tirto.id - Kadang, dia meluncur dengan sempurna kendati skateboard-nya melayang entah ke mana. Sesekali, tubuhnya terbanting keras. Setidaknya tiga kali, kepalanya yang terbungkus helm terbentur telak dasar ramp kayu. Namun, Tony Hawk selalu bangun lagi, menaiki tangga, mengulangi triknya, dan terbentur lagi.
Itu adalah salah satu momen ikonik skater yang dijuluki Birdman: mendaratkan trik the 900 pada usia 48 tahun. Orang pertama yang berotasi 2,5 putaran dengan skateboard di udara itu akan menjadi orang tertua yang mendaratkan trik yang sama.
Dia baru bersedia berhenti meluncur ketika berhasil mendaratkan triknya atau ketika tubuhnya tak lagi berdaya. Mengutip ucapan teman sekaligus skater favoritnya Rodney Mullen, dia baru akan berhenti "until the wheels fall off". Perkataan itu kemudian dijadikan judul dokumenter HBOterbaru tentang Tony Hawk.
Nama Tony Hawk belakangan mengingatkan kita pada cerita perjumpaan kikuk dengan orang-orang tak dikenal yang rajin dia bagikan di Twitter (yang seolah tak pernah berakhir) atau sosoknya yang sadar akan meme.
Mendengar nama sang Birdman tentu juga berarti mengingat seri gimTony Hawk's Pro Skater, trik the 900 dan seratusan trik lainciptaannya, atau deretan stunt—seperti kesuksesan mengitari loopdengan kepala tetap bercokol di badan hingga melompat antargedung.
Yang terkini, di usia 53 tahun, dia baru saja mengalami patah tulang paha. Kita tahu dia belum berhenti. Tapi, apa bahan bakar yang membuat Birdman tetap menyala dan tak juga berhenti terbang?
Mesin Skateboarding yang Kesepian di Puncak
"Oh, ini susah," pikir Tony Hawk kecil saat kali pertama menjejak di skateboard. Terdengar sama normalnya dengan orang kebanyakan, bukan?
Bocah kurus kering itu bahkan dianggap perlu upaya ekstra hanya untuk membuat papan berodanya melaju. Namun, bagi Stacy Peralta, bocah ceking itu punya "determinasi yang intens".
Sang pemilik perusahaan Powell-Peralta itu lantas merekrut sang bocah ke dalam tim bentukannya yang saat itu telah berisi nama-nama beken dan sering malang-melintang di kontes-kontes skateboarding, seperti Steve Caballero dan Mike McGill.
Bagi mereka yang mengikuti kiprah Tony Hawk, mudah saja untuk menebak bahwa dokumenter Until the Wheels Fall Off jelas bakal mengangkat kisah Bones Brigade dan testimoni para anggotanya. Bagaimana pun, itulah awal-mula Hawk mencicipi kejayaan. Dan anak-anak muda itu ada di sekitarnya—bersaing satu sama lain di kontes, terlibat pembuatan video dan film seperti The Search for Animal Chin (1987), dan menjemput kehidupan bagai bintang rock sebagai skater.
“Rutinitas” menempati podium tertinggi di banyak kontes tak berarti pula hidup yang selalu di atas. Segala kemenangankemudian membuat Hawk merasa seperti robot. Segala kontes itu pun kini terasa metodik. Medali demi medali, trofi demi trofi dibiarkannya bertumpukan di sudut rumah.
Anggapan sebagian orang bahwa Hawk ialah "skater yang tidak punya style" pun diamini olehnya. Fokusnya adalah mendaratkan dua-tiga trik baru di setiap kontes. Orang ini hanya berminat untuk mendaratkan dan mengkreasikan manuver yang belum pernah ada serta bermain-main dengan gravitasi dan batasan tubuh manusia.
Bahwa kesuksesan bisa saja mengikuti jika kau bermain sampai degil seperti Tony Hawk.
Tony yang Melawan Tony
Sialnya, skateboarding adalah bisnis yang punya siklusnya sendiri. Ada kalanya industri ini terperosok, seperti terjadi di awal1990-an—tepat seusai Hawk dkk. meraup banyak uang dan status rockstar. Bagi dirinya pribadi, itu berarti pamor yang menurun dan keputusan-keputusan masa muda yang harus dibayarnya kelak.
Di samping iklim bisnis dan trennya, dokumenter ini juga menampilkan kultur skateboarding di Amerika mulai dari dekade 1980-an. Setiap skatepark dan arena dipenuhi anak-anak muda yang bergairah, yang tak jarang berujung kecemburuan hingga perisakan.
