibarengi dengan tata kelola penyelenggaraan haji yang profesional, transparan, dan akuntabel.
Biaya Haji di Pakistan dan India juga Naik?
Kuota haji Indonesia tahun ini menduduki posisi pertama terbanyak di dunia, menyusul kemudian Pakistan (179.210 kuota) dan India (175.025 kuota).
Adapun di Pakistan, merujuk Pakistan Today, biaya haji dengan skema pemerintah diperkirakan melampaui Rs1 juta tahun ini, melambung dari tahun sebelumnya yang tercatat di angka Rs1 juta namun dibarengi dengan subsidi pemerintah.
Kenaikan itu disebut akibat dari situasi ekonomi global, inflasi yang berkembang, dan depresiasi rupee di pasar internasional. Sumber resmi pun menyatakan, masih dari Pakistan Today, tahun 2023 tidak ada peluang subsidi haji dari pemerintah seperti halnya tahun 2022.
Dilaporkan Daily Pakistan pada 31 Mei 2022, Menteri Urusan Agama dan Kerukunan Umat Beragama Pakistan Mufti Abdul Shakoor saat itu menyatakan pihaknya menggelontorkan subsidi sebesar Rs150 ribu sehingga biaya haji di Pakistan pada 2022 yakni Rs850 ribu untuk wilayah utara dan Rs860 ribu untuk wilayah selatan.
Biaya pada 2022 itu pun melonjak 2 kali lipat jika dibandingkan 2019, yang tercatat Rs426.975 dan Rs436.975 masing-masing untuk daerah selatan dan utara, menurut sumber resmi Pemerintah Pakistan.
Sementara di India belum ada informasi terbaru terkait biaya haji 2023. Namun demikian, edaran dari Kementerian Urusan Minoritas di India juga memperlihatkan biaya haji di India pada tahun 2022 mengalami kenaikan signifikan ketimbang 2019.
Gambarannya, pada 2019 biayanya berkisar sekitar Rs236.000 – Rs322.600, bergantung pada embarkasi dan jenis akomodasi yang dipilih jemaah. Sementara pada 2022 biaya haji di India paling murah sudah di level Rs376.150 dan nominal termahal menyentuh Rs439.500.
Editor: Farida Susanty