Menuju konten utama
10 April 1919

Hanya Tipu Daya yang Mampu Menghabisi Perlawanan Emiliano Zapata

Perjuangan Emiliano Zapata Salazar menegakkan hak-hak petani di Morelos, Meksiko. 

Hanya Tipu Daya yang Mampu Menghabisi Perlawanan Emiliano Zapata
Ilustrasi Mozaik Emiliano Zapata. tirto.id/Sabit

tirto.id - Menjelang akhir abad ke-19, komunitas petani Meksiko hidup di bawah tekanan yang terus meningkat dari golongan pemilik tanah lokal. Mereka memonopoli sumber daya tanah dan air untuk memproduksi tebu dengan dukungan Presiden Porfirio Díaz, seorang diktator. Emiliano Zapata Salazar lahir di desa Anenecuilco, negara bagian Morelos, Meksiko, pada 8 Agustus 1879, persis di tengah hebatnya tekanan itu.

Muak dengan keadaan sosial dan ekonominya, Zapata muda berpartisipasi dalam gerakan politik melawan Díaz. Menjelang Pemilu 1910, ia dipilih menjadi pemimpin pusat pemberontakan petani di Morelos. Salah satu langkah pertamanya adalah membangun pasukan gerilya bernama Liberation Army of the South.

Porfirio Díaz yang sebelumnya telah terpilih sebanyak enam kali dalam pemilu yang curang, kembali mencalonkan diri. Kali ini, dia mendapat saingan berat dari Francisco Ignacio Madero, seorang revolusioner. Díaz yang telah melihat tanda bahaya kemudian melakukan manuver politik dengan menangkap dan memenjarakan Madero sebelum pemilu. Pada 26 Juni dan 10 Juli 1910, pesta demokrasi yang digadang-gadang sebagai pemilu bebas dan adil itu pun digelar.

Hasilnya, meski Madero sangat populer di masyarakat, secara kontroversial Díaz diumumkan sebagai pemenang dengan memperoleh 99 persen suara. Madero yang merasa dicurangi habis-habisan pun kabur dari penjara dan menerbitkan "Plan of San Luis de Potosí" pada bulan Oktober. Dokumen politik itu berisi seruan untuk membatalkan hasil pemilu yang memenangkan Díaz. Selain itu, dokumen ini juga menyatakan ajakan untuk memberikan kursi kepresidenan sementara pada Madero dan ajakan untuk melakukan pemberontakan pada 20 November.

Di tengah kisruh politik itu, Zapata melihat peluang untuk merangsek masuk dan mempromosikan reformasi pertanian. Zapata dan pasukan pemberontaknya yang disebut Zapatista, mendukung penuh seruan Madero seperti ditulis dalam dokumen tersebut. Pada Mei 1911, Zapata berhasil memukul pasukan Tentara Federal dalam pertempuran Cuautla. Setelah kemenangan itu, mereka berhasil menurunkan Díaz dan akhirnya mengangkat Madero.

Namun setelah naik, Madero justru menyangkal peran Zapatista. Ia bahkan menyebut mereka sebagai kumpulan bandit. Madero bahkan sempat sesumbar dengan mengatakan pasukan Zapata akan bisa dikendalikan dengan mudah demi membangun stabilitas di wilayah Morelos.

“Zapata akan menyerah karena ia tahu bahwa saya akan melaksanakan proposisi sebelumnya dari pemerintah yang sesuai dengan perjanjian yang telah dinegosiasikan,” ujar Madero seperti ditulis Albert Rolls dalam Emiliano Zapata: A Biography (2011:53).

Meski begitu, Zapata tetap pada agendanya untuk menjalankan reformasi pertanian. Pada November 1911, ia mengumumkan Plan de Ayala, sebuah dokumen yang menolak mengakui presiden baru. Dalam dokumen itu Zapata menjelaskan rincian pengkhianatan Madero terhadap cita-cita revolusi, sekaligus ajakan untuk tetap setia pada rencana reformasi pertanian dengan mendistribusikan kembali tanah kepada para petani.

Hal ini membuat Madero mengirimkan Tentara Federal dengan satu perintah: membasmi Zapatista di Morelos. Ia menerapkan kebijakan bumi hangus dengan membakar desa-desa dan memaksa para penduduk untuk pindah. Sebagian penduduk direkrut menjadi personel angkatan darat, dan sebagian besar lainnya dikirim ke Meksiko Selatan untuk menjadi pekerja paksa.

Langkah-langkah Madero terhadap warga Morelos justru memperkuat kesan positif Zapata di kalangan petani, terutama karena didukung oleh tulisan Plan de Ayala. Dokumen ini mengusung semboyan Reforma, Libertad, Ley y Justicia (Reformasi, Kebebasan, Hukum, dan Keadilan). Dengan sisa-sisa kekuatan, mereka akhirnya berhasil mengusir mundur pasukan Madero yang dipimpin oleh petinggi militer Federal, Victoriano Huerta.

Kehadiran AS dan Perpecahan

Kegagalan di Morelos membuat Huerta mengubah strategi militernya. Pada Februari 1913, ia melakukan kudeta terhadap presiden Madero. Namun setelah itu, kehadihan pihak asing semakin merumitkan keadaan. Presiden AS Woodrow Wilson menjalankan agenda politiknya dengan mengirim pasukan untuk menduduki kota pelabuhan Veracruz. Pasukan Federal pimpinan Huerta dipukul mundur dari Morelos dan Puebla. Dalam pendudukan ini, Zapatista mengklaim kekuasaan di Morelos Timur dan menolak bergabung dengan Huerta untuk melawan AS.

Sementara itu, AS menjajaki kerja sama dengan Carranza, seorang aristokrat yang relasinya luas dengan para politikus Meksiko. Sejak awal, Carranza yang konservatif tidak suka dengan Zapata. Baginya, Zapatista adalah orang-orang yang liar dan tidak beradab. Dengan dukungan AS, Carranza naik menjadi presiden pada 1 Mei 1916. Ia kemudian segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Jenderal Pablo González Garza untuk menyerang bagian barat Laut Morelos. Namun serangan itu gagal total.

Di sisi lain, keberhasilan membendung serangan pasukan González justru menandai mulai melemahnya kekuatan pasukan Zapata. Di luar Morelos, kekuatan revolusioner mulai terbelah. Beberapa bergabung dengan golongan konstitusionalis yang melahirkan keraguan yang menular. Banyak anggapan muncul barangkali inilah saat yang tepat untuk menata kehidupan sosial dalam atmosfer politik yang stabil dengan menghentikan aksi-aksi pemberontakan.

Zapata tidak terpengaruh bisikan para pengikutnya yang menginginkan ia berkampanye melawan Carranza di seluruh wilayah Meksiko Selatan. Ia memilih fokus membangun Morelos dan berusaha mewujudkan kehidupan yang baik bagi komunitas petani di sana. Untuk mewujudkan hal itu, ia mulai mencari pihak lain untuk bekerjasama. Tidak tanggung-tanggung, Zapata bahkan sempat menghubungi AS dengan mengutus Gildardo Magana guna menjajaki kemungkinan permintaan dukungan. Namun dukungan ataupun kemungkinan untuk beraliansi dengan pihak manapun urung terjadi.

Infografik Mozaik Emiliano Zapata

Infografik Mozaik Emiliano Zapata. tirto.id/Sabit

Malapetaka Menimpa Zapata

Pada suatu malam di pertengahan bulan Maret 1919, Jenderal Pablo González memerintahkan anak buahnya, Jesús Guajardo, untuk memimpin pasukan melakukan operasi melawan Zapatista di pergunungan di sekitar Huautla. Tidak lama setelah memberi perintah, González justru mendapati Guajardo tengah berpesta. Ia marah dan menangkapnya saat itu juga.

Mengetahui kejadian itu, pada 21 Maret 1919 Zapata menyelundupkan surat untuk Guajardo. Isinya mengajak Guajardo untuk berpihak kepada kelompok revolusioner. Namun, penyelundupan surat tersebut ternyata ketahuan oleh González dan menjadikannya sebagai senjata untuk menipu Zapata. Dengan ancaman dan iming-iming kebebasan, Guajardo dipaksa berpura-pura setuju bergabung dengan Zapata.

“González memainkan perannya dengan membuat Guajardo berpura-pura bekerjasama dengan Zapata sampai bisa menangkapnya hidup atau mati. Jika ditangkap dalam keadaan hidup, Zapata akan dieksekusi di hadapan publik”, tulis John Womack, Jr dalam Zapata and the Mexican Revolution (1968:323).

Guajardo diperintah untuk mengirim surat balasan kepada Zapata yang berisi pernyataan setuju untuk bekerjasama dengan mengirimkan pasukan serta persenjataan, tentunya setelah beberapa persyaratan dipenuhi.

Pada 1 April 1919, surat itu dibalas oleh Zapata dengan pernyataan siap memenuhi semua persyaratan. Rencana penyerangan pun ditentukan. Delapan hari kemudian, Zapata menyerang Jonacatepec, markas pasukan Federal. Sebagai bagian dari konspirasi, Jonacatepec dibiarkan jatuh ke tangan pasukan Zapatista.

Lengah dan termakan tipu daya González, Zapata memenuhi undangan pertemuan dengan Guajardo. Dalam pertemuan yang diadakan di Hacienda de San Juan, Chinameca, pada 10 April 1919, tepat hari ini 102 tahun lalu, Zapata diberondong tembakan. Ia pun tewas seketika. Jenazahnya dibawa ke Cuautla: difoto, dipajang selama 24 jam, dan kemudian dikuburkan.

Baca juga artikel terkait ZAPATISTA atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Politik
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh