tirto.id - Pada hari ketujuh bulan Februari 1967, Presiden Sukarno mengirim dua surat kepada Soeharto. Dalam salah satu surat, Sukarno mengatakan bersedia menyerahkan kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto. Penyerahan itu dengan syarat: Sukarno tetap dipertahankan sebagai kepala negara yang berwenang menyatakan perang, serta mengangkat dan menerima duta besar.
Tawaran Sukarno tersebut sebenarnya tidak begitu mengherankan. Setelah penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965, posisinya sebagai presiden semakin lemah.
Bung Karno, Esa Hilang Dua Tak Berbilang
Pelaku utama penculikan dan pembunuhan itu adalah Letnan Kolonel Untung—seorang komandan Cakrabirawa, pasukan khusus pengawal presiden. Untung tidak bermaksud menggulingkan Presiden Sukarno, tetapi dia dituduh melancarkan kudeta untuk kepentingan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tiga hari setelah peristiwa tersebut, Sukarno menunjuk Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis AD (Pangkostrad), untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban.
Soeharto menindaklanjuti penunjukan tersebut dengan membentuk Komando Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 10 Oktober 1965. The Smiling General itu pun menjadi panglima pertamanya.
Dalam Soeharto: A Political Biography (2001), sejarawan R.E. Elson menyebutkan, salah satu langkah awal yang dilakukan Kopkamtib adalah menamai peristiwa tersebut "Gestapu" (Gerakan September Tiga Puluh). Nama itu, menurut Elson, memang kurang berbudi bahasa tetapi cukup untuk menggambarkan bahwa peristiwa tersebut merupakan sebuah gerakan politik.
Setelahnya, Untung dihukum mati. Sementara organisasinya diberangus, anggota dan simpatisan PKI pun ditangkap lalu beberapa di antaranya dihukum mati atau dibunuh. Soeharto juga menyingkirkan anggota PKI dari jajaran birokrasi kementerian dan lembaga pemerintah lainnya.
Elson mencatat sebanyak 1.334 orang terkait PKI ditangkap di Jakarta per 16 Oktober 1965. Diperkirakan lebih dari 400.000 anggota dan simpatisan partai ini tewas dibunuh tentara atau anggota organisasi masyarakat yang berafiliasi dengan musuh-musuh politik PKI pada periode 1965-1966.
Menurut Elson, cepat dan masifnya tindakan Soeharto dimotori dua motif. Pertama, motif pengakuan bahwa zaman telah berubah secara mendasar sejak 1 Oktober 1965. “PKI (yang sebelumnya kuat) terbaring bingung, tidak pasti, sangat lemah dan terkapar,” sebut Elson (hlm. 124).
Kedua, motif perhatian yang lebih strategis: kebutuhan untuk menciptakan solidaritas dan meningkatkan legitimasi. Soeharto memanfaatkan momentum Gestapu untuk menyatukan kelompok anti-komunis di belakangnya dengan memusatkan perhatian mereka kepada PKI yang dijadikan kambing hitam kudeta.
Lemah Politik dan Ekonomi
Konstelasi politik Indonesia pun tidak lagi sama setelah PKI tiada. Karen Brooks dalam “The Rustle of Ghost: Bung Karno in the New Order” (1995) mengatakan, Sukarno bertumpu bersama dua kekuatan politik besar, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan PKI, dalam menciptakan stabilitas pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dicanangkannya sejak 1959. Menurut Brooks, Presiden Sukarno mesti berebut kekuasaan dengan tentara setelah PKI diberantas.
“Dengan keluarnya PKI dan tentara bertekad untuk menegaskan kontrol, Sukarno mendapati dirinya dan kebijakannya semakin diabaikan,” sebut Brooks.
Itu semakin terlihat sejak Sukarno meneken Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) pada 1966. Surat perintah itu memberi mandat kepada Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan dan menjaga keselamatan presiden.
Kronik ’65 (2017) yang disusun Kuncoro Hadi dan kawan-kawan mencatat, Supersemar memiliki kekuatan yuridis yang mengikat semua orang—bahkan Presiden Sukarno pun tidak bisa mencabutnya—ketika MPRS memutuskannya sebagai TAP MPRS Nomor IX/1966 pada 21 Juni 1966. Pada hari itu juga MPRS mencabut gelar Sukarno sebagai presiden seumur hidup.
Sementara itu, MPRS memberikan kewenangan kepada Soeharto, sebagai pengemban Supersemar, untuk membentuk kabinet pada 5 Juli 1966.