Menuju konten utama

Big Brother: Majalah Skate Nyeleneh yang Sarat Masalah

Big Brother hadir di tengah skena skateboarding yang tengah menurun. Menjadi berbeda dengan menanggalkan standar kepatutan.

Big Brother: Majalah Skate Nyeleneh yang Sarat Masalah
Ilustrasi pemain skateboard. FOTO/iStock

tirto.id - "We couldn't fuckin' run ads in Transworld and Rocco flips out all the time. So we fuckin' decide "Fuck This!" this is fucked. We'll do our own fuckin' mag."

Begitulah tim editorial membuka edisi pertama Big Brother, majalah skateboard Amerika yang eksis pada rentang 1992-2004. Rocco yang dimaksud dalam kalimat itu tak lain adalah Steve Rocco si "konglomerat skateboard" yang juga dikenal sebagai pendiri perusahaan World Industries bersama Rodney Mullen dan Mike Vallely.

Ada lebih banyak lagi kata fuck dalam kelanjutan mukadimah sepanjang empat paragraf tersebut. Selain dimaksudkan sebagai perkenalan majalah, ia memang sengaja untuk memuat kata fuck sebanyak mungkin.

Salah satu pelanggannya, Tony Hawk, mengenang bahwa saat itu telah ada dua majalah skateboard besar: Transworld yang lebih SoCal-centric (berpusat pada skena South California) dan Thrasher yang condong ke musik keras, minum-minum, dan terasa lebih NorCal. Maka Big Brother adalah apa pun yang bukan keduanya. Pembaca setianya yang lain, Jonah Hill, mengenangnya sebagai majalah edgy dan "membuatmu merasa keren ketika membacanya."

Jika melihat rekam jejak Steve Rocco, sama sekali tak mengherankan dia menghasilkan produk semacam Big Brother. Ketika video skate 1980-an terkesan sugar-coating agar tak dijauhi para orang tua, ia malah memproduksi video di mana skateboarding bisa dianggap sembrono dan kriminal. Begitu juga iklan-iklan perusahaan skateboard-nya yang kerap memajang foto vulgar dilengkapi copy seperti “World Industries: Kill yourself.

Ketika hal-hal itu diterjemahkan ke dalam media cetak, jadilah majalah tanpa peraturan atau kebijakan tertulis bagi awak redaksinya. Kontennya pun nyaris sepenuhnya mengabaikan standar kepatutan.

Sarat Konten Nyeleneh

Pada awal 1990-an, pamor skateboarding menurun drastis. Banyak skatepark di Amerika dibuldozer dan bocah-bocah memilih meluncur dengan roller blade atau semacamnya. Majalah skate hanya berkisar soal iklan, trik, wawancara, trik lagi, dan iklan lagi. Seturut dokumenter berjudul Dumb: The Story of Big Brother Magazine (2017) karya sutradara Patrick O'Dell, dari situasi itulah kebutuhan akan sesuatu yang baru tercipta.

Di masa-masa sulit bagi industri skate, toh perusahaan Steve Rocco tetap untung besar. World Industries menjelma produsen skateboard nomor wahid, meski tak ada yang mau memuat iklannya. Dengan para staf seperti Jeff Tremaine dan Spike Jonze, jadilah Rocco membuat majalahnya sendiri.

Sampul salah satu edisinya bergambar perempuan berbikini bersama seekor macan tutul. Di lain waktu, mereka menampilkan citra iblis melakukan trik kickflip di atas Alkitab yang terbakar. Foto-foto di dalamnya pun berkisar pada orang kencing, muntah, dan berpesta.

Big Brother memotret lebih jauh subkultur skate pada masanya. Kadang materinya nyeleneh sama sekali dan bahkan tak berurusan dengan mainan kayu beroda. Ia adalah majalah yang memuat foto bugil kiriman pembacanya, membahas BDSM, atau menghadirkan tip seputar seks dengan ilustrasi peragaan bersama sex doll.

