tirto.id - Penunjuk waktu di ponsel menunjukkan pukul setengah 7 pagi ketika saya terbangun. Hari Minggu begini semestinya layak diisi dengan bangun sesiang mungkin, tapi kali ini saya bergegas mencari stasiun televisi. Saya mencari siaran kontes skateboarding, yang untuk pertama kalinya dipertandingkan di Olimpiade.
Saya terlambat beberapa menit. Micky Papa menjadi skater keempat yang memulai run pada babak penyisihan di hari kedua Olimpiade Tokyo, 25 Juli 2021. Dia mengenakan ikat kepala; kausnya berbendera Kanada. Kaus berbendera negara yang dikenakan para skater biasanya adalah jersei sepak bola atau basket tim nasional. Hari itu, mereka mengenakan seragam sendiri, seragam tim nasional skateboarding masing-masing.
Tribun penonton di Ariake Urban Sports Tokyo nyaris kosong. Arena kontesnya begitu luas, dipenuhi ledge untuk mendaratkan trik, handrail (pegangan tangga) besar di tengah, dan lebih banyak handrail di sebelah sisi. Lantainya dihiasi logo-logo Olimpiade dan tulisan Tokyo 2020. Pemandangan yang sureal.
Para juri memberikan Micky Papa 6,66 poin pada run pertama. Format poin street skateboarding di Olimpiade adalah akumulasi empat poin tertinggi dari dua run (meluncur selama 45 detik di sekeliling arena dan mendaratkan trik sebaik-baik dan sebanyak-banyaknya) dan lima kesempatan best tricks (sesi di mana skater mengeluarkan satu per satu trik terbaiknya untuk mengesankan para juri).
Tiba-tiba terlintas di pikiran saya: Berapa poin yang bakal diberikan juri kepada 'skater ajaib' Chris Haslam dan Daewon Song jika mereka ikut serta? Tetapi para skater kontes lazimnya bakal mengeluarkan trik-trik yang bisa 'dikuantifikasi' para juri, bukan trik ajaib ala Haslam atau Daewon yang sepatutnya di luar batasan angka. Maka sesungguhnya semua ini hanya memindahkan kontes seperti SLS atau X Games ke panggung yang lebih besar saja, baik secara harfiah dari segi ukuran arena maupun jumlah penonton televisi dari berbagai negara.
Micky Papa—bersama 11 skater lain—tersingkir di penyisihan. Namun salah seorang teman Micky asal Jepang bernama Yuto Horigome, yang pernah tinggal di rumahnya bahkan belajar bahasa Inggris dari dia, berhasil melaju ke final.
Selain Yuto, terdapat pula nama-nama langganan kontes yang menembus final seperti Nyjah Imani Huston dari Amerika Serikat dan Kelvin Hoefler asal Brasil. Ketiganya bersaing dengan lima skater lain demi emas pertama untuk kegiatan yang pernah—dan masih—dimusuhi sebagian orang ini.
Menang di Kandang
Skater asal Peru itu duduk di salah satu ledge sembari menunduk. Beberapa detik yang lalu selangkangan Angelo Caro baru saja menghantam salah satu rail usai gagal mendarat di atas papan. Ia atlet profesional dan juga seorang olympian, tetapi kejadian macam itu tetap saja tak terhindarkan. Caro lantas bangkit dan berhasil melanjutkan kompetisi, bahkan melaju hingga final.
Yuto Horigome juga beberapa kali terjatuh atau gagal mendaratkan trik. Namun seperti halnya Caro, ia bangun dan meluncur lebih baik dari sebelumnya.
Yuto, skater tuan rumah yang baru berusia 22 tahun, pertama kali mencatatkan nama sendiri di kancah skateboarding internasional setelah berhasil dalam kontes prestisius, SLS Tour, pada 2017. Setelah itu Yuto tumbuh menjadi rival utama Nyjah sebagai skater nomor satu dunia. Keduanya nyaris selalu berada di podium kontes-kontes terbesar, termasuk Kejuaraan Dunia Street Skateboarding Juni lalu di Roma, Italia. Saat itu Yuto pulang dengan kepala tegak usai mengungguli Nyjah dan rekan senegara, Sora Shirai, yang finis posisi ketiga.
Pelatih tim nasional skateboarding Jepang, Takashi Nishikawa, sempat menyebut satu alasan yang membuat mereka amat baik. "Para skater Jepang sangat antusias dengan riset. Kami meneliti teknik seperti apa yang mesti kami lakukan untuk mendapatkan berapa banyak poin. Itu tercermin dalam hasil." Dia tidak sedang membual. Kembali ke Ariake Urban Sports Park, performa tinggi Yuto nyaris tak terlihat di babak penyisihan. Namun, poin-poin best tricks yang krusial tetap mengantarkan sang juara dunia ke babak final dengan menempati posisi keenam.
Usai gagal mendapatkan poin tinggi pada dua run di babak final, Yuto membalikkan keadaan pada sesi best tricks. Trik-trik yang terbilang langka dilakukan skater lain dalam kontes seperti nollie 270 noseslidedidaratkan tanpa cela dan diganjar 9,50 poin dari para juri. Meski beberapa skater lain belum tampil, Yuto sudah tersenyum puas selepas mendaratkan trik terakhirnya, yang lagi-lagi mendapatkan poin di atas 9.
Hoefler dan skater AS Jagger Eaton turut mendapatkan poin tinggi. Sementara Nyjah yang harus menempati posisi ketujuh usai terjatuh pada percobaan best trick terakhir bangkit dan menghampiri sang rival untuk mengucapkan selamat.
Medali emas itu tidak diraih skater California atau paling tidak AS, negara tempat lahirnya olahraga ini. Yuto, yang menghabiskan masa kecilnya di Tokyo, berjarak sekitar 12 kilometer saja dari Ariake, berhasil menepikan tekanan berat tampil di kandang sendiri dan menjadi skater pertama yang meraih emas Olimpiade.
Hari-Hari yang Cerah
Tidak ada waktu untuk mengindahkan berita pagi atau kabar-kabar buruk pada hari ketiga Olimpiade Tokyo ketika saya terbangun pada kisaran waktu yang sama dengan hari sebelumnya. Setidaknya untuk beberapa jam ke depan, lantaran para skater perempuan terbaik dunia—jika kontes skate menjadi satu-satunya parameter—bakal bersaing demi menyamai pencapaian Yuto Horigome.
Team Nippon pulang dari kejuaraan dunia, Juni lalu, dengan kepercayaan diri tinggi. Selain Yuto dan Sora yang menempati peringkat pertama dan ketiga, emas dan perak pada kategori street skate perempuan juga sukses direbut skater Jepang, Aori Nishimura dan Momiji Nishiya.
Tetapi hari ketiga Olimpiade bukan milik Aori sang juara dunia. Ia baru saja mengalami cedera malam sebelumnya. Dan meski susah payah tampil baik hingga final, dia mesti merelakan kans meraih emas dilanjutkan dua junior, Funa Nakayama yang berusia 16 tahun dan Momiji, 13 tahun, baru lulus SD beberapa bulan lalu.
Brazil yang menjadi favorit di nomor ini secara mengejutkan hanya menyisakan Rayssa Leal di final. Skater yang juga baru berusia 13 tahun ini menjadi tumpuan usai nama-nama besar seperti Pamela Rosa dan Leticia Bufoni gagal lolos ke final.
Kala para skater andalan Brasil tersingkir, para skater Asia menunjukkan tajinya. Selain trio skater tuan rumah yang lolos final, ada pula Zeng Wenhui dari Cina dan Margielyn Didal dari Filipina yang juga peraih emas Asian Games dan SEA Games. Dua posisi tersisa diisi skater AS Alexis Sablone dan peraih perunggu di kejuaraan dunia yang mewakili Belanda, Roos Zwetsloot.
Tidak seperti nomor men's street, persaingan di kategori ini berlangsung lebih dramatis. Setidaknya lima skater masih berpeluang meraih posisi puncak hingga sesi best tricks terakhir. Sablone bahkan sempat menempati peringkat satu, sementara Zwetsloot bisa merebut emas kapan saja andai trik-triknya berhasil didaratkan.
"Itu teknik besar pertama yang kudaratkan. Aku senang karena memutuskan untuk melakukannnya di Olimpiade," kata Momiji perihal trik bigspin boardslide yang melambungkan namanya ke jajaran calon peraih emas. Trik besar itu tiba pada waktu yang tepat.
Rayssa yang tampil ketiga dari terakhir berpeluang besar menyusul perolehan poin Momiji. Namun ia gagal mendaratkan trik terakhirnya. Pertarungan untuk emas pun tinggal antara Momiji dan Funa.
Momiji melompati gap terbesar di arena dan menggabungkannya dengan lipslide sempurna di pegangan tangga. Untuk pertama kalinya trik itu dilakukan dalam dua hari kontes. Sementara Funa gagal mendaratkan trik terakhir.
Medali emas dikalungkan ke leher bocah 13 tahun yang selalu melemparkan senyuman di sepanjang kompetisi itu, entah sehabis terjatuh atau bahkan usai para pesaingnya mendaratkan trik. Momiji Nishiya resmi menjadi atlet peraih emas termuda Jepang sekaligus peraih emas termuda ketiga sepanjang sejarah Olimpiade.
Sementara bagi Jepang, emas dari dua nomor street menandakan dominasi skateboarding mereka di seluruh dunia, yang berawal dari booming pada 2000-an dengan lahirnya generasi skater andal yang semuanya di bawah 24 tahun. Mereka pun berpeluang menambah medali di nomor park (women's dan men's) pada 4 dan 5 Agustus nanti.
"Masa depan tampak cerah" atau "masa depan skateboarding di tangan yang tepat" jadi kalimat yang banyak dilontarkan orang-orang di berbagai platform media sosial usai mengetahui Momiji dan Rayssa baru berusia 13 tahun saat meraih medali pertama dalam sejarah skateboarding perempuan.
Masa depan itu mungkin memang cerah. Namun, bahkan saat ini pun, di tangan (atau kaki) Rayssa, Funa, dan Momiji, skateboarding sudah tampak cerah.
Di tengah parade olahraga terbesar yang menuai protes dari warga Jepang, di tengah ontran-ontran dan kabar-kabar tak mengenakkan datang susul menyusul akibat pandemi Covid-19, untuk sesaat skater dan para penikmat skate (yang tidak memusuhi kehadiran olahraga ini di Olimpiade) dihibur aksi-aksi dari pertunjukan level teratas dan euforia yang menyertainya.
Dalam konteks skateboarding, itu adalah dua hari yang meriah dan bersejarah. Dua hari yang cerah.
Editor: Rio Apinino