tirto.id - Pada 1945, Nugroho Notosusanto baru berusia 15 tahun. Meski masih remaja, dia telah tergabung dalam Badan Keamanan Rakjat (BKR) di Jakarta, dan pernah menjadi Tentara Pelajar sebagai anggota dari Kompi Prapantja, Batalyon A MBT.
Pengalaman masa gerilyanya, seperti dicatat Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1981: 444), dinukilkan dalam kumpulan cerita pendek berjudul Hujan Kepagian. Karya fiksinya yang lain, Tiga Kota, juga terkait dengan Revolusi Indonesia.
Setelah tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia dan masa Revolusi berlalu, Nugroho kembali ke sekolah. Putra dari ahli hukum Islam Profesor Notosusanto ini kemudian masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Pada mulanya ia mengambil jurusan Sastra Indonesia sampai tingkat sarjana muda (B.A.), lalu melanjutkan kuliah di jurusan Sejarah hingga tingkat sarjana (doktorandus).
Semasa kuliah dia rajin menulis karya sastra dan pernah menjabat Ketua Senat Fakultas Sastra. Nugroho lulus pada 1959, dan tahun berikutnya sempat mengambil semacam extension course dalam bidang filsafat sejarah di University of London. Dia kembali ke Indonesia ketika sedang ramai-ramainya Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk mencaplok Papua.
Nugroho lalu mengajar di almamaternya, jurusan Sejarah FSUI, dan pernah pula menjadi ketua jurusan. Soe Hok Gie, aktivis 1966 dan salah satu pendiri Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI, adalah salah satu mahasiswanya.
Melawan Narasi PKI
Nugroho kemudian ditarik Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution ke Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pusjarah ABRI). Dia mau bergabung di lembaga itu karena kekagumannya kepada Nasution yang sangat peduli kepada sejarah Angkatan Darat, dan begitu prihatin dengan narasi sejarah yang diwacanakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu Nugroho memang dikenal antikomunis. Ayahnya seorang Islam taat.
“Mungkin karena pengaruh ini Nugoroho mempunyai rasa was-was yang juga dirasakan banyak kaum muslim yang lain, terhadap adanya kaitan antara komunisme dan ateisme,” tulis Katherine E. McGregor dalam Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia (2008: 109).
McGregor juga menyebut Nugroho mendorong tim riset sejarah Angkatan Darat bekerja cepat merampungkan dalam tiga bulan karya berjudul Sedjarah Singkat Bersendjata Bangsa Indonesia, sebelum golongan PKI merilis versi mereka (hlm. 111). Dalam buku tersebut, penulis utamanya adalah Mayor Jenderal Ahmad Yunus Mokoginta.
Setelah G30S meletus di tahun 1965, Nugroho bersama timnya bekerja keras mengumpulkan bahan untuk menyusun suatu narasi bertajuk 40 Hari Kegagalan G-30-S 1 Oktober-10 November. Sebagian besar dari narasi itu dicap sebagai versi propaganda Angkatan Darat.
Ketika Cornell Paper—hasil riset Ruth McVey, Benedict Anderson, dan Frederick Bunnell yang menyebut G30S adalah ekses dari konflik internal Angkatan Darat—diterbitkan pada 10 Januari 1966, Nugroho bersama Letnan Kolonel Ismail Saleh segera bertindak. Mereka berdua, menuruti nasihat Guy Pauker dari Rand Corporation, membuat versi resmi tentang G30S dalam bahasa Inggris: The Coup Attempt of the 30 September Movement in Indonesia. Kerja tim Nugroho itu sukses dan Pusjarah ABRI mendapat pujian.
Dalam menghadapi wacana yang merugikan pemerintah Orde Baru dari tulisan-tulisan peneliti asing, Nugroho telah membuktikan diri bekerja dengan mengedepankan tumpukan-tumpukan data lalu menyusunnya hingga menjadi karya tulis. Kunci lainnya adalah kecepatan.
Tentu saja, dalam konteks itu, Nugroho Notosusanto tak bisa disamakan dengan buzzer politik zaman ini yang cenderung asal membantah tanpa riset akademik atau cuma menyerang melalui media sosial. Kebanyakan buzzer politik hari ini tidak hanya gagap menyusun karya tulis ilmiah, tapi juga malas membaca.
Sejarawan Berpengaruh
Setelah Letnan Jenderal Soeharto memimpin Angkatan Darat dan Nasution tidak lagi punya kuasa di ketentaraan, Nugroho Notosusanto begitu dibutuhkan. Pusjarah ABRI, dengan Nugroho sebagai intelektual utamanya, telah membuktikan diri begitu bernilai bagi legitimasi kekuasaan Soeharto.
Pusjarah ABRI pada 1968 diberi kantor elite di Merdeka Barat nomor dua. Sebelumnya, kantor pusatnya berada di belakang gedung utama Markas Besar Staf ABRI, satu kompleks dengan kantor Kementerian Pertahanan saat ini. Nugroho diberi pangkat tituler hingga mencapai brigadir jenderal. Di institusi tersebut, Nugroho pernah menjadi orang nomor satu.
Kerja besar Nugroho masih terasa hingga zaman ini. Dalam penulisan sejarah di Indonesia, barangkali tidak ada satupun sejarawan yang pengaruhnya melebihi Nugroho Notosusanto. Dia merupakan editor utama dalam penyusunan enam jilid buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang masih menjadi rujukan hingga saat ini. Pengaruh Nugroho bahkan tidak hanya dalam historiografi, tapi juga cukup masif dalam pengajaran sejarah di sekolah.
Ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dari 1983 hingga 1985, seperti dicatat Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004: 13), Nugroho menambahkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) pada kurikulum 1984. Akhirnya, menurut Darmaningtyas, terjadi tumpang tindih antara materi sejarah nasional dan PSPB.
Para sejarawan senior yang berbasis di Yogyakarta, di antaranya Sartono Kartodirdjo dan G. Mudjanto, menolak PSPB karena dianggap bermuatan politis dan sisi perjuangan yang ditonjolkan cuma perjuangan fisik bersenjata. Sementara perjuangan diplomasi—yang mewakili keberadaban sebuah bangsa—tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. Bahkan, pada jilid keenam, SNI dinilai memberi porsi yang terlalu besar kepada narasi sejarah Angkatan Darat kala memberantas PKI.
PSPB memang seperti dimaksudkan untuk menyenangkan ABRI. Kala itu ABRI dipimpin Jenderal Benny Moerdani yang seumuran dengan Nugroho.
Nugroho Notosusanto tak menyelesaikan masa jabatan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia meninggal dunia pada Senin, 3 Juni 1985, tepat hari ini 35 tahun lalu, pada pukul 12.30 di rumahnya karena pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Guru besar ilmu sejarah FSUI itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan posisinya sebagai menteri digantikan Fuad Hassan.
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 11 April 2020 dengan judul "Tak seperti Buzzer, Nugroho Notosusanto Melawan Narasi dengan Riset". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh