tirto.id - Raúl Castro resmi mengakhiri masa baktinya sebagai pemimpin Komite Sentral Partai Komunis Kuba pada Kamis (16/04). Mandat kekuasaan tertinggi itu diembannya sejak 2011, setelah sang abang—pemimpin Revolusi Kuba, Fidel Castro—pensiun. Pada 2006, karena alasan kesehatan, Fidel bahkan sudah mendelegasikan adiknya sebagai presiden, jabatan paling top nomor dua yang sempat dirangkap Fidel sendiri selama dua dekade.
Kurang lebih 10 tahun, Raúl berperan sebagai sekretaris partai dan presiden Kuba. Pada 2018 silam, Raúl memberikan kursi kepresidenan kepada Miguel Díaz-Canel, politisi yang kini juga menggantikannya di pucuk kepemimpinan partai. Kehadiran Díaz-Canel mengawali babak baru Kuba di bawah komando seorang figur selain kakak-beradik Castro, yang total sudah berkuasa selama enam dasawarsa, tepatnya setelah diktator sokongan Amerika Serikat, Fulgencio Batista, berhasil digulingkan melalui Revolusi Kuba (1959).
Sebelum diangkat menjadi pemimpin de facto Kuba, Raúl adalah Menteri Angkatan Bersenjata Revolusioner Kuba (FAR) selama nyaris setengah abad (1959-2008). Di bawah pengawasan dan arahan Fidel sebagai comandante en jefe atau panglima tertinggi negara, Raúl mengepalai FAR (meliputi pasukan angkatan darat, laut, udara, termasuk beragam organisasi paramiliter) dan ikut membangun strategi pertahanan nasional.
Setelah revolusi meletus, tak terhitung serangan datang dari pihak-pihak anti-Castro, khususnya dalam bentuk operasi rahasia yang disokong Washington melalui badan intelijen CIA, seperti percobaan pembunuhan untuk mengenyahkan Fidel. Selain itu, masih ada Invasi Teluk Babi (1961), serangan militer yang dilancarkan oleh sekitar 1.400 eksil Kuba berbekal pelatihan dan logistik dari intelijen AS. Dalam waktu singkat, pasukan Kuba berhasil melumpuhkan mereka. Para eksil yang ditangkap sebagai tawanan perang kelak diterbangkan kembali ke Miami, Florida untuk ditukar dengan makanan bayi dan obat-obatan produksi AS.
Keamanan domestik juga terancam selama Krisis Misil Kuba (1962), tatkala Kuba terseret dalam pusaran Perang Dingin yang melibatkan adu kekuatan senjata nuklir antara pemerintah Soviet dan AS. Di samping itu, sepanjang dekade 1970-an, Kuba dihadapkan pada serangkaian aksi terorisme dan pengeboman oleh sekumpulan grup anti-Castro di bawah organisasi militan Coordinación de Organizaciones Revolutionarias Unidas (CORU), yang tokoh-tokoh pendirinya diketahui pernah direkrut untuk kepentingan misi-misi CIA. Singkatnya, bukan pekerjaan mudah bagi Raúl dan jajarannya di Angkatan Bersenjata untuk mempertahankan keamanan di negeri yang baru saja merayakan kemenangan revolusi.
Raúl, Target Paling Awal CIA
Menilik peran potensial Raúl dalam menyukseskan strategi-strategi pertahanan Kuba, tidak mengherankan apabila ia pernah dijadikan target awal CIA untuk dihabisi. Pada hari Raúl mengumumkan dirinya akan pensiun, Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive) merilis dokumen rahasia terkait rencana CIA untuk membunuhnya pada 1960. Misi ini melibatkan pilot asal Kuba bernama Jose Raul Martinez. Menurut rencana, Martinez akan menerbangkan armada milik maskapai sipil Cubana Airlines yang disewa untuk menjemput Raúl beserta beberapa pemimpin Kuba di Praha, Ceko.
Pilot Martinez dijanjikan uang sebesar USD 10.000 (sekitar Rp 145 juta sesuai kurs sekarang) apabila berhasil menciptakan insiden yang terlihat seperti kecelakaan dalam penerbangan pulang menuju ibukota Havana. CIA bahkan berkenan untuk membiayai uang kuliah anak-anak Martinez apabila ia meninggal dalam misi tersebut. Setelah berdiskusi dengan agen CIA tentang berbagai kemungkinan teknis untuk menimbulkan kecelakaan, Martinez dilaporkan akan mengesampingkan langkah-langkah yang berujung pada kegagalan mesin pesawat. Pasalnya, hal itu berisiko besar menimbulkan kebakaran dan menyulitkan misi penyelamatan penumpang atau awak kabin. Selain itu, terdapat keraguan bahwa “kecelakaan” bisa diciptakan tanpa membahayakan seluruh nyawa penumpang.
