tirto.id - Beredar Kamus Sejarah Indonesia dalam dua versi: jilid I ‘Nation Formation’ periode 1900-1950 dan jilid II ‘Nation Building’ 1951-1998. Pemrakarsanya disebut-sebut Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Ketua Komisi Pendidikan DPR Fraksi PKB Syaiful Huda menyebut kamus tersebut memiliki banyak kejanggalan. Salah satu yang ia soroti kemunculan potret K.H. Hasyim Asy’ari pada sampul buku tapi tidak ada deskripsi pada bagian konten. Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus pahlawan nasional, yang melawan pemerintah kolonial Belanda dengan semboyan politik Resolusi Jihad.
Jika menelusuri melalui fitur pencarian, nama Hasyim Asy’ari dalam jilid I hanya tertera pada konten Abdul Wahab Chasbullah; ia termasuk pendiri NU dan pernah menjabat Ketua Umum PBNU menggantikan Hasyim Asy’ari.
Dengan fitur yang sama, nama Hasyim Asy’ari lebih banyak termuat pada jilid II, tapi dengan penulisan beragam: Dalam konten Abdul Wahid Hasjim tertulis Hasyim Asy’arie; sementara dalam konten NU tertulis Hasyim Asy’ari.
“Setelah membaca dan mendengar pandangan dari banyak kalangan, kami meminta Kemendikbud untuk menarik sementara Kamus Sejarah Indonesia baik jilid I dan jilid II dari peredaran. Kami berharap ada perbaikan konten atau revisi sebelum kembali diterbitkan dan digunakan sebagai salah satu bahan ajar mata pelajaran sejarah,” kata Syaiful lewat keterangan tertulisnya.
Ketua PBNU Marsudi Syuhud menyarankan Kemendikbud untuk bekerja sesuai fakta sejarah. Menurutnya, kerja penulisan sejarah, apabila bersandarkan pada fakta, akan mudah dan ringan untuk diceritakan kepada generasi selanjutnya.
Jika tidak ada nama Hasyim Asy’ari dalam Kamus Sejarah Indonesia, sebaiknya buku itu disebut sebagai “kamus sebagian sejarah,” katanya. “Sejarah itu sebuah tulisan fakta. Menghilangkan fakta namanya menghilangkan sejarah,” ujarnya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menolak dianggap menghilangkan Hasyim Asy’ari. Menurutnya itu tudingan tak mendasar sebab Kemendikbud membangun Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari di Jombang dan menerbitkan buku KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai untuk Negeri.
“Kemendikbud selalu berefleksi pada sejarah bangsa dan tokoh-tokoh yang ikut membangun Indonesia, termasuk Hadratus Syech Hasyim Asy’ari dalam mengambil kebijakan di bidang pendidikan dan kebudayaan,” ujar Hilmar.
Ia menjelaskan Kamus Sejarah Indonesia dua jilid yang beredar bukan produk yang legal karena pemerintah belum pernah menerbitkan secara resmi. Naskah buku tersebut disusun sebelum era kepemimpinan Nadiem Makarim. Berdasarkan nomor ISBN, keduanya terbit pada 2017.
“Tidak mungkin Kemendikbud mengesampingkan sejarah bangsa ini, apalagi para tokoh dan para penerusnya,” kata dia. [Dalam berita CNN Indonesia, Hilmar mengakui kesalahan Kemendikbud tak memasukkan Hasyim Asy'ari. “Tapi bukan karena sengaja, melainkankan alpa,” katanya.]
Ketidakjelasan Metodologi
Sejarawan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Ahamd Nashih Luthfi menilai upaya Kemendikbud menerbitkan Kamus Sejarah Indonesia mesti diapresiasi, meski tidak ada penjelasan lebih lanjut perihal metodologinya.
Misalnya, bagaimana “lema-lema dipilih, dimasukkan atau tidak dimasukkan, dan referensi atas deskripsi atas lema-lema yang dipilih.”
Menurutnya, metodologi dan cara kerja penyusunan menjadi tantangan dalam penulisan buku semacam itu. Terlebih dengan keterlibatan banyak orang dan batas waktu tertentu. “Tidak bisa para penyusun diminta menghimpunnya tanpa kerangka metodologis yang jelas, serta informasi teknis yang memadai saat disajikan,” ujarnya.
Luthfi mencontohkan buku Historical Dictionary of Indonesia karya Robert Cribb dan Audrey Kahin (2004) dan Nederlands-Indonesisch Juridisch Woordenboek karya Marjanne Termorshuizen (1999); terdapat kode referensi dan daftar referensi pada bagian akhir buku.
Menurutnya, pemeriksaan metodologis dan akademis menjadi penting untuk meningkatkan literasi masyarakat. Metodologi yang jelas bisa menambal kekurangan penyusunan Kamus Sejarah Indonesia sehingga lema bisa menjadi bahan diskusi dalam konteks akademik.
Ia mencontohkan penyertaan lema ‘anarki’ dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid II halaman 114 tanpa deskripsi dan rujukan jelas. Ia khawatir Kamus Sejarah Indonesia justru melanggengkan pemahaman keliru bahwa anarkisme sama dengan vandalisme. Padahal, jika menggunakan referensi dari Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination karya Ben Anderson, mustahil para pendiri bangsa bisa mewujudkan kemerdekaan Indonesia tanpa inspirasi dari ideologi anarkisme.
“Penyusunan kamus tentu saja jauh dari motif politik, dan penyusunan karya KSI tersebut tetap penting. Hasil dari usaha keras penyusunnya. Persoalan substansi menurut saya tidak ada karya akademis yang lengkap, apalagi karya yang membuat daftar panjang dan disajikan dalam ratusan halaman,” tandasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Editor: Rio Apinino