tirto.id - Empat bulan setelah menggulingkan kediktatoran Fulgencio Batista dan mendirikan pemerintahan sosialis, Che Guevara, kawan Fidel Castro yang ikut bergerilya menyoroti masalah buta huruf di Kuba yang memburuk dalam 25 tahun terakhir.
Penyebab buta huruf massal itu, jelas Che, adalah penggelapan dana dan pembangunan sekolah yang hanya berkutat di sekitar wilayah pusat pemerintahan. Che menginginkan agar sekolah segera didirikan di hingga ke pelosok demi memenuhi kebutuhan rakyat akan pendidikan.
Pada 1953, saat rezim Jenderal Batista berkuasa, angka buta huruf warga Kuba yang berusia 10 tahun ke atas mencapai 76 persen, menurut Carolyn Davidson Abel dan Charles Frederick Abel dalam "Early Literacy In Cuba: Lessons For America" (2017, PDF). Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan miskin menyebabkan anak-anak orang kaya lebih melek huruf karena dididik di sekolah swasta terbaik atau di luar negeri.
Sedangkan anak-anak orang miskin petani di pedesaan harus cukup puas dengan bersekolah di sekolah negeri yang mutunya rendah. Anak-anak dari orang tua petani lima kali lebih kecil kemungkinannya tamat Sekolah Dasar (SD). Akibatnya, tingkat buta huruf menonjol di daerah-daerah pedesaan.
Untuk merespons hal itu, Fidel Castro yang saat itu menjabat perdana menteri Kuba membentuk Komisi Keaksaraan Nasional untuk menggelar kampanye pemberantasan buta huruf secara besar-besaran di Kuba.
Dimulainya Perang Melawan Buta Huruf
September 1960, Fidel Castro berpidato panjang selama 4 jam 29 menit di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah satunya isinya menyinggung masalah kampanye literasi yang sedang ia persiapkan karena ia bertekad memerangi buta huruf di Pulau Kuba.
Kampanye giat melek huruf ini mendapat dukungan dari UNESCO. Ruth A. Supko dalam "Perspectives on the Cuban National Literacy Campaign" (1998, PDF) mencatat, kampanye melek huruf Kuba mulai masif terlaksana pada tahun 1961. Antara bulan April sampai Desember, sebanyak 268.420 guru pengajar baca-tulis dasar dilibatkan dalam kampanye ini.
Para guru relawan tersebut datang dari berbagai latar belakang. Pemerintah memberikan bahan ajar dasar sederhana dan perlengkapan kepada para relawan fasilitator dan pekerja yang dikirim ke desa-desa.
Setiap pekerja dibekali dua buku panduan (Kami Mesti Membaca dan Kami Harus Taklukkan), sepasang sepatu bot, dua pasang kasut, sebuah baret hijau, dua pasang celana, dua kemeja, selimut, lentera, tempat tidur gantung, dan sebuah emblem di bahu bergambar Conrado Benítez. Conrado adalah seorang guru relawan muda yang mati dibunuh oleh gerilyawan anti-Castro.
Supko menyebut, kampanye literasi menyatukan orang Kuba dari kota dan desa, muda dan tua, kaya dan miskin. Rakyat Kuba mendapat pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang akrab antar-kelas sosial dan latar belakang yang berbeda. "Anda akan mengajar, tetapi ketika Anda mengajar, Anda juga akan belajar," kata Castro suatu hari saat mengantar sekelompok guru muda yang hendak pergi ke pedesaan.
Dalam waktu kurang dari setahun, pemerintah Kuba berhasil mengurangi tingkat buta huruf nasional menjadi kurang dari empat persen. Pada 1964, UNESCO menetapkan Kuba sebagai negara yang bebas buta huruf.
Kampanye melek huruf yang dicanangkan pemerintahan Fidel Castro tak semata mencuat setelah revolusi. Bibit-bibitnya sudah disemai dan diterapkan di lingkaran internal gerilyawan anti-Batista. Menurut Carolyn dan Charles, tiap kali gerilyawan Castro pemberontak berhasil menguasai satu wilayah, mereka mendirikan dewan literasi lokal dan menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak dan tentara.
Ketika masuk ke Havana pada Januari 1959, banyak dari personel milisi Castro yang buta huruf. Sebuah lembaga bernama Direktorat Kebudayaan Tentara Pemberontak langsung didirikan dan kelak menjadi Departemen Pendidikan Kementerian Angkatan Bersenjata. Di bawah arahan departemen tersebut, semua markas tentara, kamp, dan kantor polisi menjadi pusat literasi beserta program-programnya bagi personel militer yang dimulai pada Februari 1959 atau sebulan setelah revolusi dimenangkan.
Meski mengundang kritik karena dianggap hanya mengajarkan pengetahuan tertentu dan relawan-relawan yang terlibat bergaya militeristik, proyek ini benar-benar efektif memberantas buta huruf. Data UNICEF 2008 sampai 2012, tingkat melek huruf pemuda-pemudi Kuba umur 15-24 tahun mencapai 100 persen. Data CIA menunjukkan tingkat melek huruf masyarakat Kuba mencapai 99,8 persen pada 2015.
Tak hanya itu, Kuba menggratiskan pendidikan di semua level. Pada 2010, Independent mencatat bahwa murid-murid sekolah di Kuba diharapkan untuk saling membantu di kelas, sehingga tak seorang pun yang ketinggalan pelajaran. Orangtua juga diharapkan bekerjasama dengan guru untuk memantau perkembangan sosial anak dan memuluskan transfer pengetahuan.
Proses belajar mengajar di sekolah biasanya mulai pukul 06.30 sampai 12.00. Sulit menemukan siswa yang bolos atau tidak disiplin. Ada pula "guru bergerak" yang dikerahkan ke rumah-rumah jika anak tak bisa datang ke sekolah karena sakit atau terhalang cacat tubuh.
Kuba memang mengikuti kampanye melek huruf yang digencarkan pemerintahan komunis Uni Soviet pasca-revolusi Rusia (1917). Pada dekade 1920-an, Uni Soviet memakai berbagai metode (termasuk film) untuk menggenjot literasi masyarakat. Salah satu poster di era itu berbunyi: "Melek huruf adalah jalan menuju komunisme".
Tak heran jika kampanye melek huruf di Indonesia besar digencarkan secara masif oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam "Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution" (1990), Ruth McVey menyebutkan bahwa pada 1957 PKI meluncurkan kampanye pemberantasan buta huruf (PBH) yang menyasar kader partai dan masyarakat umum.
Mirip dengan apa yang dilakukan pemerintah sosialis Kuba, kampanye pemberantasan buta huruf oleh PKI diselenggarakan melalui pembentukan kelompok-kelompok dengan seorang pemimpin yang bertindak sebagai guru atau tutor baca-tulis. Dalam proses belajar, para partisipan juga memperoleh pendidikan politik, bahkan kecakapan dasar riset. Murid harus dapat membaca dan menulis setelah dua bulan menjalani pendidikan baca-tulis.
Organ yang mengurusi kampanye pemberantasan buta huruf oleh PKI adalah Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi dengan PKI. Kampanye dijalankan selama musim panen saat warga desa sedang giat semangat gotong royong bekerja. Selain itu, PKI juga mendirikan Universitas Rakjat (Unra), Mimbar Pengetahuan Rakyat (Mipera) yang menawarkan pendidikan setara SMA, Balai Pengetahuan Rakyat (Bapera) yang setingkat SMP, dan Panti Pengetahuan Rakjat (Panpera) yang setaraf SD.
Editor: Windu Jusuf