Tak berapa lama setelah Martinez bertolak ke Praha, muncul perintah dari CIA untuk membatalkan misi pembunuhan Raúl. Hanya saja, Martinez terlanjur tidak bisa dihubungi. Pada akhirnya, Martinez mendarat dengan selamat di Kuba, lantas mengaku tidak punya peluang untuk mengakali kecelakaan pesawat sebagaimana sudah direncanakan sebelumnya.
Masih dikutip dari laman NSA, pada pertengahan 1970-an, komite yang dipimpin anggota senat Frank Church merilis laporan investigasi terkait rencana pembunuhan Raúl oleh CIA. Sepanjang pengetahuan Komite Church, aksi tersebut merupakan “tindakan pertama kali” yang disponsori CIA untuk menghilangkan nyawa seorang tokoh pemimpin Kuba. Akan tetapi, kala itu pihak komite tidak menerima informasi kunci lainnya, yang mungkin ditangguhkan atau ditolak oleh CIA, bahwa calon pembunuh Raúl berprofesi sebagai pilot, dan rencana pembunuhan itu melibatkan maskapai penerbangan sipil.
Raúl Castro, Prajurit Gerilya Sejati
Keterlibatan Raúl dalam Revolusi Kuba diawali dari perannya sebagai seorang serdadu muda. Pada 1952, setelah menyaksikan kudeta militer di negaranya oleh Fulgencio Batista, Raúl bergabung dengan organisasi pemuda milik Partido Socialista Popular, partai komunis Kuba yang pro-Uni Soviet. Tak lama kemudian, Raúl tergerak mengikuti abangnya, Fidel, dalam usaha melengserkan kediktatoran Batista. Raúl adalah satu dari sekitar 150 anak muda di balik aksi penyerangan barak militer Moncada di kota Santiago pada 1953 yang dipimpin Fidel dan berakhir gagal.
Profesor sejarah Hal Klepak dari Royal Military College of Canada mengulas awal mula perjalanan Raúl sebagai seorang tokoh militer dalam buku berjudul Raúl Castro and Cuba: A Military Story (2012).
Raúl baru genap berusia 22 tahun ketika pertama kali mengangkat senjata untuk menjaga bangunan rumah sakit dalam misi penyerangan barak militer Moncada. Aksi-aksi pemberontakan pimpinan Fidel ini menggiring kakak beradik itu ke jeruji besi. Pada 1955, setelah mendapat ampunan Batista, keduanya melarikan diri sebentar ke Meksiko untuk membentuk pasukan gerilyawan. Setelah kembali ke Kuba, tepatnya di pegunungan Sierra Maestra, mereka merekrut dan melatih personel untuk menyerang pasukan Batista di Havana. Masa-masa ini mematangkan Raúl dari seorang serdadu bocah menjadi pelatih angkatan militer dan komandan di medan perang.
Raúl terutama menjunjung tinggi kedisiplinan sebagai kunci untuk membangun angkatan militer yang efektif, sampai-sampai ia dikenal dengan reputasinya yang agak kejam, tulis Klepak. Masih mengutip Klepak, “[Raúl] sangat percaya bahwa tanpa kedisiplinan yang tegas dan kesetiaan absolut, gerakan mereka akan hancur”.
Selama berjuang sebagai gerilyawan, Raúl membuktikan bahwa dirinya adalah “penyelenggara yang baik, prajurit yang efektif, pemimpin yang bagus, dan pendisiplin yang bersungguh-sungguh”. Berdasarkan temuan Klepak, Raúl sudah pernah memberikan komando atas 248 misi operasi. Pasukannya berhasil menembak jatuh 3 pesawat musuh, mengalahkan hampir 2.000 prajurit Batista, mengambil alih 25 garnisun, 6 pesawat, 16 kereta dan merampas 1.000 unit persenjataan.
Tahun baru 1959 dirayakan dengan kemenangan Revolusi Kuba. Batista berhasil dilengserkan dan Fidel Castro resmi menjadi pemimpin Kuba (Perdana Menteri). Sementara itu, sang adik, Raúl, pada usia 28 tahun dipasrahi mandat sebagai Menteri Angkatan Bersenjata Revolusioner (FAR), sebuah jabatan yang baru dibentuk pasca-revolusi. Akibatnya, Raúl disibukkan setumpuk urusan mulai dari mempersenjatai pasukan hingga mempersiapkan strategi untuk menghadapi potensi ancaman dari Amerika Serikat yang kesal dengan langkah nasionalisasi perusahaan oleh Fidel.
Seperti diungkapkan Harlan Abrahams dan Arturo Lopez-Levy dalam buku Raúl Castro and the New Cuba: A Close-Up View of Change (2011), tak lama setelah diangkat sebagai pejabat militer, Raúl mulai mengirim misi-misi militer ke Soviet dan Cina, di samping mengatur pembelian senjata dan perlengkapan militer dari Eropa. Selain itu, kerjasama antara kakak-beradik Fidel dan Raúl nampak pada strategi perang menghadapi pasukan eksil Kuba sokongan Amerika dalam Invasi Teluk Babi (1961). Masih menurut Abrahams dan Lopez-Levy, keberhasilan Kuba dalam menghadapi serangan tersebut tak bisa dipisahkan dari kehebatan angkatan militer yang dipimpin Fidel dan dikelola oleh Raúl. Raúl juga diketahui ikut berperan dalam menjalin kerjasama internasional terkait strategi pertahanan dalam negeri. Menjelang Krisis Misil Kuba (1962) misalnya, Raúl dan Ernesto “Che” Guevara ditugaskan Fidel untuk mengurus kesepakatan dengan Moskow terkait instalasi misil di Kuba.
Di balik itu semua, selama ini Raúl memang dikenal sebagai figur pendamping Fidel. Seperti yang diungkapkan sejarawan Hal Klepak: ”Bukan hal mudah untuk melakukan riset pada seorang pria yang tak diragukan lagi berada di bawah bayang-bayang abangnya yang sangat terkenal…”
Dalam pandangan Klepak, Raúl bukan karakter yang suka lampu sorot.
Satu Dekade Kuba di Bawah Raúl
Bertahun-tahun lamanya, Raúl setia mendampingi Fidel dan tampak mendukung segala kebijakan yang diambilnya. Akan tetapi, setelah Fidel menyerahkan mandat kekuasaan kepada Raúl, semakin nampak betapa keduanya mempunyai karakter dan pendekatan yang berbeda dalam menakhodai Kuba. Tak lama setelah diangkat sebagai presiden pada 2008, Raúl mulai mereformasi ekonomi kecil-kecilan: mengizinkan warga Kuba beli telepon genggam dan para petani mengolah tanahnya sendiri.
Meskipun kerap dipandang sebagai komunis garis keras, Raúl cenderung lebih pragmatis daripada Fidel yang sangat ideologis, tulis jurnalis Time Tim Padgettdalam ulasan berjudul “Castro Family Values: Fidel vs. Raul” (2008). Padgett mengambil contoh dorongan dari Raúl untuk mengerahkan kebijakan-kebijakan beriorentasi pasar terbatas melalui investasi asing dalam sektor turisme, yang sedikit membantu Kuba bangkit dari keterpurukan ekonomi pada dekade 1990-an setelah kejatuhan Soviet.
Di balik maksud untuk mendorong reformasi ekonomi dan normalisasi hubungan dengan Washington, Raúl sadar bahwa dirinya bukanlah Fidel, seorang pemimpin yang mempertahankan kekuasaannya sekian lama dengan kharisma. Gebrakan ekonominya bahkan sempat disinggung oleh Fidel melalui tulisan berjudul “Jangan bikin konsesi dengan ideologi musuh”. Raúl masih menekankan betapa abangnya “tidak bisa tergantikan” dan ia akan senantiasa mengajaknya berkonsultasi, sampai Fidel meninggal pada 2016 silam.
Laporan Brookings Institution bertajuk “Cuba’s Economy After Raúl Castro: A Tale of Three Worlds“ (2018, PDF) menyatakan pencapaian ekonomi Kuba di bawah Raúl mengecewakan. Satu dekade pemerintahannya, pertumbuhan PDB Kuba hanya 2,4 % per tahun, separuh di bawah presentase ideal 5 % untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Hasil pertanian berada di level yang setara atau di bawah produksi pada 2005, bahkan produk manufaktur atau industri masih lebih rendah daripada era pra-1989. Alasan utama di balik stagnansi ekonomi ini, menurut Feinberg, adalah karena Kuba terus bertahan sebagai negara yang seluruh kekuasaannya sangat sentralistis di pucuk pemerintahan.
Di balik pencapaian ekonomi Kuba yang masih rendah, tulis laporan Brookings, mulai muncul ragam ekonomi yang semakin kompleks. Ekonomi swasta memberikan peluang kerja dan pemasukan lebih besar bagi rakyat. Semakin banyak orang yang berpartisipasi dalam bisnis skala kecil. Pariwisata juga memberikan akses kerjasama lebih banyak dengan partner bisnis dari penjuru dunia.
Raúl memang tampak serius mendorong perkembangan sektor swasta. Di bidang pertanian misalnya, petani diberi kelonggaran untuk menjual hasil tani sesuai harga pasar, meskipun tak lama kemudian negara kembali menerapkan sistem terpusat karena kekhawatiran akan inflasi. Selain itu, warga Kuba mulai diberi akses untuk berwirausaha kecil-kecilan dengan menjadi supir taksi, membuka bisnis salon, warung, restoran, sampai penginapan. Mereka diizinkan pula memiliki properti dan mobil meskipun dalam jumlah terbatas. Perusahaan juga diberi kelonggaran agar lebih mandiri dan kompetitif, meskipun negara tetap memegang kontrol ketat dan memonopoli perdagangan luar negeri. Investor asing pun dipermudah untuk masuk ke Kuba dan bekerjasama dengan pemerintah.
Di samping itu, pragmatisme Raúl dipandang turut berkontribusi pada keberhasilannya menormalisasi hubungan diplomatik dengan musuh bebuyutan Amerika Serikat, tepatnya pada era Barack Obama (2014). Meskipun demikian, masih sulit dipastikan membaiknya diplomasi Kuba-AS ini akan berdampak pada perubahan politik yang berarti di Kuba. Terlebih, pada era Donald Trump (2017-21), hubungan Washington-Havana kembali suram, setelah dikeluarkannya kebijakan-kebijakan seperti pembatasan turis AS dan pengiriman devisa ke Kuba, yang rupanya didukung oleh warga Amerika keturunan Kuba di negara bagian Florida.
Kepemimpinan pragmatis agaknya tercermin pula pada Miguel Díaz-Canel, teknokrat muda satu generasi di bawah duo bersaudara Castro. Setelah diangkat sebagai presiden tahun 2018 silam, Díaz-Canel mulai mengizinkan warga mengakses internet lewat telepon genggang dan komputer rumahan. Belakangan, ia memperluas jenis bidang usaha yang boleh dikembangkan swasta sehingga bisa mendorong rakyat Kuba agar lebih aktif berbisnis.
“Bisnis swasta terus berkembang dan itulah tujuan dari reformasi [ekonomi] ini," ujar Menteri Perburuhan Kuba Marta Elena Feito sebagaimana diberitakan BBC Februari silam ketika mengumumkan keputusan pemerintah untuk membuka lebih dari 2.000 sektor ekonomi untuk swasta dari yang sebelumnya 127 sektor. Langkah ini, lanjutnya akan "mendorong perkembangan kekuatan produktif (productive forces)”.
Keterangan Feito mengingatkan kita pada kebijakan reformasi ekonomi Cina di bawah Deng Xiaoping pada akhir 1970-an yang dilakukan dengan membuka pintu untuk investasi asing tanpa mengubah struktur politik yang sentralistik. Kebijakan ini kelak terbukti menyelamatkan ekonomi dan stabilitas politik Cina ketika Uni Soviet dan rezim-rezim Stalinis di Eropa Timur runtuh pada 1989. Sama halnya dengan Kuba—dan juga Rusia—Cina melompat dari struktur ekonomi feodal dan semi-koloni menuju sosialisme tanpa pernah benar-benar melalui fase kapitalisme—ketiganya bahkan dibebani kondisi ekonomi pasca-perang yang serba kekurangan. Walhasil, pada titik tertentu, negara pasca-revolusi terpaksa mengemban tugas untuk mengembangkan kekuatan produktif dengan cara menerapkan reformasi ekonomi, mengundang kapitalis asing, dan pada saat bersamaan mempertahankan kontrol politik yang kuat untuk membendung sabotase dan ancaman-ancaman geopolitik lainnya.
Pengalaman 60 tahun lebih di bawah kepemimpinan Castro bersaudara membuktikan Kuba bisa bertahan dalam kondisi yang paling sulit, bahkan di bawah ancaman tetangganya yang hanya berjarak seperlemparan batu. Namun, tanpa Castro bersaudara, Kuba kini berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar: sekuat apakah proyek sosialis berakar di masyarakat Kuba sehingga mampu melindungi warga dari ekses-ekses reformasi ekonomi setelah pasar dibuka?
Editor: Windu Jusuf