tirto.id - Ribuan rakyat Kuba turun ke jalanan, Minggu (11/7/2021) lalu. Aksi massa berskala besar seperti ini tergolong langka, terakhir kali terjadi pada musim panas 1994. Dulu, protes dipicu oleh kemerosotan ekonomi akibat runtuhnya Uni Soviet, negara sahabat utama selama Perang Dingin. Lalu, apa sebab demonstrasi kali ini?
Protes awalnya dilayangkan karena krisis ekonomi selama pandemi Covid-19, yang sebenarnya menimpa seluruh dunia, tapi kemudian diamplifikasi hingga menjadi protes antipemerintah dan antikomunis, ideologi resmi negara tersebut. Kemudian muncul kontraprotes untuk membela pemerintah dan Gerakan 26 Juli (Revolusi Kuba) yang mengusung poster bapak bangsa, Fidel Castro.
Presiden Miguel Díaz-Canel yang April kemarin menggantikan Raúl Castro di pucuk kepemimpinan Partai Komunis Kuba menyatakan protes ini “terkontaminasi oleh kelompok oportunis yang memanfaatkan krisis saat ini untuk merusak ketertiban dan menghasilkan kekacauan.” Díaz-Canel juga menganggap demonstasi digerakkan melalui kampanye masif di media sosial oleh “mafia Kuba-Amerika,” orang-orang keturunan Kuba di AS—terutama bermukim Miami, Florida—yang merupakan basis pendukung Republikan dan cenderung anti terhadap rezim Castro.
Pernyataan terakhir selaras dengan temuan Julián Macías Tovar, analis dari Spanyol, soal keberadaan operasi di media sosial yang digerakkan oleh operator politik sayap kanan dari luar negeri yang sudah terbiasa berkampanye negatif, bahkan hoaks, terhadap pemerintahan kiri di Amerika Latin.
Menuntut Kebutuhan Dasar
El Pais melaporkan demonstrasi dimulai oleh ratusan orang di San Antonio de los Baños dan Palma Soriano, kemudian menyebar ke ibu kota negara, Havana, dan kota-kota lain. Para demonstran memprotes perpanjangan jadwal mati lampu dan menuntut percepatan program vaksinasi Covid-19.
Dalam wawancara dengan Democracy Now, jurnalis Kuba dari media independen Belly of the Beast, Daniel Montero, yang ikut menghadiri demo di Havana, menangkap fenomena unik dalam protes. Slogan-slogan politis riuh digaungkan para demonstran, misalnya "akhiri komunisme" atau "perubahan rezim". Namun, setelah Montero dan timnya bertanya langsung, harapan mereka ternyata tidak muluk-muluk. “Kami cuma minta lebih banyak makanan. Kami mau obat. Kami hanya ingin [terpenuhinya kebutuhan] yang dasar-dasar saja.”
Selama pandemi berlangsung, bahan pangan dan obat-obatan langka. Menurut temuan BBC, obat generik seperti aspirin sulit ditemukan di apotek maupun rumah sakit, sementara roti di pasaran kebanyakan berbahan dasar labu alih-alih tepung gandum. Selain itu, layanan listrik kerap dihentikan selama berjam-jam karena masalah suku cadang di pusat pembangkit listrik dan berkurangnya pasokan bahan bakar minyak dari Venezuela.
Situasi semakin runyam seiring meroketnya harga komoditas. Pada Januari lalu, pemerintah memutuskan mendevaluasi peso dalam rangka menggenjot ekspor dan menekan impor. Akan tetapi inflasi tetap terjadi karena ruang bagi investasi swasta tetap sempit. Juni kemarin, seorang penduduk di Havana mengatakan beras subsidi yang harganya 10 peso dijual di pasar informal dengan harga yang melambung enam kali lipat. Sama halnya dengan minyak goreng (dari 50 peso jadi 200 peso) dan susu bubuk untuk anak-anak dan lansia (dari 2,5 peso jadi 300 peso).
Pada 2020, perekonomian Kuba menciut 11 persen. Selain tersendatnya turisme sebagai salah satu sumber pemasukan terbesar, produksi gula—komoditas ekspor utama—juga tidak mencapai target. Menurut AZCUBA, perusahaan negara untuk pertanian tebu, produksi gula sampai April 2021 hanya 68 persen dari target atau sekitar 816 ribu ton—terendah selama 100 tahun sejak data panen tebu tercatat pada 1908. Rendahnya produksi berkaitan dengan keterbatasan cadangan devisa untuk beli bahan bakar dan kebutuhan pertanian.