Kadang, ia menjelma persaingan yang sehat sebagaimana rivalitas Hawk dan Christian Hosoi. Namun, ada kalanya juga rivalitas berlaku kurang sehat macam Hawk dengan seniornya Duane Peters. Sayangnya, persaingan antara Hawk, Danny Way, dan beberapa skater lainnya untuk menjadi orang pertama yang mendaratkan the 900 tak dibahas cukup mendalam. Kita juga tidakbakal menemukan klarifikasi atau semacamnya soal perseteruan antara Hawk dan Pappas Brothers yang menjadi subjek dokumenter All This Mayhem (2014)--di mana mereka menuding Hawk "mencuri" the 900.
Begitu pula dengan trik-trik rekaan Hawk lainnya yang seperti luput dari pembahasan. Apa dan bagaimana proses kreatif di balik Madonna atau Kickflip McTwist dan banyak lagi trik yang kini terus didaratkan para vert skater?
"The oldest teenager ever" alias remaja tertua yang pernah ada, begitulah orang-orang kerap mendeskripsikan Hawk. Belum lagi status tak resmi sebagai "lelaki kulit putih terkeren" yang kerap dilontarkan warganet. Ini tentu tak lepas dari sosoknya yang ceria nan hangat saban tak beraksi di atas papan.
Akan tetapi, di balik sosok itu ada Hawk yang kesulitan dalam sejumlah hubungan pribadi, entah itu dengan pasangan maupun anak-anaknya—yang lagi-lagi hanya sekilas disinggung di sini. Itu adalah harga yang cukup mahal, sebagaimana dia harus membayar mahal obsesi dan perfeksionismenya dengan cedera ringan dan berat yang tak terhitung. Dia boleh jadi adalah skateryang paling babak belur, demikian salah satu testimoni dalam dokumenter ini.
Pada akhirnya, bagian paling menarik dalam dokumenter ini tetap kembali pada pertanyaan, "Mengapa para skater ini tak juga berhenti di usia yang terbilang tua?"
Sebagian dari mereka terkesiap hingga akhirnya mengakui: ini memang keputusan yang nekat atau justru bodoh.
Kita bisa berharap pada Rodney Mullen untuk jawaban-jawaban yang filosofis soal mainan kayu beroda. "Ini adalah kemewahan, menghabiskan hidupku dengan melakukan hal yang kucintai", ujarnya dramatis.
Lalu, bagaimana dengan Tony Hawk si subjek dokumenter sendiri?
Hawk sepertinya tak punya jawaban terang mengapa tak kunjung berhenti. Namun, Lance Mountain punya jawaban yang berkesan: "Tony bersaing dengan Tony. Dia selalu bersaing dengan Tony."
Sampai Roda-Roda Terlepas
Until the Wheels Fall Off kaya akan footagelangka berupa rekaman-rekaman yang tak bisa ditemukan di banyak dokumenterskateboardinglain. Musik punk rock macam The Clash dan Buzzcocks mendominasi latar dan sesekali diiringi surf rock dan nada-nada ambient yang lebih muram sesuai nuansa pembicaraan. Ia melompat-lompat dari klip videoskater yang beterbangan menuju, lagi-lagi, kenangan dan renungan.
Melihat dokumenter Tony Hawk seperti melihat skateboardingitu sendiri—setidaknya yang berputar di sekitar sosoknya. Dan dia hanya sampai di sini, sejauh yang ditampilkan sutradara Sam Jones. Sebuah kisah inspiratif dari sosok populer yang menjadi diri sendiri, tak peduli caci, dan "tak bisa mati".
Sayannya, pembicaraan mengenai skateboarding yang menjadi penyelamat hidup, menawarkan inklusivitas bagi semua ras, gender, atau kepercayaan tak hadir dalam durasi dua jam dokumenter ini. Kau mesti melongok ke sana-sini jika ingin melihat ragam wajah skateboarding lain—yang tak melulu soal skater dari tim mapan di pesisir barat Amerika. Sebut saja film sepertiSkate Kitchen (2018), dokumenter Minding the Gap (2018), dan Joe Buffalo (2021), atau bahkan video-video skena skateboardingdi pelbagai penjuru dunia yang infrastrukturnya tak semantap California.
Bagi penonton yang akrab dengan kisah Hawk dan kompatriotnya, Until the Wheels Fall Off hanyalah menambah tontonan baru seputar skate dan barangkali perspektif lain dari para figur kuncinya.
Sementara bagi mereka yang hanya familier dengan adagium “skateboarding adalah Tony Hawk”, dokumenter ini bisa menjadi gerbang wawasan dan pemahaman baru. Bagaimana pun, Tony Hawk adalah sosok utama di balik popularitas papan kayu beroda dan salah satu figur paling tepat untuk menyampaikan kisahnya. Satu kompilasi puja-puji sepertinya tak masalah.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi