Menuju konten utama

Ramai-Ramai Membunuh Sukarno Lagi dan Lagi

Sejak Orde Baru, fakta dan proses kelahiran Pancasila sering dikaburkan. Anehnya, ini terjadi tiap menjelang pemilu.

Ramai-Ramai Membunuh Sukarno Lagi dan Lagi
Ilustrasi JJ Rizal - 01

tirto.id - Karl Marx pernah bilang: sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon goblok. Tetapi, bagaimana jika tragedi dan bodoran memuakan itu terjadi berbarengan?

Begini. Selang sehari setelah perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2018, santer berita pernyataan pakar hukum tata negara Refly Harun bahwa hari lahir Pancasila sebagai dasar negara bukan 1 Juni 1945, melainkan 18 Agustus 1945. Pancasila memang pertama kali dilontarkan Presiden Sukarno pada 1 Juni 1945, tetapi bukan buah pemikiran Sukarno, melainkan hasil gotong royong tokoh-tokoh bangsa. Jadi bukan hanya satu orang saja. Sebab itu penetapan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, menurutnya, mendiskreditkan peran tokoh-tokoh bangsa lainnya yang juga bersumbangsih melahirkan Pancasila.

Masih pada hari yang sama, Refly juga menjembreng pernyataan serupa di akun twitternya @ReflyHZ. Sampai pukul 11.48 (setelah 17 jam), pernyataan itu sudah lebih di-retweet 1500 kali dan disukai lebih 3200 mahluk jagat twitter. Tetapi, jika waktu dibetot mundur 37 tahun yang lalu balik ke 1981, keramaian yang tak kalah hebatnya juga terjadi lantaran pernyataan guru besar FSUI yang menjadi Kepala Pusat Sejarah TNI/ABRI, Nugroho Notosusanto. Anehnya pernyataan Nugroho sama persis dengan pernyataan Refly. Sebagaimana Refly mengaku pernyataannya tidak lahir dari tendensi politik, melainkan kebenaran sejarah, begitu pula dengan Nugroho.

Bedanya sedikit saja. Refly mengungkapkannya di twitter dan dalam wawancara surat kabar, sedangkan Nugroho dalam artikel “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” di koran Sinar Harapan, 3 Agustus 1981. Nugroho bilang 1 Juni hanyalah hari kelahiran Pancasila-nya Sukarno, sementara Pancasila dasar negara dilahirkan 18 Agustus 1945. Inilah yang otentik dan dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebab itu, Sukarno sebenarnya bukanlah satu-satunya penggali Pancasila. Sukarno hanyalah orang pertama yang memberikan sebutan kelima sila itu “Pancasila”.

Kira-kira demikian yang ditulis Nugroho dengan mengutip buku karya Muhammad Yamin Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Ia menyimpulkan bahwa pencetus utama Pancasila adalah Yamin, Supomo dan Sukarno. Demikianlah urutannya. Penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila pun digugatnya.

Meskipun tesis itu baru pertama kalinya dijabarkan di media massa, tetapi pikiran Nugroho berakar jauh ke masa-masa ketika kudeta terhadap Sukarno dimulai pada 1965. Saat itu Soeharto dan Angkatan Darat berikhtiar menjalankan apa yang disebut sejarawan Onghokham politik exorcism, yaitu pengusiran roh jahat Sukarno. Caranya: membunuh karakter Sukarno dan mengendalikan warisan kekuasaannya. Untuk ini Angkatan Darat kembali menggaet mahasiswa sebagai partner strategisnya untuk mematangkan propaganda bahwa Sukarno dalang G30S 1965. Ini sekaligus digunakan untuk menguatkan legitimasi dalam menjalankan prosedur-prosedur peralihan kekuasaan yang seolah-olah konstitusional.

Agar memperlihatkan Sukarno terlibat dalam G30S 1965, Soeharto telah menyiapkan yang disebut Southwood dan Flanagan dalam Teror Orde Baru sebagai ‘viktimisasi sistematis’. Skenario ini bukan saja melibatkan MPRS, tetapi juga mahasiswa dan pengadilan. Dalam hal memanfaatkan mahasiswa ini, riset dari Roger K. Paget dan terutama buku Francois Raillon soal surat kabar Mahasiswa Indonesia—selain Harian KAMI dan Angkatan Baru di Jakarta yang diterbitkan HMI yang disebut Paget termasuk paling giat melancarkan kampanye anti-Sukarno—memberikan banyak sekali informasi. Mereka menurunkan serial tulisan yang dibuat bukan lagi menyoal keterlibatan Sukarno dalam G30S 1965, tetapi untuk mengevaluasi biografinya. Bahkan untuk mempertanyakan dasar-dasar sejarah Indonesia dengan menyanggah peran-peran Sukarno sebagai pendiri bangsa. Tentu saja hal ini mengacaukan sejarah. Namun bagi Mahasiswa Indonesia, siasat seperti itu tak soal asalkan proses desukarnoisasi berhasil.

Desukarnoisasi terjadi hampir bersamaan dengan pembentukan MPRS “baru” oleh Angkatan Darat yang sudah disterilkan dari unsur-unsur PKI dan simpatisannya pada 1 Juni 1966. Selain menegaskan legitimasi surat perintah 11 Maret, mereka juga mulai mendeligitimasi Sukarno. Salah satunya dengan menyatakan bahwa Pancasila yang resmi dan asli bukanlah yang lahir pada 1 Juni 1945, tetapi yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 dan tidak mencakup gagasan Sukarno soal internasionalisme serta urutan sila yang pertama kali dicetuskannya.

Langkah politis MPRS inilah yang dikatakan oleh Nugroho telah menginspirasinya menulis “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” yang kontroversial itu. “Pada 1966, waktu sidang MPRS saya baru tahu kalau ada persoalan tentang penggali Pancasila. Saya dan banyak orang waktu itu mengira kelahiran Pancasila ya 1 Juni itu,” ungkap Nugroho.

Gila Tentara

Sampai di sini, ada baiknya diulas sedikit siapa Nugroho pada 1966 itu.

Nugroho yang berasal dari Rembang sejak belia “gila ketentaraan” dan merendahkan pemimpin sipil. Pada paruh pertama 1950-an, publik mengenal Nugroho sebagai cerpenis. Tapi kemudian ia banting stir menggeluti sejarah dan menjadi dosen di jurusan sejarah UI. Pada 1960, ia mendapat beasiswa studi sejarah dari Rockefeller Foundation di Inggris. Karena tak betah, Nugroho pada 1962 kembali ke Jakarta dan diminta sahabatnya, Menteri Pendidikan Prijono, untuk memimpin jurusan sejarah. Saat itulah ia bertemu A.H. Nasution yang sedang mencari sejarawan yang bisa membantunya dalam pertarungan wacana sejarah seiring mengerasnya konflik politik antara Angkatan Darat dengan PKI.

Sejak itu Nugroho menjadi orang penting yang memproduksi dan mengonsolidasi propaganda Angkatan Darat. Posisinya semakin kuat ketika ia diangkat sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI pada 1965. Sebab, pada saat yang bersamaan, Angkatan Darat tengah mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Nugroho tampak menikmati karier panjangnya ini yang diwarnai dengan upaya-upaya berkalanya mengendalikan kekuatan warisan Sukarno.

Pada 1968, Nugroho bersama Ismail Saleh meluncurkan buku The Coup Attempt of the “September 30 Movement” in Indonesia, yang tampaknya ditujukan sebagai tandingan terhadap analisis kontroversial tentang kudeta 1965 karya Ben Anderson dan Ruth McVey. Melalui buku ini Nugroho mengembangkan interpretasi versi pemerintah Orde Baru bahwa dalang di balik peristiwa G30S 1965 adalah PKI dan Sukarno terlibat di dalamnya.

Seiring pelarangan peringatan hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1970 oleh Kopkamtib, embargo besar-besaran terhadap tulisan-tulisan Sukarno serta penyebutan namanya oleh pemerintah, Nugroho mulai mengarahkan propaganda sejarahnya yang lebih serius untuk menyangkal peran Sukarno dalam sejarah Pancasila yang sudah dimulai oleh MPRS dan para mahasiswa pada 1966.

Pusat Sejarah ABRI dan Departemen Pertahanan-Keamanan pada 1971 menerbitkan buku Nugroho byang berjudul Naskah Proklamasi yang Autentik dan Rumusan Pancasila yang Autentik. Buku ini kemudian diperbarui dan pada 1980 diterbitkan dengan titel baru Mengamankan Pancasila Dasar Negara.

Buku kecil setebal 68 halaman itu segera disambut pemerintah dengan menjadikannya bagian paket indoktrinasi dalam program pendidikan aparatus birokrasi Orde Baru dan ABRI. Sementara itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadikannya bacaan wajib bagi para guru yang mengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan para pandu BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Secara tersirat buku ini menyatakan ingin mengamankan rakyat dari ‘penyesatan sejarah’ Pancasila oleh Sukarno, yang mempromosikan versi 1 Juni alih-alih 18 Agustus 1945. Sejak 1980 itu kecaman kepada Nugroho menjadi gelombang besar. Lantas menjadi tsunami kritik karena Nugroho malah dengan sengaja menulis ulang dan memuatnya kembali sebagai artikel di koran Sinar Harapan, 3 Agustus 1981.

Pada hari Kemerdekaan 17 Agustus 1981, Lembaga Sukarno-Hatta menerbitkan “Deklarasi Pancasila” dengan dibubuhi 17 tandatangan tokoh-tokoh berpengaruh yang menegaskan kembali bahwa 1 Juni adalah hari lahir kelima sila itu. Sementara itu para intelektual mempertanyakan dasar ilmiah tulisan Nugroho. Metodologi dan proses ilmiah karya tersebut juga dikritik tajam. Para pelaku sejarah yang ikut dalam sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) pun ikut mempertanyakan bagaimana bisa Nugroho mendasarkan bukunya hanya pada buku Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, sedang buku ini penuh kejanggalan. A.G. Pringgodigdo, kepala sekretaris BPUPK yang memegang dokumen risalah sidang komite tersebut, menyatakan bahwa buku Yamin tak lebih dari hasil “kepintaran menyulap”. Mohammad Hatta pun meragukan keabsahannya dan bahkan mengkategorikannya sebagai hasil “kerja licik”.

Hatta tetap teguh sebagaimana dalam “Surat Wasiat” yang ditulisnya dan ditujukan kepada Guntur Sukarno Putra pada 1980 bahwa pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 telah diterima secara antusias oleh semua peserta rapat BPUPK. Ini kemudian dibuktikan dengan dibentuknya panitia kecil beranggotakan sembilan orang (termasuk Hatta, Sukarno dan Yamin), yang hanya membuat perubahan-perubahan kecil—atau dalam istilah Hatta: “hanya memerciki”.

Jadi, dasar utama Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 tetaplah bersumber dari hasil penggalian Sukarno pada 1 Juni 1945.

Gara-Gara Pemilu

Akhirnya, bagaimana memahami semua ini? Apa akar dari praktik tak waras tokoh politik dan cendekiawan yang seenaknya mengacaukan fakta atau proses sejarah?

Pemilu. Ya, pemilu. Polemik 1980–81 yang dipicu Nugroho itu muncul menjelang masa pemilu 1982. Meskipun dihajar tsunami kritik, tetapi Nugroho malah dianugrahi jabatan Rektor UI dan Menteri Pendidikan-Kebudayaan pada 1982 dan 1983. Ini jelas hadiah Soeharto atas kerjanya “membunuh” Sukarno jelang pemilu 1982.

Tetapi toh Sukarno tak mati-mati juga. Ia tetap hidup dalam nostalgia rakyat. Bahkan upaya baru “membunuh” Sukarno oleh Kolonel (purn.) dan mantan perwira intel, Soegiarso Soerojo, via buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G-30-S dan Peran Bung Karno malah membuat tsunami pembelaan dan kecintaan yang semakin besar kepadanya. Hasilnya, pada pemilu 1992, pemerintah harus melihat bagaimana figur anak-anak Sukarno yang tidak pernah diinginkan berpolitik, Megawati dan Guruh Sukarno Putra, bergabung dalam kampanye pemilu untuk PDI. Figur Sukarno hadir dan suara partai pemerintah, Golkar, merosot drastis.

Tidak aneh jika mendekati pemilu 1997, tepatnya 29 Mei 1995, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang tampil menggantikan peran Nugroho karena meninggal pada 1985 memberikan Presiden Soeharto edisi ketiga Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Seperti tulisan Nugroho pada 1981, buku ini mengulang persoalan sekitar tanggal dan siapa yang menggali Pancasila. Keriuhan akibat penerbitan buku itu dan upaya-upaya untuk menempatkan Sukarno hanya sebagai salah satu perumus Pancasila jelas hanya dapat dipahami sebagai langkah pemenangan pemilu.

Onghokham tampaknya benar ketika dalam sebuah artikelnya “Sukarno: Mitos dan Realitas” yang terbit pada tahun pemilu 1977 menyatakan bahwa “persoalan Bung Karno erat sangkut pautnya dengan persoalan bangsa kita sendiri”. Pemilu adalah salah satu persoalan dan ruang segala persoalan tiba-tiba dikumpulkan serta disuarakan. Apalagi setelah Soeharto jatuh, masalah-masalah lama dan yang baru menumpuk dan dalam situasi ini orang mencari simbol harapan yang sekali lagi anehnya kembali ke figur Sukarno.

Bapak pendiri bangsa ini pun bersinar dan bukan saja menjadi modal anak-anaknya untuk bermain politik, tetapi juga bagi tokoh-tokoh politik lainnya dari ekstrem kanan ke ekstrem kiri, para oportunis dan sebagainya yang memakai bendera Sukarno. Saking ajaibnya, pada pemilu 2014, mereka semua berkumpul di antara dua kandidat yang bertarung—Jokowi dan Prabowo—lantas saling berlomba-lomba mengidentifikasi diri dengan Sukarno.

Akhirnya, berlatar sejarah panjang itu jelaslah bahwa pernyataan Refly adalah bukti sihir politik sejarah Orde Baru masih merajalela. Sekaliber cendekiawan generasi baru pun tersihir melanjutkan proses desukarnoisasi.

Namun pernyataan Refly pun adalah imbas sangitnya menyan dari pengkultusan terhadap Sukarno yang menguatkan sinyalemen sejarawan Ben Anderson pada 2001. Dalam buku kecilnya, Bung Karno dan Pemfosilan Pikiran-Pikiran Soekarno, Ben melihat bahwa bersama kemenangan PDIP dalam pemilu 1999, sesungguhnya Sukarno akan mengalami proses pemfosilan atau penuaan dan pengeramatan yang semakin menjadi-jadi. Dalam atmosfir pemfosilan itu tidak akan ada perenungan dengan sikap kritis dan berkesadaran historis untuk menjembatani pikiran-pikiran Sukarno dan cita-citanya ke masalah-masalah Indonesia sekarang.

Sebaliknya pemfosilan membuka banyak kesempatan untuk memanipulasi dan menipu. Tokoh-tokoh politik tak bermoral mengambil hati massa dengan mengaku-ngaku 100% setia pada pemikiran Sukarno. Padahal mereka menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan atau program-program yang justru bertentangan 100% dengan prinsip bapak bangsa itu. Mereka bisa akur dan begitu hormat terhadap penjahat HAM masa lalu yang malahan kalau diusut-usut masih bagian dari jaringan pelaku kudeta dan “pembunuhan” Sukarno. Mereka bisa sejalan dengan para kapitalis nasional atau global yang rakus mengeksploitasi alam sehingga merusak tanah air yang elok, menyengsarakan dan memiskinkan si marhaen. Mereka mengikuti petunjuk kaum feodal dan hipokrit yang menggunakan kekuasaan untuk menyelamatkan kaum sendiri, seraya membuang ke tong sampah gagasan sosialisme ala Indonesia yang jelas-jelas tujuannya ingin menyelamatkan seluruh rakyat dan menjauhkan mereka dari pembodohan.

Juni adalah bulan lahirnya Pancasila dan Sukarno penggali Pancasila, tetapi juga bulan kematiannya Nugroho, propagandis utama Orde Baru—operator di balik penghilangan sejarah Pancasila dan sejarah bapak pendiri bangsa.

Juni adalah suatu berita sandi kepada tokoh politik dan cendekiawan tentang betapa berbahaya jika fakta atau proses sejarah dipakai seenaknya untuk melakukan desukarnoisasi.

Tetapi, terlebih berbahaya lagi jika memuja-muji Sukarno setinggi langit sambil diam-diam mengkhianati bagian-bagian terpenting dan pokok pikiran serta perjuangannya, sebab ketidakjujuran juga kemunafikan ini sangat merusak hari ini, esok dan masa depan.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.