Covid-19 menggila di tengah keterpurukan tersebut. Tahun lalu negara dengan populasi 11 juta jiwa ini berhasil menekan kasus infeksi dan mencatat angka kematian rendah. Namun semuanya mulai meroket pada paruh pertama 2021. Melansir data dari Reuters, pada musim panas tahun ini tercatat 6.923 kasus infeksi (10 Juli) dan 51 kematian (14 Juli). Sebagai pembanding, pada malam tahun baru infeksi harian hanya tercatat 193 dan tanpa satu pun kematian.
Namun Kuba tetap berhasil mengembangkan vaksin sendiri. Sayangnya produksi terhambat karena kesulitan mengimpor bahan dan bertransaksi dengan penyuplai di luar negeri. Material yang sulit didapat itu salah satunya jarum suntik. Permintaan jarum suntik di sana lebih tinggi karena vaksin made in Cuba harus disuntikkan sebanyak tiga dosis, sementara vaksin lain umumnya hanya dua. Kabar baiknya, sejumlah lembaga swadaya yang berbasis di AS dan Eropa mulai menggalang donasi untuk membantu memenuhi sekitar 25 juta kebutuhan jarum suntik.
Embargo dan Cita-cita AS 'Mendemokratisasikan' Kuba
Negara adidaya yang jaraknya hanya satu jam perjalanan pesawat dari ibu kota Havana, Amerika Serikat (AS), cepat sekali menyatakan dukungan terhadap gerakan protes. Presiden AS Joe Biden menyatakan rakyat Kuba punya hak untuk memprotes “cengkeraman tragis pandemi serta puluhan tahun penindasan dan penderitaan ekonomi yang mereka alami di bawah rezim otoriter Kuba.”
Masalahnya, seperti yang dikatakan Presiden Díaz-Canel, AS-lah yang berada di balik karut-marut ekonomi Kuba. Menurutnya sanksi ekonomi dari pemerintah AS—berlaku penuh sejak 1962 di bawah era John F. Kennedy dan diperparah oleh administrasi Donald Trump—berperan mendorong krisis pangan, obat-obatan, dan bahan bakar.
Beberapa hari kemudian, Díaz-Canel kembali menyindir sikap pemerintah AS. “Kalau Biden memang punya keprihatinan kemanusiaan yang tulus terhadap rakyat Kuba, dia bisa saja menghapus sanksi melumpuhkan yang ditetapkan mantan Presiden Donald Trump sebagai langkah pertama untuk mengakhiri blokade ekonomi.”
John Kirk, profesor kajian Amerika Latin di Dalhousie University, Kanada, mengatakan Kuba memang tak bisa beli banyak barang dari pasar dunia “karena setiap perusahaan yang berdagang dengan Kuba menggunakan mata uang dolar berisiko dituntut oleh pemerintah AS.”
Menurut data Observatory of Economic Complexit pada 2019, kebanyakan mitra dagang utama Kuba berasal dari negeri yang jauh. Kuba paling banyak mengekspor produknya ke Cina (38 persen), Spanyol (10,5 persen), Belanda, dan Jerman (masing-masing 5 persen). Sementara impor terbanyak dari Spanyol (19 persen), diikuti Cina (15 persen), Italia (6 persen), serta Rusia dan AS (masing-masing 5 persen).
Ketidakharmonisan Kuba dan AS dapat ditarik mundur sekitar enam dekade silam, tepatnya setelah Fidel Castro mendirikan rezim komunis dengan menggulingkan Fulgencio Batista, diktator sokongan Paman Sam, pada 1959. Setahun kemudian, Presiden Dwight D. Eisenhower mulai membatasi impor gula dari Kuba, membekukan aset-aset orang Kuba di AS, dan memutus hubungan diplomatik.
Tak lama setelah AS gagal menumbangkan Castro dalam Invasi Teluk Babi (1961), administrasi John F. Kennedy mulai memberlakukan sanksi ekonomi termasuk embargo penuh. Sebelumnya Kuba adalah rekan dagang penting AS—termasuk dalam peringkat sepuluh besar pasar ekspor. Berdasarkan laporan Komisi Internasional Perdagangan AS, pada 1958 70 persen produk yang diimpor Kuba berasal dari AS, sedangkan Kuba mengekspor 67 persen produknya ke AS. Dalam kurun waktu tujuh tahun, nilai ekspor AS ke Kuba merosot drastis dari 617 juta dolar AS (1957) menjadi nol (1964).
Kuba selamat berkat sokongan Uni Soviet dan negara-negara sosialis di Eropa Timur melalui skema Community for Mutual Economic Assistance (CMEA). Hampir seluruh kebutuhan dasar Kuba seperti minyak, gandum, pupuk, dan bahan mentah industri dapat terpenuhi dari CMEA. Namun situasi berubah ketika Blok Timur runtuh dan menggiring Kuba ke jurang krisis ekonomi sampai nilai PDB-nya menyusut 35 persen—situasi yang dipandang ekonom tak jua membaik sampai hari ini.
Tapi pemerintah AS terus bernafsu menghukum Kuba dengan berbagai sanksi, semata agar mereka mau berubah jadi 'negara demokrasi' ala Paman Sam. Dirangkum dari Council of Foreign Relations, pada 1992 Kongres meloloskan UU Demokrasi Kuba yang memberlakukan larangan berlabuh ke AS bagi kapal-kapal yang berdagang dengan Kuba dalam 180 hari terakhir dan mencegah anak-anak perusahaan AS berbisnis dengan Kuba. Situasi ini menyulitkan karena mayoritas kebutuhan pangan dan obat Kuba pascakejatuhan Soviet berasal dari perusahaan AS.
Kemudian, pada 1996, UU Kebebasan Kuba dan Solidaritas Demokratis (Libertad) yang ditandatangani oleh Bill Clinton mengatur pemberian sanksi kepada perusahaan asing yang berdagang dengan Kuba. Berbagai sanksi tersebut akan dicabut apabila klan Castro tak lagi berkuasa, tahanan politik dibebaskan, diselenggarakannya pemilu, serta berdirinya pers yang bebas.
Berbagai regulasi untuk membuat Kuba berpaling dari ideologi komunis itu tak membuahkan hasil bahkan setelah 30 tahun. Melansir ulasan Christopher Sabatini dari think tank Chatam House, salah satu faktor kegagalan tersebut tak lain terkait dengan tujuan sanksi ekonomi itu sendiri. Menurut Sabatini, 'perubahan rezim' bukanlah tujuan yang spesifik alias terlalu luas dan kabur. Selain itu, agar sanksi ekonomi menimbulkan efek jera, diperlukan sokongan koalisi pemerintahan alih-alih satu negara saja (misalnya sanksi kepada Iran, yang juga didukung PBB).
Sabatini juga menyorot patokan pencabutan sanksi yang terbatas pada dua pilihan pasti: Kuba jadi 'demokratis' atau tidak sama sekali. Artinya, tidak ada insentif atau keringanan apabila Kuba menunjukkan perubahan menuju arah yang AS inginkan.
Para pakar kesehatan mengkritisi betapa tidak manusiawinya kebijakan embargo karena turut berdampak pada kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Kuba. Tim delegasi dari American Public Health Association yang berkunjung ke Kuba pada 1993 sampai-sampai menyebutnya “politik penderitaan”.
Hal serupa dikatakan Richard Garfield dan Sarah Santana di American Journal of Health (1997). Mereka menyatakan karena UU demokratisasi Kuba diperkirakan harus membayar 30 persen lebih mahal untuk produk-produk yang dibeli di luar AS dengan biaya pengiriman yang juga lebih tinggi 50-400 persen. Garfield dan Santana juga mengutip temuan bagaimana Swiss, Prancis, Meksiko, dan Republik Dominika diancam Kedubes AS agar membatalkan penjualan sabun sampai susu kepada Kuba. Kementerian Perdagangan AS menganggap transaksi tersebut berkontribusi pada “terorisme medis” terhadap rakyat Kuba.
Melalui UU Reformasi Sanksi Dagang (TSRA) yang berlaku pada 2000, AS memang mulai melonggarkan kebijakan embargo dengan mengizinkan ekspor komoditas pertanian, termasuk obat-obatan dan peralatan medis. Namun ekspor hanya bisa dilakukan tanpa bantuan pemerintah AS maupun pendanaan swasta. Akibatnya, nilai ekspor AS ke Kuba tetap jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Eropa atau Amerika Latin lain. Pada tahun itu pula Kuba menjalin kesepakatan dagang minyak dengan Venezuela, yang dipimpin Hugo Chavez. Sebagai gantinya Kuba mengirimkan staf ahli kesehatan, pendidikan, dan teknologi.
