Menuju konten utama

Sukmawati dan Mereka yang Sering "Meminjam" Sukarno

Sukmawati membawa-bawa Sukarno, bapaknya, ketika meminta maaf kepada pemeluk Islam karena puisinya yang kontroversial. Sebelumnya banyak politisi yang juga "memakai" Sukarno untuk kampanye.

Sukmawati dan Mereka yang Sering
Sukmawati Soekarno Putri memberikan pemaparannya pada acara seminar kebangsaan dengan judul "Siaga Pancasila" d Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jawa Barat, Senin (15/5). ANTARA FOTO/Agus Bebeng

tirto.id - Sukmawati Soekarnoputri akhirnya meminta maaf "kepada umat Islam Indonesia" karena puisinya yang berjudul 'Ibu Indonesia' dianggap melecehkan. Sambil menangis, ia bilang, "Puisi Ibu Indonesia yang saya bacakan semata adalah pandangan saya sebagai seniman, budayawati."

Dalam forum klarifikasi yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (4/4) kemarin, ia juga menyinggung bagaimana Sukarno, sang bapak sekaligus presiden pertama Indonesia, begitu menghormati Islam.

"Saya pun tergerakkan oleh cita-cita untuk semakin masyarakat Islam nusantara yang berkemajuan sebagaimana cita-cita Bung Karno," katanya.

Sukmawati jelas bukan orang pertama yang "meminjam" Sukarno untuk kepentingannya sendiri. Sudah begitu lama sang proklamator dijadikan alat politik kelompok tertentu, setidaknya lewat baliho/poster/spanduk politisi saban pemilu berlangsung. Biasanya disertai kutipannya soal "10 pemuda".

Untuk pemilu kepala daerah tahun ini, foto Sukarno memang tak boleh lagi dipasang berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pilkada. Pelarangan juga diberlakukan bagi foto presiden dan wakil presiden yang lain, kecuali masih jadi pengurus partai politik saat ini.

Namun bukan berarti peraturan yang sama berlaku pada pemilihan presiden tahun depan. Itu artinya bisa jadi wajah Sukarno akan tetap ada di bahan kampanye kandidat.

Tapi Sukarno yang ada di materi-materi kampanye itu bukan Sukarno yang hidup hingga 1970. Tak ada yang bicara lagi soal pemikiran Sukarno yang dianggap kontroversial hingga sekarang. Politikus yang "menumpang" nama besar Sukarno cenderung hanya mengangkatnya sebagai seorang nasionalis semata.

Salah satu pemikiran Sukarno yang bisa jadi paling kontroversial dan tak lagi banyak dibahas saat ini adalah Nasakom—nasionalis, agama, dan komunis. Gagasan politik yang dicetuskan pada masa mudanya ini meyakini kalau merekalah kekuatan utama bangsa Indonesia, sepanjang mau bekerja sama saling bahu-membahu.

Sukarno tetap berpegang teguh pada gagasan ini hingga masa tua. Ia, misalnya, pernah bilang kalau Pancasila tidak anti-komunis pada 11 Desember 1965, atau hanya beberapa bulan sejak tragedi penculikan jenderal.

"Pancasila sebetulnya tidak anti-kom [komunis]. Karena itu aku menegaskan kali ini sodara-sodara. Pendek kalau sodara-sodara menamakan dirimu anak bung Karno, saya tidak mau punya anak yang tidak Kiri."

Menurut pengamat politik dari Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, fenomena Sukarno sebagai alat politik tanpa mengetengahkan lagi gagasannya secara menyeluruh disebabkan karena politikus itu pada dasarnya pragmatis.

"Karena para politikus mengambil sudut pandang yang paling cocok untuk masyarakat. Sudut pandang tentang marhaenisme—gagasan politik Soekarno soal jelata yang tetap miskin meski memiliki alat-alat produksi—, contohnya, sulit dicerna masyarakat. Karena untuk mensosialisasikan pemikiran Sukarno yang lain butuh waktu," kata pengajar di Universitas Al Azhar Indonesia itu.

Salah satu politisi muda yang mengaku "mengagumi Sukarno" adalah Tsamara Amany dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI bahkan membuat kaos resmi bergambar Sukarno yang dijual di situs Toko Solidaritas.

Pendapat Ujang senada dengan peneliti dari Saiful Mujani Research Centre (SMRC), Sirojudin Abbas. Menurutnya, penyederhanaan sosok Sukarno sebagai figur nasionalis semata wajar dilakukan politikus.

"Memang anda mau belajar jadi ahli Sukarno? Kan tidak. Dimensinya [pemikiran Sukarno] banyak, dan kalau ambil sebagian tidak salah," katanya.

Penggunaan citra Sukarno yang sepotong-potong, katanya, demi menyesuaikan kebutuhan parpol dalam konteks saat ini.

Sirojudin mencontohkan, sebagai partai yang identik dengan Bung Karno, PDIP tak mungkin mensosialisasikan pemikiran Sukarno soal Pancasila yang dianggap tidak bertentangan dengan komunisme.

"Mereka harus pilih juga dan hati-hati karena kalau diangkat, bahaya sekarang. Siapa yang mau dituduh komunis?" katanya.

Terlalu Dangkal

Berbeda dengan Ujang dan Sirojudin, pakar politik dari Universitas Airlangga (Unair) Airlangga Pribadi Kusman, mengkritik keras cara-cara demikian. Katanya, "gagasan ideologis dan pengetahuan Sukarno tidak digunakan baik sebagai frame untuk mengkritik realitas sosial maupun sebagai ideologi kerja."

Dikebirinya citra Sukarno, menurut peraih gelar PhD dari the Asian Studies Centre, Murdoch University ini, adalah karena tidak adanya penguatan ideologi dan program partai sepanjang reformasi. Menurut Airlangga, itu merupakan ciri seluruh partai di Indonesia pada era pos-otoritarianisme atau reformasi.

Sejak reformasi, kata pria yang akrab disapa Angga ini, jargon-jargon Sukarno yang dipakai semata untuk "memperkuat patronase politik dan ketergantungan massa akar rumput kepada elite."

"Sesuatu yang berkontradiksi dengan gagasan utama marhaenisme dari Sukarno," kata Airlangga.

Airlangga mengatakan ada tiga hal yang harus dilakukan partai politik saat ini (tidak terbatas pada PDIP) agar tidak semata menggunakan jargon dan citra Sukarno tanpa substansi. Pertama, partai politik harus benar-benar berpijak pada gagasan Sukarno dan diterjemahkan dalam konteks kekinian.

Kedua, partai seharusnya merumuskan poin-poin utama gagasan Sukarno sebagai ideologi kerja. Dari sana partai yang merumuskan itu dapat memperjelas perbedaan posisi politiknya dengan partai-partai yang lain.

"Ketiga, melakukan demokratisasi partai politik untuk menyelesaikan persoalan oligarki dan patronase politik di internal partai," katanya.

Baca juga artikel terkait KASUS PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino