tirto.id - "Orang-orang kulit putih bakal menyerang jika kau tidak tampak garang. Kau harus tampak seperti pejuang. Kau harus terlihat bagai baru kembali dari membunuh seekor bison," ujar Victor Joseph kepada Thomas Builds-the-Fire lantaran temannya itu kelewat cengengesan; "kurang stoic" sebagai seorang Indian.
Demikian salah satu adegan dalam film panjang pertama yang dibuat oleh orang-orang asli Amerika yang menjangkau khalayak luas, Smoke Signals (1998).
Pada film lain soal pribumi Amerika, tepatnya dokumenter pendek yang disutradarai Amar Chebib dan dipublikasikan oleh The New Yorker, Joe Buffalo tak peduli apakah ia masih tampak garang atau tidak. Dia bahkan tampak tua, letih, dan menangisi diri sendiri. Sama sekali tidak terlihat bagai baru kembali dari membunuh seekor bison (yang di AS juga disebut buffalo).
Namun Joe baru saja mengalahkan sesuatu yang lebih membahayakan ketimbang bison, yakni dirinya sendiri yang bertopeng obat-obatan terlarang dan alkohol. Dalam film yang turut diproduseri oleh Tony Hawk, lelaki asal Samson Cree Nation Kanada itu ditunjukkan bangkit melawan trauma masa kecil dan hidup yang amburadul. Joe berhasil sadar dan menggapai mimpi masa kecilnya, menjadi skater profesional pada usia yang tak lagi muda, 43 tahun.
Manakala kebanyakan film soal skateboarding menyoroti anak muda dan fase coming-of-age mereka, atau kenyataan di luar sana bahwa seorang skater lazimnya meraih status pro pada usia belasan hingga awal 30-an, tidak demikian halnya dengan Joe Buffalo. Dia bukan lagi anak muda yang menantang dunia atau orang tua, tak lagi mencoba untuk skate di mega ramp, tidak pula berupaya tampil di X-Games, atau menemani Micky Papa dan Andy Anderson membela Kanada di Olimpiade.
Fase coming-of-age bagi Joe ialah pindah ke Ottawa untuk skate, mulai mendapatkan sponsor, dan disukai orang-orang.
Dari luar, orang-orang mungkin melihatnya menjalani kehidupan sarat pesta. Namun pada masa-masa menyenangkan itulah ia mencoba mengatasi trauma masa kecilnya dengan sembrono, yang mengantarnya pada obat-obatan dan alkohol, membuatnya tiga kali overdosis heroin, membawanya bolak-balik penjara, dan menulis surat-surat bunuh diri. Sebuah trauma masa kecil yang berakar dari satu hal: penderitaan ketika bersekolah di sistem pendidikan macam residential school.
Genosida dalam Wujud Sekolah
Melihat Joe Buffalo seperti melihat sebagian sisi kelam sejarah Kanada. Dalam wawancara dengan stasiun radio CiTR Kanada, Joe mengatakan, "Benar-benar sulit tumbuh di reservasi (area yang diperuntukkan pemerintah bagi orang-orang pribumi Amerika). Tanah di bawahnya adalah yang paling kaya minyak di Kanada, jadi pemerintah membayar kami untuk mengekstraksi sumber daya kami. Itu menciptakan segala macam keserakahan dan kekerasan."
Sebelum kontak terjadi dengan dunia luar, penduduk asli tidak mengenal sistem moneter. Memberikan mereka uang dalam jumlah besar secara tiba-tiba, menurut Joe, sontak membuat lingkungan reservasi kian kasar.
"Program" pemerintah untuk orang-orang ini tak hanya sampai di situ. Seluruh anggota keluarga Joe menderita trauma akibat residential school, dari generasi ke generasi, seperti siklus yang berkelanjutan.
Joe Buffalo memiliki hasrat besar akan kebebasan, dan ia punya sarana untuk mencapai hal itu berkat mainan kayu beroda yang mahir ia mainkan dan kelak mengantarnya kembali menjalani hidup dengan sadar. Meluncur di atas skateboard menuju ujung lorong gelap panjang dalam hidup mungkin tidak terjadi bagi sebagian pribumi Amerika lainnya di Kanada yang dipaksa bersekolah di tempat macam itu.
Indian residential school system adalah jaringan boarding school untuk orang-orang pribumi Amerika di Kanada. Ia didanai pemerintah dan dijalankan oleh gereja. Kendati baru dimulai pada 1883, jejaknya bisa ditelusuri hingga awal 1830-an ketika Gereja Anglikan mendirikan residential school di Brantford. Sebanyak 139 sekolah tersebar di seluruh penjuru, dari provinsi yang berbatasan dengan AS di selatan seperti British Columbia dan Ontario, hingga teritori Nunavut nun jauh di lingkar Arktik.
Tak hanya anak-anak dari grup pribumi First Nations (juga disebut Native Americans di AS) seperti Joe Buffalo, residential school turut menyasar warga pribumi Amerika Utara lain seperti Métis dan Inuit. Sekolah ini mengeluarkan anak-anak pribumi dari keluarga mereka, merampas bahasa leluhur mereka, dan membuat banyak dari mereka mengalami pelecehan fisik dan seksual. Siswa juga menjadi sasaran pemberian hak secara paksa sebagai warga negara yang "berasimilasi" yang menghilangkan identitas hukum mereka sebagai orang Indian.
Joe Buffalo menilai salah satu upaya genosida pribumi Amerika ini dengan ringkas: "Kill the Indian, save the child." Bunuh Indian dalam diri anak-anak Indian.
Joe mengenang masa-masa tinggal bersama 250 anak dalam suatu ruangan yang hanya diperbolehkan bertemu orang tua mereka 1-2 kali dalam setahun. "Kepada siapa kamu harus berlari? Siapa yang akan melindungiku dari orang-orang ini [para pengelola sekolah]?"
Di samping membuat anak-anak pribumi tercerabut dari akarnya dan menanamkan pelbagai trauma yang tak lekang, hal lain yang paling dikenang dari sistem persekolahan ini ialah angka kematian siswa. Sebanyak 3.200 kematian telah dikonfirmasi, tetapi jumlah sebenarnya diperkirakan lima hingga sepuluh kali lipat.
Sebagian besar di antara anak-anak pribumi itu meninggal karena tertular tuberkulosis. Insiden penyakit tersebut menurun ketika Kanada mulai menggunakan antibiotik secara luas pada 1950-an. Masalah ini kembali menjadi sorotan dunia ketika 215 kuburan tak bernama ditemukan di salah satu residential school di Kamloops, British Columbia, Mei 2021 lalu.
Sistem sekolah ini baru berakhir pada 1996 ketika residential school terakhir di Saskatchewan ditutup. Sementara pengakuan dosa yang dilakukan terhadap anak-anak di sekolah ini baru terjadi pada 1980-an, dimulai oleh United Church of Canada lalu diikuti gereja-gereja lain seperti Gereja Katolik Roma dan Anglikan. Permohonan maaf terhadap warga pribumi penyintas sistem residential school juga dilayangkan oleh kepolisian dan pemerintahan federal Kanada.
Colonialism
Berbagai program rekonsiliasi terhadap para penyintas residential school lantas dilakukan gereja dan pemerintah federal hingga kini. Sementara dalam skala yang lebih sempit, kita melihat Joe Buffalo berdamai dengan dirinya sendiri, dengan masa lalunya. Ia menyadari kesalahan-kesalahan yang ia perbuat dan menggapai mimpi masa kecilnya, mimpi yang diidam-idamkan banyak skater: punya papan skateboard model pro. Dengan kata lain, menjadi skater profesional.
Joe mengaku mendapatkan banyak penawaran pro pada masa lalu, tetapi ia merasa "tidak cukup profesional." Hingga akhirnya Colonialism Skateboards, perusahaan skateboard Kanada yang didirikan Michael Langan, seniman pribumi dari Cote First Nation, memberi dia kesempatan menjadi pro pada 2019 lalu.
Tak bisa lebih cocok lagi. Colonialism memang dihadirkan untuk menarik perhatian publik dengan menghadirkan edukasi pada aspek-aspek yang tak terungkap dari sejarah dan budaya penduduk asli Kanada--menggabungkan seni skateboarding dengan sejarah kolonialisme.
Katalog mereka memadukan artwork dari berbagai elemen seperti hilangnya perempuan dan anak-anak pribumi akibat sistem residential school hingga kesamaan nasib dengan gerakan Zapatista. Papan model pro milik Joe Buffalo sendiri berilustrasikan Pîhtokahanapiwiyin (Poundmaker), leluhurnya yang juga seorang ketua suku Cree yang dimuliakan.
Berkat skateboarding pula Joe mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam video musik bahkan menjajal dunia akting. Salah satu proyek terbarunya adalah mengambil gambar untuk feature film bersama sepupunya, Cody Lightning. Di ranah skateboarding, ia mendirikan Nations Skate Youth, organisasi pemberdayaan pemuda pribumi untuk menentukan nasib sendiri melalui skateboarding.
Pada masa yang—semestinya—telah lebih ramah bagi para pribumi Amerika seperti sekarang, para anak-anak muda dari bangsa-bangsa minoritas itu tentu tak mesti harus senantiasa memakai wajah garang agar disegani. Joe Buffalo telah menunjukkannya. Tak hanya memperagakan kekuatan di atas papan, tetapi juga menunjukkan kepada anak-anak muda kaumnya bahwa selalu ada harapan. Meski bagi dia sendiri, itu berarti harus berkubang pada periode-periode kelam serta waktu 35 tahun sejak mulai menapakkan kaki di atas skateboard.
Editor: Rio Apinino