tirto.id - Senin, 17 April 1961, menjadi salah satu hari paling sial bagi Amerika Serikat. Negeri Paman Sam mencoba menggulingkan pemimpin revolusioner Kuba, Fidel Castro, namun berakhir dengan kegagalan.
Cerita bermula ketika sekitar 1.400 orang didikan Central Intellegent Agency (CIA) yang bernama Brigade 2506 menyusup ke Teluk Babi, Kuba, untuk melakukan provokasi kepada rakyat agar melakukan penggulingan terhadap Fidel Castro.
Infiltrasi tersebut berantakan karena muncul beberapa kejadian tak terduga: terjadi korsleting pada lampu penanda hingga berpotensi dilihat musuh, mundurnya waktu pendaratan akibat kapal bergerak lambat karena melewati perairan yang dipenuhi terumbu karang bahkan satu kapal karam, serta kehadiran truk berisi tentara Kuba di pantai Teluk Babi. Para penyusup akhirnya terlihat dan baku tembak antara pasukan Brigade 2506 dengan militer Kuba tak dapat dihindarkan.
Fidel Castro bertindak cepat. Sekitar 20.000 tentara diperintahkannya untuk bergerak ke pantai. Ia juga memerintahkan militer untuk menjaga keamanan udara guna mengantisipasi serangan udara musuh yang belum diketahui siapa dalangnya.
Baku tembak di Teluk Babi terus berlangsung pada hari-hari berikutnya hingga Brigade 2506 terdesak. Kondisi ini semakin parah setelah kapal bantuan ditembaki pasukan Kuba hingga kandas. Pertempuran baru berakhir pada 20 April 1961, tepat hari ini 60 tahun lalu, usai 1.200 anggota brigade menyerahkan diri. Dalam peristiwa ini tercatat lebih dari 100 anggota brigade tewas. Penyerahan diri tersebut menandakan bahwa rencana penggulingan gagal total dan menambah borok AS di kancah politik internasional yang sangat mencoreng wajah negara itu di mata dunia.
Rencana yang Berantakan
Dua tahun sebelum Invasi Teluk Babi, Presiden AS, Dwight D. Eisenhower, dibuat kesal oleh Fidel Castro yang baru saja berkuasa usai menggulingkan Batista—pemimpin Kuba yang didukung kuat oleh AS. Castro kerap membuat tindakan yang merugikan AS, seperti melakukan nasionalisasi perusahaan Paman Sam di Kuba dan berulang kali melontarkan ucapan yang menyerang negara tersebut. Ditambah lagi, Castro juga berupaya menjalin hubungan dengan musuh AS secara ideologi, Uni Soviet. Tindakan Castro semakin membuat AS meradang dan tidak tinggal diam. Maka muncul niat buruk AS untuk menggulingkan Castro sebagai orang nomor satu di Kuba.
CIA mengajukan rancangan penyingkiran Castro kepada presiden dan penasihat keamanan nasional. Dalam draf rancangan tersebut, CIA akan berupaya menyebarkan propaganda anti-Castro melalui radio nasional Kuba, mendukung kelompok perlawanan, dan melatih kelompok paramiliter. Setelah berdiskusi panjang dengan penasihat keamanan nasional, pada 17 Maret 1960, Presiden Eisenhower akhirnya menyetujui rancangan tersebut.
Apalagi CIA memang memiliki rekam jejak yang sukses dalam penggulingan pemerintahan di negara lain, seperti menggulingkan pemerintahan di Iran dan Guatemala. Maka itu, Eisenhower sangat percaya diri dan yakin CIA akan meraih kesuksesan yang sama dalam permasalahan Kuba. Akan tetapi, persetujuan itu diajukan dengan syarat utama: jangan sampai dunia internasional mengetahui bahwa AS terlibat dalam upaya dalam penggulingan tersebut.