Jalan terang hubungan Kuba-AS semakin kentara pada era Barack Obama. Pada 2015 AS merestorasi relasi diplomatik dan menghapus Kuba dari daftar negara sponsor teroris. Obama juga melonggarkan kebijakan terkait kunjungan dan pengiriman uang ke Kuba. Orang-orang keturunan Kuba di AS mulai diperbolehkan mengirim uang dalam jumlah tak terbatas untuk sanak saudara. Kunjungan warga AS ke Kuba pun tidak lagi dibatasi.
Hanya saja, Obama tetap gagal meyakinkan Kongres AS untuk menghapus kebijakan embargo.
Hubungan AS-Kuba memburuk setelah kepergian Obama. Administrasi Donald Trump (2017-2021) mempersulit kembali kunjungan warga AS ke Kuba, membatasi penerbangan hanya ke Havana, dan mengurangi nominal uang yang bisa dikirim kepada keluarga di Kuba jadi 1.000 dolar AS per tiga bulan. Mereka juga menjatuhkan sanksi pada sejumlah perusahaan dan kapal Venezuela yang mengirimkan minyak ke Kuba pada September 2020. Situasi semakin parah ketika dua bulan kemudian Western Union harus menangguhkan operasional 407 kantor cabang di Kuba karena administrasi Trump melarang transfer perbankan melalui perusahaan-perusahaan finansial yang bekerja sama dengan militer Kuba.
Status Kuba sebagai negara sponsor teroris pun kembali disematkan beberapa hari sebelum Trump resmi meninggalkan Gedung Putih.
Presiden AS Joe Biden yang baru saja menjabat sempat menjanjikan relasi yang lebih baik dengan Kuba, akan tetapi tetap tidak berencana melonggarkan kebijakan pengiriman uang dari individu ke individu, yang diperkirakan mencapai 2-3 miliar dolar AS per tahun, pemasukan tertinggi ketiga setelah layanan jasa dan pariwisata.
Dengan segala kesulitan yang dialami—perhitungan PBB pada 2018 silam, Kuba sudah merugi 130 miliar dolar AS akibat embargo selama hampir 60 tahun—seruan untuk mengakhiri embargo terus bermunculan di rapat-rapat PBB setiap tahun sejak 1992. Namun selama itu pula selalu dijawab dengan penolakan oleh Paman Sam (kecuali pada era Obama, AS abstain).
Desakan terakhir muncul pada akhir Juni kemarin, dilakukan oleh 184 negara anggota PBB. Tapi AS, dan sekutunya Israel, lagi-lagi menolak. Diplomat AS bersikeras sanksi ekonomi tetaplah perangkat yang penting untuk “mendorong demokrasi” di Kuba, terlepas setengah abad ini cara tersebut tak pernah terbukti membuahkan hasil.
Di sisi lain, sejumlah pihak menyayangkan keengganan Kuba untuk mereformasi ekonomi seperti yang dilakukan Cina dan Vietnam. Pada kunjungan resmi 2018 silam Sekjen Partai Komunis Vietnam Nguyen Phu Trong sudah pernah mengajak Kuba untuk mempertimbangkan ekonomi pasar sebagaimana Vietnam lakukan pada dekade 1980-an. Kala itu Vietnam mencatat pertumbuhan ekonomi pesat dan berhasil mengangkat 30 juta rakyatnya dari kemiskinan. Menurut mantan ekonom bank sentral Kuba yang kini mengajar di Javeriana University, Colombia, Kuba sudah banyak kehilangan kesempatan untuk mereformasi ekonomi sejak dekade 1990-an.
Media propasar The Economist pun berpandangan mirip. Di samping Biden perlu mengakhiri embargo AS (demi kepentingan bisnis pengusaha-pengusaha AS sendiri, tentunya), Kuba juga bisa mengatasi krisis ekonomi dari dalam dengan memberikan ruang lebih luas bagi perusahaan swasta. Meskipun langkah tersebut berpeluang menggerus kekuatan Partai Komunis, setidaknya kesejahteraan sosial yang menjadi spirit Revolusi Kuba akan tetap terjaga.
Editor: Rio Apinino