Ihwal berbagi tip sepertinya jadi rubrik khusus Big Brother. Chris Pontius, misalnya, menulis semacam "18 cara untuk menjadi seorang asshole". Lebih jauh, kau pun bisa menemukan tip cara membeli kokain di jalanan hingga trik memalsukan KTP, dari yang terkesan sekadar nakal sampai yang ekstrem.

Dengan konten segila itu, tak pelak mereka yang berniat memasang iklan pun turut menjadi liar. Salah satu iklan, misalnya, memajang foto bearing di dalam mulut vagina palsu yang tampak jelas.

Kendati sarat kata-kata vulgar, edisi pertama Big Brother masih tergolong “normal”. Ia memuat para skater andal dari berbagai disiplin seperti Danny Way, Mike Carroll, dan Daewon Song. Formatnya masih seperti zine kebanyakan yang dirilis gratis—dilengkapi stiker berisi disclaimer bahwa mereka sesungguhnya tak tahu majalah macam apa yang tengah mereka terbitkan.

Adapun Rocco punya gagasan edan dalam menghadirkan majalahnya. Dia ingin setiap edisinya rilis dengan gimik berbeda; tak pernah hadir dalam logo dan format yang sama. Sejak edisi pertama yang tampak normal, Big Brother lantas hadir dalam format super large, lalu spiral bound seperti buku anak kuliahan, atau format buku komik plus bonus seperti trading card dan kaset. Salah satu edisinya bahkan dirilis dalam wujud kotak sereal.

Pelopor Sekaligus Pembawa Masalah

Untuk urusan skateboarding sendiri, Big Brother menyiasati absennya video dalam format majalah cetak dengan menampilkan foto frame per frame proses sebuah trik. Metode cerdik yang kelak diikuti para saingannya seperti Thrasher dan Transworld.

Big Brother selalu serius untuk menjadi tak serius, termasuk soal wawancara dan liputan. Salah seorang staf perempuan, Kendra Gaeta, dijadwalkan blind date dengan skater profesional, untuk kemudian secara diam-diam dijadikan artikel. Sementara ituketika ditugaskan meliput sebuah kontes skate terbesar di San Francisco, salah seorang penulis mereka, Earl Parker, malah juga bercerita perkara jatuh hati pada perempuan punk rock yang ditemuinya di sana.

Pada waktu berbeda, Big Brother mengajak band thrash metal Slayer ke Disneyland dan membuat kekacauan di tempat hiburan keluarga itu. Namun untuk urusan road trip semacam itu, majalah ini bisa dibilang jagonya. Dalam sebuah edisi lain, para awak Big Brother mengunjungi acara Mardi Gras 1995. Hasilnya memang sekadar laporan penuh foto semi-bugil dan gambar mesum serupa. Namun dari segi penyampaian, ia memelopori laporan perjalanan berformat serupa di majalah-majalah lain.

Mereka menulis apa saja yang terlintas dalam pikiran. Bagi Michael Burnett, editor Thrasher, di sinilah kekuatan Big Brother. Para awaknya berbicara mengenai diri mereka sendiri, menjadikan persona mereka sebagai karakter, konten, sekaligus dagangan.

Akan tetapi, segala etos DIY dan FTW yang kelewatan itu akhirnya menemui ganjalan. Konten dan humor Big Brother bisa dengan gampang dilabeli seksis, misoginis, hingga homofobik. Di saat seperti itu, memiliki majalah ini berarti menemui masalah.

Para orang tua akhirnya mendapati bahwa bacaan anak-anak mereka tidaklah murni majalah skate, melainkan majalah semi-bokep yang sarat materi eksplisit seperti ketelanjangan dan referensi untuk bestiality hingga bunuh diri.

Big Brother lantas muncul di televisi, tentu sebagai kabar buruk. Sementara itu, seorang radio host Amerika bernama Laura Schlessinger bahkan pernah menuntut sebuah toko surf yang menjual majalah kurang ajar ini kepada anaknya.

Dalam Kids Issue (edisi anak-anak), para orang tua juga mendapati majalah ini tak hanya menampilkan skater belia macam Ryan Sheckler, tapi juga rubrik berjudul How to make A Kid—yang berisi, tentu saja, soal hubungan seks.

Dalam sebuah rapat dewan di El Segundo, California, Big Brother sudah hendak dilarang peredarannya. Tak jelas bagaimana proses berikutnya, yang pasti pada akhirnya cetakan Big Brother di toko-toko buku dipindahkan ke area dewasa.

Merambah Video dan Jackass

Segala kegilaan Big Brother itu justru menjadi pemikat bagi orang-orang sepemikiran. Selain Tremaine, Jonze, dan Pontius, terdapat pula para awak seperti Dimitry Elyashkevich dan Rick Kosick yang kelak dikenal sebagai penggawa Jackass. Begitu pula dengan para personel orisinal seri komedi realitas populer itu, semisal Jason Acuña alias "Wee Man", Johnny Knoxville, Steve-O.

Knoxville memulai kariernya sebagai stunt performer untuk majalah ini. Lantaran butuh uang cepat, figur yang kelak dikenal sebagai kapten Jackass merelakan dirinya ditembaki pepper spray, taser dart, stun gun hingga pistol betulan demi konten Big Brother.

Sementara itu, Steve-O adalah sosok skater "gila tampil" yang mati-matian ingin diliput majalah. Sialnya, dia tak bisa dibilang cukup profesional untuk urusan skate. Jadilah Steve-O membakar kepalanya sendiri dan melakukan backflip dalam kondisi kepala menyala—aksi yang mendaratkannya sebagai karakter tetap dalam majalah ini.

Berbagai stunt dan kegilaan mereka divideokan oleh Big Brother, yang karena laris, lantas dirilis hingga beberapa judul: Shit,Number Two, boob, dan Crap.

Tremaine menyadari bahwa ini sudah bukan soal skateboarding lagi. Orang-orang berminat menyaksikan Knoxville menabrakkan diri ke mobil yang melaju dan semacamnya, menyakiti diri sendiri demi hiburan. Maka jadilah itu serial televisi autentik yang jauh dari kata kedewasaan, Jackass.

Infografik Big Brother

Infografik Big Brother. tirto.id/Fuad

Big Brother sendiri sesungguhnya tak pernah betul-betul menghasilkan. Ruang iklan yang terjual tak pernah cukup untuk membiayai cetakan. Pada setiap edisinya, mereka bahkan dilaporkan rugi hingga $50.000.

Namun di balik konten-konten kurang sehat dan berbagai gimiknya, ada juga yang menyadari bahwa terdapat energi besar dan kreativitas di sana--orang-orang yang menolak bosan.

Majalah ini akhirnya dibeli Larry Flint, pengusaha yang membawahi Larry Flynt Publications dengan produk-produk pornografi seperti majalah Hustler.

Para awak Big Brother mendapati diri mereka harus berpakaian layaknya pegawai korporat dan majalah ini tak lagi sama. Alih-alih berubah haluan menjadi majalah bokep betulan seperti yang diperkirakan banyak orang, ia justru melunak. Tak ada lagi foto-foto bugil, kendati kontennya masih terbilang cukup vulgar.

Pada akhir 2000-an, skateboarding kembali mencuat berkat acara televisi X Games dan popularitas seri gim video Tony Hawk's Pro Skater. Namun, uang besar yang berputar sama sekali tak menghampiri Big Brother. Masuknya korporasi-korporasi besar ke industri skate ditanggapi serius oleh seluruh merek inti skateboarding—yang tak mau lagi para skater mereka digambarkan aneh-aneh dalam publikasi media.

Big Brother mencoba bertahan sebagai diri sendiri, tapi dunia terlanjur berubah. Para skater tak lagi bersedia ditanyai soal kelamin, orang tua, dan perkara tak jelas lainnya. Majalah bergajulan ini tamat pada 2004 bersama kontennya yang ofensif, berbahaya, pula provokatif dan membuat banyak orang tak nyaman. Sulit untuk melihat media serius yang beredar dalam sirkulasi luas bakal melakukan hal serupa Big Brother.

Baca juga artikel terkait MAJALAH atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi