Menuju konten utama
21 Juni 1970

Bagaimana Rezim Orde Baru Membunuh Sukarno Pelan-Pelan?

Sukarno meninggal dalam status sebagai tahanan politik rezim Orde Baru. Selama menjalani masa tahanan rumah, ia diinterogasi tentara seminggu sekali.

Sukarno, Presiden RI pertama. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pagi itu, ketegangan sekaligus kecemasan sangat terasa di salah satu sudut Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta. Tepat pukul 07.00, dokter keluar dari ruangan. Anak-anak Sukarno langsung menyerbu, tidak sabar ingin tahu kondisi ayah mereka. Yang ditanya cuma diam tanpa jawaban, hanya menggelengkan kepala pertanda pasrah.

Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh bergegas masuk ke kamar rawat. Di pembaringan, sang ayah tergolek lemah. Megawati mendekat, membisikkan kalimat syahadat. Sukarno berusaha mengikuti, tapi tak cukup kuat. Hanya satu kata yang sempat terucap lirih sebelum sang putra fajar menutup mata untuk selama-lamanya: "Allah."

Pada 21 Juni 1970, tepat hari ini 51 tahun lalu, Bung Karno meninggal di jam 07.07 setelah melalui hari-hari terakhir sebagai tahanan politik. Ia bagai orang buangan: diasingkan di rumah tahanan oleh Soeharto yang dengan lihai telah mengambil alih kekuasaan. Rapi, pelan, namun pasti. Begitulah cara Soeharto menyingkirkan sang penyambung lidah rakyat Indonesia.

Soeharto dan Surat Sakti

Tragedi berdarah pada 30 September 1965, yang menyeret Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang dituding menjadi aktor utamanya, membuka jalan bagi Soeharto tampil bak pahlawan. Ia juga mengintip peluang untuk melemahkan pengaruh Sukarno.

Di sisi lain, Bung Karno terkesan melindungi PKI—demi mempertahankan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang diyakininya sebagai tiga kekuatan utama bangsa Indonesia—setelah peristiwa yang menewaskan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat tersebut.

Sebagai salah satu petinggi AD yang kebetulan selamat, Soeharto langsung muncul ke permukaan dan memotori upaya “penyelamatan” negara. Golongan agama, mahasiswa, media, dan beberapa aspek lainnya, berhasil dimobilisasi demi menuntut pembubaran PKI, juga mengganyang antek-anteknya. Singgasana Sukarno pun mulai digoyang.

Soeharto memperoleh momentumnya setelah Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966. Surat perintah ini sebenarnya hanya memberikan wewenang kepada Soeharto selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil tindakan bila diperlukan.

Namun, Soeharto dengan jeli memaksimalkan lembaran perintah itu sebagai surat sakti, justru untuk menggerus pengaruh dan kekuasaan Sukarno selaku presiden. Ini terbukti setelah Supersemar dikukuhkan menjadi ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tak lama setelah dipegang Soeharto.

Ditetapkannya Supersemar sebagai Tap MPRS menipiskan kekuasaan Sukarno. Dengan demikian, Supersemar yang semula “hanya” surat perintah justru menjadi bumerang bagi Bung Karno: digunakan Soeharto sebagai legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan, lalu diperkuat keputusan MPRS.

Sah atau tidak, tulis Eros Djarot dalam Misteri Supersemar (2006), yang jelas, pengukuhan Supersemar menjadi Tap MPRS itu mencerminkan kepiawaian Soeharto untuk memainkan konstitusi demi mengejar kepentingan politiknya (hlm. 50).

Dari situlah upaya pelemahan terhadap Bung Karno dimulai dan Soeharto amat lihai memainkannya dengan terukur dan sistematis.

Dari Presiden Jadi Pesakitan

Sidang Umum MPRS pada 22 Juni 1966 menolak pidato pembelaan Sukarno yang bertajuk Nawaksara. Ini merupakan sinyal kuat bahwa ia harus segera meninggalkan Istana Negara.

Kecemasan Bung Karno akhirnya terjadi. Sidang Istimewa MPRS tanggal 7 Maret 1967 meresmikan Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada Mei 1967, seperti dikutip dari Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (2007), Sukarno tidak boleh lagi memakai gelar presiden atau kepala negara (hlm. 108).

Selanjutnya Soeharto mengimbau kepada Sukarno untuk tidak lagi menempati Istana Negara sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno kini sadar bahwa eranya memang sudah berakhir. Ia bersiap angkat kaki dari istana, dan berpesan kepada anak-anaknya:

“Kalau meninggalkan istana tidak boleh boleh membawa apa-apa, kecuali buku-buku pelajaran, perhiasan sendiri, dan pakaian sendiri. Barang-barang lainnya seperti radio, televisi, dan lain-lain tidak boleh dibawa,” kata Bung Karno seperti dituliskan Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (2008: 265).

Saelan juga mencatat detik-detik bersejarah ini berdasarkan kesaksian Sogol Djauhari Abdul Muchid. Sogol adalah utusan Kolonel Bambang Widjanarko, salah seorang ajudan Bung Karno.

“Bung Karno meninggalkan Istana Negara sebelum tanggal 16 Agustus 1967, keluar hanya memakai celana puaman warna krem dan kaos oblong cap Cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih” (hlm. 267).

Kepada pengawalnya yang masih loyal, Sukarno meminta agar anak-anaknya dipulangkan ke rumah Fatmawati, istrinya yang kini menjadi mantan ibu negara. Sementara Bung Karno sendiri untuk sementara ditempatkan di salah satu paviliun di Istana Bogor.

Rupanya, Bung Karno tidak nyaman masih berada di lingkungan istana. Ia kemudian minta pindah. Permintaannya dikabulkan Soeharto. Bung Karno dipindahkan ke rumah peristirahatan yang berlokasi di Batutulis, Bogor.

“Kepindahannya itu rupanya didorong oleh keinginan untuk memperoleh lingkungan hidup yang lebih segar,” sebut Soeharto dalam buku autobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989: 244).

Namun, Sukarno juga tidak betah tinggal di rumah itu. Ia merasa tertekan karena hampir setiap hari diinterograsi. Sukarno kemudian menulis surat yang isinya meminta agar diizinkan kembali ke Jakarta. Surat tersebut dibawa salah seorang putri Bung Karno, Rachmawati, untuk disampaikan kepada Soeharto.

Permintaan itu dipenuhi. Kabarnya, seperti diungkap Syamsu Hadi dalam Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran (1991), salah satu orang yang menganjurkan kepada Soeharto agar mengizinkan Bung Karno dipindah ke Jakarta adalah Mohammad Hatta. Wakil Presiden pertama RI ini meminta agar Sukarno dipindahkan ke Wisma Yaso (hlm. 24).

Hatta tentunya punya pertimbangan matang terkait permintaan itu. Wisma Yaso adalah rumah yang dibangun Sukarno untuk salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi. Dengan ditempatkan di Wisma Yaso, Hatta berharap Bung Karno bisa mendapatkan ketenangan seperti di rumah sendiri.

Pada 10 Desember 1967, Soeharto memerintahkan agar Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso. Namun, selama ditahan di rumah itu, Bung Karno dilarang berhubungan dengan dunia luar dan dijaga ketat. Bahkan, keluarga dan kerabatnya sangat sulit untuk bertemu.

Infografik mozaik babak terahir sukarno

Infografik mozaik babak terahir sukarno. tirto.id/Nauval

Akhir Miris Bung Karno

Sukarno masih tampak tegar pada awal-awal masa pengasingannya di Wisma Yaso. Kepada Sidarto Danusubroto, ajudan yang tetap setia menemaninya selama menjadi tahanan rumah, Bung Karno menegaskan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, bahkan ditahan, dan lama-lama akan mati sendiri.

“Tapi catat ya, To,” kata Bung Karno seraya menatap Sidarto dengan raut muka yang tegas, “Jiwa, ide, ideologi, dan semangat tidak akan dapat dibunuh!”

Namun, ketegaran Sukarno lama-kelamaan kian meluruh. Sidarto mengungkapkan penderitaan Presiden RI pertama itu. “Saya disuruh ke sana ke mari untuk mencari duit, sebab Bung Karno tidak pegang duit,” ungkapnya seperti dituliskan Ully Hermono dan Peter Kasenda dalam Heldy: Cinta Terakhir Bung Karno (2011:203).

“Sewaktu disuruh mencari duit itulah, saya sempat bingung dari mana bisa memperolehnya, sebab orang-orang dekat Bung Karno sewaktu saya dekati malah lari semua. Mereka takut. Hanya satu-dua orang yang masih setia,” lanjut Sidarto.

Pernah suatu kali, Sidarto berhasil mendapatkan sejumlah uang. Kesulitan justru terjadi saat hendak membawa uang itu ke Wisma Yaso karena penjaga pastinya tidak memperbolehkan. Sidarto tak hilang akal. Ia memasukkan uang itu ke dalam kaleng biskuit, lantas diberikannya kepada Megawati.

“Mbak Mega yang membawa masuk (uang tersebut). Mbak Mega kan bisa beralasan mengunjungi ayahnya,” kenang Sidarto (hlm. 204).

Menurut Wimanjaya K. Liotohe dalam Prima Duka: Pembantaian Manusia Terbesar Abad Ini (1997), sejak pertengahan 1969, seluruh kunjungan keluarga dilarang dengan alasan Bung Karno telah resmi berstatus tahanan dan sedang dalam proses pemeriksaan mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G30S (hlm. 46).

Seminggu sekali, datang seorang perwira yang ditugaskan menginterograsi Bung Karno sepanjang hari. Tak hanya itu, penjagaan pun diperketat yang membuat geraknya semakin terbatas. Situasi seperti ini membuat Bung Karno tambah depresi. Ia bahkan mulai sering meracau, berbicara sendiri. Kesehatannya pun kian menurun.

Pada 16 Juni 1970 malam, Bung Karno tak sadarkan diri dan nyaris sekarat. Ia segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto. Di rumah sakit, Sukarno ditempatkan di sebuah kamar dengan penjagaan berlapis.

Hanya beberapa hari Bung Karno sanggup bertahan. Tanggal 21 Juni 1970 pagi, pemimpin besar revolusi itu mengembuskan napas penghabisan dalam status sebagai tahanan politik Orde Baru.

Begitukah cara Soeharto mematikan Sukarno?

Simak pendapat dokter pribadi Bung Karno, Mahar Mardjono, yang terungkap dalam majalah D&R edisi 26 September 1998:

“Jadi, kalau ada yang mengatakan Bung Karno dibiarkan meninggal, saya tidak terlalu menyalahkan pendapat tersebut [...] Kalau ada yang mengatakan Bung Karno dibunuh pelan-pelan, ya yang mengurungnya itu yang melakukannya.”

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 10 Maret 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan