tirto.id - Persaingan antar capres, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto semakin memanas jelang Pilpres April 2019 mendatang. Jokowi sempat berujar kontroversial ihwal “propaganda Rusia” yang dianggap sebagai alat menggembosi pihaknya. Jokowi tak sekali mengucapkan soal “propaganda Rusia” pada kesempatan berbeda.
“Masalahnya adalah, ada tim sukses yang menyiapkan sebuah propaganda, yang namanya propaganda Rusia, yang setiap saat selalu mengeluarkan semburan fitnah, semburan dusta, semburan hoaks, ini yang harus segera diluruskan oleh bapak ibu sekalian sebagai intelektual.”
Mantan Wali Kota Solo itu mengatakan ada konsultan asing yang menggunakan teori propaganda Rusia. Kedutaan Besar Rusia di Indonesia buru-buru menyanggah pernyataan sang petahana itu. Melalui akun Twitter resminya, Kedutaan Rusia menyampaikan bahwa pernyataan itu sama sekali tidak berdasar realitas.
Tim Kampanye Nasional juga lantas mengklarifikasi pernyataan Jokowi. Juru Bicara TKN Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily menyebut bahwa Jokowi tak bermaksud merujuk intervensi Rusia sebagai negara. Ace mengatakan istilah Propaganda Rusia, mulai populer setelah RAND Corporation menerbitkan artikel berjudul The Russian “Firehouse of Falsehood” Propaganda Model (PDF, 2016) yang ditulis oleh Christopher Paul dan Miriam Matthews.
"Artinya istilah itu sudah mulai populer sejak 3 tahun yang lalu. Murni istilah dan referensi akademik," ucap Ace.
Di luar masalah "Propaganda Rusia", keterlibatan Rusia dalam Pilpres 2019 memang simpang-siur. Dalam sejarah Indonesia merdeka pun nisbi belum ada intervensi politik dari negeri pecahan Uni Soviet itu. Namun, justru RAND Corporation lah yang pernah cawe-cawe urusan politik Indonesia di akhir era Presiden Sukarno.
Guy Pauker Sang Agen
RAND Corporation adalah lembaga riset yang dibentuk Douglas Aircraft Company (DAC). Lembaga ini bermula dari Project RAND yang diinisiasi oleh militer Amerika Serikat (AS) bekerja sama dengan DAC pada 1946. Tujuannya tentu saja untuk kepentingan riset dan perencanaan militer serta menghubungkan militer dengan pihak swasta dan industri.
Pada situs resmi RAND Corporation, para pendirinya adalah petinggi AU Amerika Serikat dan perusahaan pesawat Douglas. Mereka adalah Mayor Jenderal Curtis LeMay, Asisten Kepala Staf AU Jenderal Lauris Norstad; Edward Bowles dari Institut Teknologi Massachusetts, Presiden DAC Donald Douglas, dan Kepala Teknisi DAC Arthur Raymond beserta asistennya Franklin Collbohm.
Kota Santa Monica dipilih sebagai kantor utama Project RAND. Tak hanya menarik ilmuwan bidang sains, Project RAND juga mempekerjakan para ilmuwan sosial dan psikologi. Dua tahun berdiri Project RAND sudah merekrut sekira 200-an ilmuwan dan staf. Pekerjaan mereka juga meluas ke ranah non-militer.
Karena itulah Project RAND diarahkan untuk lepas dari DAC menjadi lembaga riset mandiri. Sejak Mei 1948 Project RAND dengan bantuan Ford Foundation mulai memisahkan diri dari DAC. Sejak November RAND Corporation resmi berdiri sebagai lembaga riset nirlaba dengan tujuan, “Memajukan dan mempromosikan tujuan ilmiah, pendidikan, dan amal, semua demi kesejahteraan umum dan keamanan Amerika Serikat.”
RAND Corporation punya keterkaitan dengan Indonesia melalui salah seorang penelitinya, Guy Jean Pauker. Ia mulai bekerja di RAND Corporation sejak 1958. Sebelumnya ia adalah pendiri Komite Politik Perbandingan di Universitas Chicago.
Guy Pauker mulanya adalah pengkaji politik Asia Tenggara. Ia segenerasi dengan para pelopor kajian Indonesia asal AS macam Herbert Feith, Ben Anderson, Daniel Lev, Ruth McVey, atau George McTurnan Kahin. Namun, karya-karyanya tak pernah ada yang jadi klasik dan malah diragukan.
Sebabnya tak lain karena peneliti kelahiran Rumania ini disebut-sebut sebagai konsultan CIA yang ditanam di RAND Corporation. Marhum Wijaya Herlambang, koordinator riset Indonesia di International People’s Tribunal 1965, menyebut bahwa di RAND Corporation, Guy Pauker menduduki jabatan sebagai kepala Seksi Asia di Departemen Ilmu Sosial. Sejak bekerja di RAND Corporation inilah mulai mempelajari Indonesia.
“Sejak 1950-an, ketika dia berkunjung ke Indonesia atas sponsor RAND Corporation untuk melakukan studi lapangan tentang hambatan-hambatan politik terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia, Pauker berhasil menjalin hubungan dekat dengan para perwira tinggi militer Indonesia termasuk Direktur Seskoad Jenderal Suwarto,” tulis Wijaya dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2015: 142).
Sebelum 1965 Guy Pauker telah menyusun beberapa kajian mendalam tentang Indonesia dan khususnya PKI. Pada 1958 ia mempublikasikan Indonesian Images of Their National Self yang menggambarkan hambatan yang dihadapi Indonesia dalam membangun identitas dan kemakmuran. Tentang PKI ia menulis di antaranya Recent Communist Tactics in Indonesia (PDF) yang terbit pada 1960 dan Communist Prospects in Indonesia (PDF) pada 1964.
“Catatan Pauker tentang PKI selama 1960-1964, detailnya sangat mengesankan. Dia benar-benar mengerti PKI,” kata William Bradley Horton, pengkaji Indonesia dari Waseda University, sebagaimana dikutip majalah Tempo edisi 5-11 Oktober 2015.
Memberangus PKI
Tak bisa dipungkiri hasil kajian Guy Pauker tentang Indonesia memang berkualitas. Namun, keterlibatannya sebagai konsultan CIA dan RAND Corporation membuat kesarjanaannya cemar. Ia lalu lebih dikenal sebagai agen intelijen daripada akademikus.
Dibanding dengan Indonesianis AS lain pun posisinya sering kali berseberangan. Sementara Indonesianis lain murni bertindak sebagai akademikus atau ambil posisi sebagai pengkritik kebijakan AS terhadap Indonesia, pria lulusan Universitas Harvard ini justru penyokong pemerintah AS. Kajiannya dipakai untuk merancang pembendungan pertumbuhan komunisme di Indonesia.
“Ia tak hanya membangun pengetahuan, tetapi juga memanfaatkan pengetahuan itu dalam proses pembuatan kebijakan. [...] Kekhawatirannya terhadap pertumbuhan cepat PKI dan pengaruh Sukarno baik di dalam negeri maupun internasional, misalnya, telah mendorongnya untuk mendesak militer Indonesia untuk melaksanakan penggulingan Sukarno dan apa yang secara halus disebut 'menyapu bersih rumah mereka',” tulis Budiawan dalam “Seeing the Communist Past Through the Lens of a CIA Consultant” yang terbit di jurnal Inter-Asia Cultural Studies (2006: 653).
Karena itulah karya-karyanya tak pernah digubris Indonesianis lain. Meski begitu, namanya memang tak bisa dilepaskan begitu saja dari politik Indonesia 1960-an. Budiawan menyebut, setidaknya Guy Pauker berperan dalam tiga momen krusial di Indonesia.
Pertama, Ia berandil dalam kaderisasi elite militer Indonesia yang ke-Amerika-amerikaan melalui Seskoad pada akhir 1950-an. Kedua, merancang propaganda antikomunis setelah gegeran G30S. Ketiga, membenarkan pemusnahan PKI pada 1965-1966 (hlm. 650).
Hubungan Guy Pauker dengan TNI AD terjalin melalui Kolonel Suwarto. Majalah Tempo menyebut ia adalah salah satu perwira yang sempat mengenyam sekolah militer Fort Leavenworth dan lulus pada 1959. Suwarto juga dikenal kritis terhadap Sukarno dan dekat dengan Jenderal Ahmad Yani. Suwarto lalu dilindungi Jenderal Yani dengan menjadikannya Direktur Sekolah Staf dan Komando AD (Seskoad).
Pada 1962 Guy Pauker mengundang Suwarto ke kantor pusat RAND Corporation di Santa Monica. Saat itu Suwarto masih wakil komandan Seskoad. Guy Pauker memberinya banyak saran tentang isu-isu internasional. Ia juga belajar bagaimana menghimpun para akademisi sebagai konsultan politik dan ekonomi. Itulah modal Suwarto untuk mengubah kurikulum di Seskoad.
Suwarto lalu merekrut sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan beberapa sarjana penerima beasiswa Ford Foundation untuk mengajar di Seskoad. Suwarto dan Guy Pauker juga berkolaborasi menyusun doktrin militer baru tentang strategi perang teritorial yang memungkinkan tentara berperan dan mengontrol hingga ke level desa.
Pengaruh Guy Pauker lainnya adalah doktrin “Misi Sipil” yang diadopsi dari doktrin civic action ala militer AS. Doktrin ini berjalan dengan menempatkan pada posisi strategis dalam lembaga pemerintahan, organisasi sosial, dan institusi bisnis dan media massa. Dengan cara itu militer dapat membendung pengaruh politik PKI dan Presiden Sukarno sekaligus.
“Paukerlah yang membantu menuliskan rekomendasi resmi Departemen Luar Negeri AS untuk mempersiapkan MILTAG (Kelompok Penasihat Pelatihan Militer) di Jakarta untuk membantu proses implementasi aksi sipil di Seskoad,” tulis Wijaya dalam bukunya (hlm. 145).
Pada awal 1966, ketika pengikut PKI diburu di mana-mana, terbitlah Cornell Paper. Studi yang disusun oleh Indonesianis Ben Anderson, Ruth McVey, dan Frederick Bunnell itu berargumen bahwa musabab G30S adalah konflik internal tentara, alih-alih didalangi PKI.
Pada 1967 Guy Pauker menyarankan kepada Suwarto agar menyusun buku berbahasa Inggris sebagai bantahan resmi atas Cornell Paper. Buku itu sekaligus juga dimaksudkan menjadi penjelasan formal atas G30S 1965 kepada publik internasional. Tak sekadar saran, Guy Pauker juga membantu risetnya.
“Suwarto kemudian mengirim Brigadir Jenderal Nugroho Notosusanto, pemimpin Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, dan Letnan Kolonel Ismail Saleh, jaksa mahkamah militer luar biasa yang mengadili tersangka G-30-S ke Amerika untuk menemui Pauker. Dengan bantuan Pauker, Nugroho dan Ismail menulis The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia (1968), yang menggambarkan PKI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat sebagai pelaku kudeta,” tulis majalah Tempo edisi 5-11 Oktober 2015.
Editor: Suhendra