CIA kemudian menggelar pelatihan militer terhadap ribuan penduduk pelarian dari Kuba. Hal ini dilakukan sebagai upaya penghilangan jejak agar seakan tidak ada keterlibatan AS dalam operasi bersandi “Zapata” ini. Mereka diajarkan tembak-menembak, menyelam, dan melakukan pergerakan secara senyap. Pelatihan tersebut terus berlangsung hingga Eisenhower tak lagi menjabat sebagai presiden dan digantikan oleh Presiden AS baru, John F. Kennedy.
Di masa pemerintahan Kennedy, perencanaan disusun secara matang. Pertama-tama, CIA bersama presiden dan penasihatnya memutuskan untuk memilih bulan April dan Teluk Babi sebagai lokasi infiltasi ribuan pasukan didikannya. Sebelum hari pelaksanaan, CIA juga akan berupaya mengalihkan perhatian Kuba dalam beberapa serangan udara dan siaran propaganda anti-Castro. Lalu, pada hari pelaksanaan, pasukan akan memasuki Kuba melalui lautan dan mendarat di dua pantai Teluk Babi. Sesampainya di sana, mereka akan melakukan provokasi terhadap penduduk setempat agar terjadi pemberontakan hingga menggulingkan Fidel Castro. CIA juga menerapkan opsi lain seandainya pasukan terdesak, yaitu dengan mengerahkan serangan udara atas izin presiden.
Namun, rencana tersebut berantakan ketika hari pelaksanaan tiba. Dalam buku The Bay of Pig: Cuba 1961 (2009: 17-27) yang ditulis Alejandro de Quesada, peneliti sejarah militer, terungkap tiga kejadian yang membuat operasi berantakan. Pertama, terjadi ketika CIA mengirimkan pesawat pembawa bom asal yang dicat menyerupai pesawat militer Kuba untuk membumihanguskan markas angkatan udara Kuba. Tujuan kamuflase itu untuk meyakinkan bahwa terjadi pergolakan dari rakyat Kuba kepada pemimpin mereka. Namun, serangan pengalihan yang dilakukan pada 15 April 1961 ini gagal karena Castro sudah memindahkan puluhan pesawatnya setelah mengetahui informasi ini dari intelijen. Castro justru semakin waspada dan memperkuat pertahanan negaranya.
Kedua, kecerobohan CIA yang tidak menganalisis kondisi perairan Teluk Babi yang penuh dengan terumbu karang sehingga menghambut laju kapal dan waktu pendaratan. Sementara puncak dari kegagalan ini terjadi ketika Kennedy tidak mengirimkan bala bantuan, khususnya pesawat tempur, ketika Brigade 2506 terdesak sebagaimana tertuang dalam perencanaan. Kennedy tidak ingin dunia mengetahui keterlibatan AS dalam operasi tersebut. Ia juga tidak ingin AS terlibat dalam konflik yang lebih besar. Kennedy berpikir bahwa menyerang Kuba sudah pasti Soviet marah dan semakin memperuncing hubungan kedua negara. Padahal, jika Kennedy menyetujui bala bantuan, bisa jadi rencana berjalan lancar.
"Kemenangan memiliki seratus ayah, tapi kekalahan adalah yatim piatu"
Setelah kegagalan memalukan itu, suhu politik di AS memanas. Banyak yang marah terhadap ketidakbecusan Kennedy melalukan operasi penggulingan. Kennedy dan CIA menjadi bulan-bulanan, tidak hanya di AS, tapi juga di seluruh dunia. Atas peristiwa ini, petinggi CIA seperti Direktur Allen Dulles, Wakil Direktur Charles Cabel, dan Wakil Direktur Operasi Richard Bissell dipaksa mengundurkan diri. Sedangkan Kennedy tetap memegang jabatan presiden dengan kondisi yang malu berat. Rebbeca Rowel dalam John F. Kennedy’s Presidency (2016: 43) menyebut, presiden menganggap kegagalan ini sebagai neraka bagi dirinya selama periode kepemimpinannya.
“Saya telah mengalami dua hari penuh neraka dan selama itu saya belum tidur. Ini telah menjadi periode paling menyiksa dalam hidup saya. Saya ragu kepemimpinan saat ini dapat melewati masa sulit seperti ini,” ucap Kennedy kepada Clark Cliffold, staf ahlinya, sebagaimana dikutip Rowel.
Sumber lain bahkan menyebut Kennedy menangis di pelukan istrinya akibat kegagalan itu. Sebagai Presiden AS, Kennedy tentu menjadi orang paling bertanggung jawab dan berhak disalahkan atas jalannya operasi yang kelak dikenal sebagai Invasi Teluk Babi. Menurut sejarawan Mark Rice, Kennedy saat itu berada di posisi sulit. Sebagai presiden yang baru dilantik, Kennedy paham bahwa rencana menggulingkan Castro adalah pekerjaan yang sangat sulit dilakukan. Apalagi, tindakan tersebut harus dilakukan serapi mungkin untuk meminimalkan potensi terbongkarnya keterlibatan AS dalam infiltrasi tersebut.
Di sisi lain, imbuh Rice, keadaan ini terkalahkan ketika muncul dua alasan besar dari Kennedy. Ia ingin menunjukkan kepada dunia akan kedigdayaan AS dan juga ingin menunjukkan bahwa tindakan tegas terhadap Kuba, sebagaimana yang ia selalu utarakan ketika kampanye, benar-benar dilaksanakan alias tidak sekadar retorika.
Perspektif lain datang dari Lucien S. Vandenbroucke yang menulis tentang pandangan Richard Bissel terhadap kegagalan operasi berdasarkan draf kesaksiannya. Dalam pandangan mantan petinggi CIA itu Kennedy patut disalahkan dan CIA harus bebas dari tuduhan yang mengatakan bahwa badan tersebut menyesatkan presiden. Pasalnya, rencana awal yang sudah dianalisis CIA, khususnya terkait lokasi pendaratan pasukan, terpaksa diubah atas kehendak Kennedy.
Padahal, menurut analisis Bissel dan rekan-rekannya, lokasi awal yang ditetapkan adalah pilihan terbaik yang dapat memantik pergolakan rakyat Kuba hingga berujung pada penggulingan Castro. Senada dengan Lucien, pimpinan CIA, Allan Dulles dan Richard Bissell, seperti ditulis Thomas J. Craughwell dalam Failures of The President (2008), sebetulnya khawatir infiltrasi itu akan gagal. Namun, agar terlihat meyakinkan, mereka tidak mengatakannya kepada presiden.
Dalam laporan Washington Post tanggal 29 April 2000 bertajuk “Soviet Knew Date of Cuba Attack” terungkap bahwa informasi intelijen tentang waktu penyerangan sudah bocor ke telinga Uni Soviet beberapa hari sebelum infiltrasi dimulai. Hal ini diungkap oleh Jacob D. Esteline, penanggungjawab operasi CIA.
"Ada indikasi bahwa Soviet mengetahui waktu operasi, sekitar tanggal 9-17 April. Tapi tidak ada indikasi yang menunjukkan mereka mengetahui lokasi operasi dilakukan,” tutur Esteline dikutip Washington Post
Meski demikian, tidak jelas siapa yang membocorkan. Dan yang pasti, kebocoran informasi ini tidak pernah diungkapkan kepada presiden. Kebocoran ini mungkin menjadi penyebab Castro meningkatkan kewaspadaannya pada bulan April. Tidak menutup kemungkinan bahwa Soviet meneruskan informasi ini kepada Kuba mengingat hubungan keduanya erat.
Terlepas siapa yang salah, pada 21 April 1961, Presiden Kennedy mengakui bahwa dirinya adalah orang yang paling bertanggungjawab atas kegagalan itu.
“Kemenangan memiliki seratus ayah, tapi kekalahan adalah yatim piatu […] Saya adalah pejabat yang bertanggung jawab dari pemerintah,” tutur Kennedy.
Namun tetap saja dampak dari kegagalan ini sangat besar. Kuba semakin dekat dengan Uni Soviet dan nama Fidel Castro kian populer. Sedangkan Kennedy dan AS menjadi bahan olok-olok di seluruh dunia.
Editor: Irfan Teguh