tirto.id - Ketika Gerakan 30 September 1965 dibabat, Gufran Dwipajana adalah pemimpin redaksi Berita Yudha dan Sapta Marga. Berita Yudha termasuk segelintir koran yang bisa terbit setelah 1 Oktober 1965. Menurut Harsya Bachtiar, dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988), Brigadir Jenderal kelahiran Jember 12 Desember 1932 ini aktif di media-media pers kedinasan militer. Dia adalah perwira pers di pusat penerangan Angkatan Darat. Sebelumnya, pada dekade 1950an, mantan tentara pelajar ini pernah menjadi staf di Kodam Diponegoro, di mana Soeharto pernah jadi Panglima.
Sejak 1978, Dwipajana diangkat sebagai Direktur Pusat Produksi Film Negara (PPFN), merangkap Asisten Menteri Sekretaris Negara. Kala itu, posisi Menteri Sekretaris Negara dipegang Sudharmono yang kelak menjabat wakil presiden pada 1988-1993. Menurut Krishna Sen dalam Indonesian Cinema: Framing the New Order (1995), Sudharmono-lah yang menempatkan Dwipajana di kursi pimpinan PPFN.
Di bawah kepemimpinan Dwipajana, serial boneka Si Unyil diproduksi dan dirilis pada 1981. Demikian pula film fenomenal Orde Baru, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1983).
Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C Noor ini, menurut Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam Dari Indonesia Memandang Dunia (2017), plot ceritanya berpijak pada buku yang ditulis dua perwira Angkatan Darat, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/ PKI di Indonesia (1968).
Namun, dalam narasi di awal film disebut “lakon peristiwa ini didasarkan atas ide dan garis besar cerita yang disusun oleh Prof Nugroho Notosusanto (editor) bersama staf yang terdiri dari Amrin Imran, Rokhmani Santoso, Sutopo Sutanto dan Suranto Sutanto...” di mana para pasukan penculik digambarkan sebagai oknum Angkatan Darat yang dihasut oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tak seperti kebanyakan film layar lebar lainnya, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI tidak dirilis secara komersil. PPFN tak mau ambil risiko seandainya film ini gagal di pasaran. Sejak pertengahan dekade 1980an hingga 1997, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI jadi tontonan wajib di sekolah maupun di kantor pemerintahan, terutama pada tanggal 30 September. Film yang diproduksi selama dua tahun menghabiskan dana sebesar Rp 800 juta. Dwipajana bertindak sebagai produser.
Menurut catatan Krishna Sen dan David T Hill, dalam Media, Culture and Politics in Indonesia (2006), film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah film propaganda kedua yang dibuat Arifin. Yang pertama adalah Serangan Fajar (1981) yang berdurasi tiga jam. “Serangan Fajar adalah film fiksi tentang perang kemerdekaan dengan Suharto sebagai pahlawan militer,” tulis Sen dan Hill.
Sebelum Serangan Fajar, muncul film Janur Kuning (1979) yang mengisahkan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Film ini tidak diproduksi PPFN. Selain Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, kisah pengganyangan komunis dan bangkitnya Orde Baru juga dituturkan oleh Djakarta 1966 (1988).
Djakarta 1966 disutradarai oleh Arifin C Noer. Seperti halnya Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, Embie C Noer kembali bertindak sebagai penata musik dan Hasan Basri sebagai penata sinematografi. Umar Kayam pun masih bermain sebagai Presiden Sukarno. Dalam film terakhir ini, seperti ditulis di bagian pembuka, terdapat tim penasihat cerita yang terdiri dari Arifin C Noer, Bur Rasuanto, Goenawan Mohammad, Ismid Hadad, Taufik Abdullah dan Taufik Ismail.
Djakarta 1966 mengisahkan keterlibatan orang-orang sipil yang kemudian disebut Angkatan 1966, di samping menggambarkan heroisme para tentara.
Tak hanya penumpasan PKI di Jakarta yang diangkat ke film. Peristiwa penumpasan PKI di Blitar Selatan bahkan diabadikan dalam Penumpasan Sisa-sisa PKI Blitar Selatan (Operasi Trisula). Film yang disutradarai BZ Kadaryoni ini dirilis pada 1987 dan menggambarkan operasi pemberantasan PKI di wilayah teritorial Kodam Brawijaya yang dipimpin oleh Kolonel Witarmin. Menurut Operasi Trisula, operasi anti-komunis sukses berkat dukungan masyarakat desa terhadap pemerintah.
Meski tak ada Arifin, PPFN tetap menjadi rumah produksi film-film propaganda Orde Baru. Dwipajana pun tetap bertengger di kursi produser. Laki-laki penerima Bintang Mahaputra Adipradana ini biasa disapa dengan panggilan Pak Dipo oleh kolega-koleganya. Fakta bahwa Soeharto melawat Dwipajana yang meninggal dunia pada 18 Maret 1990 adalah bukti kedekatannya dengan sang presiden.
Kerja-kerja lain Dwipajana untuk membentuk citra Soeharto di luar film juga tak kalah penting. Pada Oktober 1974, ketika ramai isu silsilah Soeharto, Dwipajana termasuk orang yang sibuk membantahi dan menjelaskan silsilah Soeharto. Dia juga jadi orang tersibuk dalam proses penggarapan buku autobiografi Soeharto yang disusun Ramadhan KH, Soeharto: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan saya (1988). Dialah yang menyampaikan pertanyaan-pertanyaan Ramadhan kepada Soeharto.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf