tirto.id - Pada 2002 lalu, ES [Enjoy Skateboarding], sebuah merek peralatan skateboard ternama asal Amerika, meluncurkan video berjudul “Menikmati”.
Judul tersebut video itu memang berasal dari bahasa Indonesia, yang menurut KBBI mempunyai arti harfiah: mengecap; mengalami [sesuatu yang menyenangkan atau memuaskan]. Tak heran jika dalam video tersebut, Eric Koston, Bob Burnquist dan beberapa pemain skateboard andalan ES lainnya terlihat begitu nikmat melahap semua spot dengan trik andalan masing-masing.
Sekitar tiga tahun berselang, dalam video skateboard yang berjudul “Elementality Volume 1” keluaran Element Skateboarding, seorang bocah berusia 10 berhasil mengubah rasa takut dan kemustahilan menjadi sebuah kenikmatan. Diiring lagu "I Against I" karya Bad Brains, bocah bernama Nyjah Huston itu melakukan trik backside 50-50 di sebuah down rail yang cukup tinggi dan menakutkan. Backside 50-50 memang "hanya" salah satu trik dasar di atas rail dalam permainan skateboard. Tapi jika dilakukan dari tempat setinggi itu, seorang pemain skateboard dewasa pun akan berpikir dua sampai tiga kali sebelum benar-benar meluncur.
Dari situ, terlepas dari berapa kali ia mencoba trik itu hingga berhasil, ada satu hal yang tidak bisa ditawar: Nyjah adalah skateboarder fenomenal. Kelak, ia akan menjadi penguasa jagad streetskateboarding.
Demi sebuah kenikmatan bermain skateboard, Chris Joslin, skateboarder profesional Amerika, bahkan rela “babak belur” untuk menjawab tantangan dari majalah Trasher. Di depan Cologne Katedral, Jerman, ia harus bisa melakukan trik backside 360 flip dan mendarat secara sempurna, melewati undak-undakan 12 kaki yang berada persis di depan pintu katedral.
Meski mencoba beberapa kali, Joslin tak kunjung berhasil. Ia beberapa kali jatuh tersungkur. Bahkan, dalam salah satu percobaan, engkelnya kaki kirinya sempat bermasalah. Ia terkapar, menahan rasa ngilu, tetapi tidak mau menyerah. Lain hari, setelah engkelnya mulai membaik, Joslin kembali mencobanya. Ia berhasil dan setelah itu terlihat ekspresi kebahagiaan yang begitu hidup: Joslin membuang topinya, mengangkat kedua tangannya ke udara, melepaskan bajunya, lalu berteriak histeris.
Skateboard Tidak Hanya Untuk Bersenang-Senang
Apa yang dilakukan ES, Nyjah Huston, dan Chris Joslin tersebut agaknya bisa membuat para surfer California tahun 50-an bangga. Dulu, para surfer itulah yang pertama kali bermain skateboard. Mereka memakai prinsip tak ada rotan, akar pun jadi. Saat ombak di laut tidak memungkinkan untuk disusuri, berseluncur di darat pun tak masalah.
Sejak pertama kali dimainkan di California, skateboard berkembang jadi tidak hanya perkara bersenang-senang. Pada 1963, kontes skateboard untuk pertama kalinya diadakan di Pantai Hermosa, California. Selain beradu cepat, para skateboarder juga beradu lihai dalam melakukan freestyle.
Dari situ, skateboarding ternyata bisa bersifat kompetitif. Saat Alan Gelfand menciptakan trik melompat [ollie] pada 1978, yang kemudian diikuti munculnya trik-trik lain yang ditemukan Rodney Mullen -- seperti kickflip, heelflip, hingga varial kickflip –- skateboard menjadi lebih menarik.
Dibantu majalah Trasher dan Transworld Skateboarding, dua majalah skateboard yang muncul pada 1980-an, juga video-video dalam medium VHS, para skater mulai punya nama layaknya atlet profesional lain. ESPN kemudian mencoba masuk ke ceruk ini. Pada 1995, stasiun televisi olahraga ini mengadakan X Games, sebuah kompetisi olahraga ekstrem. Pemenang kompetisi itu akan mendapatkan medali, seperti olimpiade, dan hadiah uang. Skateboard menjadi salah satu cabang olahraga yang dilombakan.
X Games pertama ini sukses. Sekitar 200 ribu penonton datang untuk meramaikan. Namun, X Games ternyata masih belum dianggap sebagai kejuaraan olahraga yang bersifat serius. Salah satu kolumnis US Today, seperti dikutip oleh Time, bahkan mengkritik X Games secara gamblang.
Kolumnis itu menulis, “Jika Anda mengikat teman Anda di dalam Ford Falcon keluaran 72, mengendarainya ke atas tebing selagi juggling dengan tiga bayi dan gergaji mesin dalam perjalanan turun dan Anda bisa berhenti sambil berdiri dengan tangan, orang-orang akan merekamnya, memperlihatkannya, dan menyebutnya sebagai olahraga baru.”
Tapi kritik itu tak memberikan pengaruh apa-apa. X Games justru terus melaju. Sejak 1997 silam, X Games malah tampil dalam dua edisi: Summer Games dan Winter Games. Dua tahun setelahnya, X Games menjadi olahraga profesional pertama yang disiarkan secara langsung di internet. Pada 2003, X Games mulai menjadi kompetisi global. Dan pada 2013 lalu, X Games melebarkan sayapnya ke luar Amerika. Tak tanggung-tanggung, saat itu X Games dilangsungkan di tiga negara: Brasil [Foz do Iguacu], Spanyol [Barcelona], juga Jerman [Munich].
Populernya X Games juga membantu perkembangan skateboard di segala penjuru dunia. Salah satunya melalui Tony Hawk. Turun dalam kategori Men’s Skateboard Vert sebanyak 17 kali, Tony Hawk berhasil meraih 16 medali --10 di antaranya adalah medali emas. Salah satu momen terbaik dari kiprah Tony Hawk di X Games terjadi pada 1999. Saat itu ia behasil mendarat dengan sempurna setelah berputar 90 derajat di udara --menjadi rekor dalam X Game hingga tahun 2011 lalu.
Beberapa saat setelahnya, gim Tony Hawk’s Pro Skater kemudian lahir. Gim multikonsol itu langsung laris manis. Menurut laporan NPD Grup, Tony Hawk’s Pro Skater 2, yang rilis satu tahun setelah gim pertama, bahkan terjual 5,3 juta kopi di dunia hingga tahun 2007 lalu. Lagipula bocah mana yang tidak ingin mengendalikan Spider-man [salah satu karakter rahasia dalam gim Tony Hawk’s Pro Skater 2] bermain skateboard?
Berkat gim itu, Tony Hawk menjadi ikon skateboarddan hampir setiap penggemar skateboard dari segala penjuru dunia mengenalnya –juga mulai mengenal skateboard.
Akhirnya Skateboard Merambah Olimpiade
Pada 2010, karena skateboard sudah jadi olahraga yang amat populer, Rob Dyrdek, salah seorang skateboarder profesional asal Amerika, mengadakan kompetisi skateboard terbesar di dunia. Kompetisi itu bertajuk Street League Skateboarding [SLS]. Dan dalam setiap gelarannya, kompetisi itu akan diikuti oleh 25 skateboarder terbaik dari segala penjuru dunia.
Yang menarik, SLS ternyata bukan puncak dari kompetisi skateboard. Pada Agustus 2016 lalu, Komite Olimpiade Internasional [IOC] memutuskan: bersama empat olahraga baru lainnya, skateboard masuk ke dalam cabang olahraga Olimpiade dan akan mulai dipertandingkan di Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang.
"Masuknya cabang olahraga baru akan memberikan kesempatan pada atlet muda untuk mewujudkan impian mereka bersaing di Olimpiade, panggung olahraga terbesar di dunia, juga menginspirasi mereka untuk menjadi yang terbaik, baik dalam olahraga maupun kehidupan," ujar Yoshiro Mori, Presiden Olimpiade Tokyo 2020.
Namun ternyata tak semua skateboarder profesional setuju skateboard masuk ke Olimpiade. Evan Smith, salah satu skateboarder yang tak setuju, mengatakan, ”Ketika skateboard menjadi salah satu cabang olahraga di Olimpiade, aspek kreatif yang merupakan bentuk dari ekspresi seni akan menguap. Kemana anak-anak akan pergi jika daya tarik kreativitas dalam skateboard hilang?”
Dengan alasan berbeda, Justin Brock, skateboarder Nike SB, juga tidak menginginkan skateboard dipertandingkan di Olimpiade. Ia bependapat bahwa skateboarding selalu membawa kebersamaan, tetapi Olimpiade akan memisahkan skateboarder Brasil dengan skateboarder Kanada, pun dengan skateboarder dari negara-negara lainnya.
Meski begitu, Nyjah Huston dan Chris Cole, dua skateboarder yang kini kerap didapuk sebagai atlet terbaik Amerika, ternyata sangat antusias dengan adanya cabang skateboard di Olimpiade. Keduanya sepakat bahwa berkompetisi dalam gelaran Olimpiade adalah hal luar biasa.
Menyoal skateboard dan Olimpiade sendiri, ada hal menarik yang pernah dilakukan oleh John Sverson, editor majalah Quartely Skateboarder. Pada tahun 1965 lalu, saat skateboard masih pada masa awal-awal kehidupannya, ia menulis, ”Kami memprediksi masa depan cerah untuk olahraga ini – masa depan yang bisa mencapai Olimpiade. Ini adalah olahraga yang lebih ‘terukur’ daripada surfing dan karena itulah olahraga ini lebih mengarah ke kompetisi.”
Editor: Nuran Wibisono