tirto.id - Di Meksiko, umat Islam adalah minoritas yang sangat kecil. Tapi dalam beberapa tahun belakangan, geliat mereka makin terlihat.
Berdasarkan data World Population Review tahun 2019, dari total 132,195,045 penduduk Meksiko, sebanyak 82,7% menganut Katolik Roma, 5% Evangelis, 1,6% Pentakosta, 1,4% Kesaksian Jehovah, lalu 1,9% menganut kepercayaan lain—Islam termasuk ke dalam jumlah ini. Sementara 7,4% diidentifikasi sebagai non-kepercayaan atau tidak beragama.
Muasal Katolik menjadi agama mayoritas di Meksiko dapat ditelisik sejak Hernan Cortes dan pasukan Spanyol datang ke wilayah tersebut pada awal abad ke-16 lalu menjajah mereka sepanjang kurang lebih 300 tahun. Jauh sebelum kedatangan bangsa Spanyol, Meksiko dihuni suku-suku berperadaban maju seperti Amerindian, Maya, dan Aztec yang menganut kepercayaan politeisme, sebagaimana penduduk pribumi Indian di Amerika kala itu.
Dalam risetnya berjudul "Islam in Mexico and Central America" (PDF, 2015), Mark Lindley, pengajar di University of the Highland and Islands, Skotlandia, sejauh ini tidak ada rujukan komprehensif yang terkonfirmasi tentang awal mula kemunculan Islam di Meksiko. Di banyak literatur, kemunculan Islam di wilayah tersebut dispekulasikan bersamaan dengan masa perdagangan budak di Amerika yang dibawa dari Afrika. Ahli sejarah Sylviane Diouf memperkirakan ada sekitar 15 juta orang Afrika yang dibawa ke Amerika kala itu, dan sekitar 2,25-3 juta dari mereka adalah Muslim.
Spekulasi lain menyebut, kemunculan Islam di Meksiko bermula dari kedatangan Muslim Spanyol yang dipaksa pergi dari wilayahnya usai terjadinya Reconquista, upaya penaklukan kembali Semenanjung Iberia yang sejak abad ke-8 M dikuasai Kekhalifahan Umayyah. Para sejarawan menandai permulaan Reconquista dengan Pertempuran Covadonga (tahun 718 atau 722), di mana sejumlah kecil pasukan Kristen yang dipimpin bangsawan bernama Pelayo mengalahkan pasukan Kekhalifahan Umayyah di pegunungan Iberia utara dan mendirikan suatu kepangeranan Kristen di Asturias.
Sementara sumber lain mengenai kemunculan Islam di Meksiko yang juga sempat dijadikan rujukan sekunder adalah sebuah novel sejarah berjudul Un hereje y un musulmán, ditulis oleh Pascual Almazán pada abad ke-16, yang salah satu karakter utamanya adalah seorang Muslim.
Memasuki akhir 1980-an, kehadiran Islam di Meksiko kembali menggeliat, terutama di wilayah Chiapas. Menariknya, periode ini kurang lebih bersamaan dengan gerakan Zapatista yang mulai menarik perhatian masyarakat di sana.
Geliat Muslim Suku Tzotzil
Pada 2014 Giulia Iacolutti, fotografer National Geographic, pernah dikenalkan oleh seorang profesor kepada imam di salah satu masjid di Mexico City yang kerap menjadi tempat penampungan komunitas Muslim. Dari perkenalan tersebut, Iacolutti kemudian mengikuti seluruh kegiatan (dari ritual hingga perayaan) mereka sekaligus tinggal di rumah yang sama, dalam sebuah proyek yang dinamakan Jannah, sepanjang satu tahun.
Iacolutti lantas mendapati satu hal: di Meksiko, sistem kepercayaan dianggap lebih penting daripada mengikuti agama tertentu. Kesimpulan tersebut ia dapati terutama usai menanyakan banyak ibu Katolik. Rata-rata dari mereka sejatinya tidak ingin anak perempuan mereka masuk Islam, tetapi jika perubahan itu mengilhami cara hidup yang lebih saleh, maka hal tersebut dapat dipahami.
"Masuk Islam di Meksiko dianggap lebih baik daripada di Eropa. Mereka tidak memikirkan teroris. Mereka ingin membangun identitas. Apa yang menyenangkan tentang Islam adalah bahwa ia membawa tindakan praktis dalam kehidupan sehari-hari: Anda harus berdoa lima kali sehari, Anda tidak bisa makan daging babi, dan Anda tidak bisa minum alkohol,” ujar Iacolutti seperti dilansir National Geographic.
Umat Islam di Meksiko berpusat di kawasan San Cristóbal de las Casas, sebuah daerah di negara bagian Chiapas, Meksiko Selatan. Mayoritas dari mereka adalah suku Tzotzil, suku asli bangsa Maya. Banyak di antara mereka yang berpindah masuk ke Islam dari Kristen sejak akhir 1980-an—periode yang kurang lebih bersamaan dengan munculnya gerakan Zapatista.
Ketika itu, seiring konflik Zapatista yang makin sering terjadi, seorang anggota kelompok Murabitun Spanyol—gerakan Islam sedunia yang didirikan Syeikh Abdalqadir as-Sufi—datang ke Chiapas dan memperkenalkan Islam. Salah satunya adalah Muhammad Nafia, yang dulunya ketika masih beragama Katolik bernama Aureliano Perez Yruela. Selama beberapa bulan, Nafia menunggu Subcomandante Marcos, pemimpin kelompok gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN), keluar dari belantara hutan Lacandon.
Namun, sebab Marcos tak kunjung keluar, Nafia mengirim surat kepada Marcos melalui perantara. Seperti dilansir IBTimes, petikan surat tersebut berbunyi: “Kami dari Gerakan Murabitun Dunia mengundang Anda untuk duduk bersama perwakilan dari Chechnya, Kashmir, Baque, dan negara lain yang ada di garda depan perjuangan melawan tirani.”
Marcos tak pernah membalas surat tersebut. Namun, klaim bahwa Zapatista memiliki relasi perjuangan yang sejalan dengan Murabitun terkait surat tadi kadung beredar. Klaim tersebut kemudian dibantah oleh seorang antropolog yang berbasis di San Cristobal, Gaspar Morquecho. Adapun satu-satunya Muslim Tzotzil yang direkrut Zapatista adalah Ibrahim Chechev, pria asli Chiapas yang dahulu juga seorang Katolik bernama Anatasio Gomez.
Baik Ibrahim dan ayahnya, Manuel, adalah orang-orang yang merasakan kekecewaan terhadap agama. Manuel sebelumnya bahkan sudah berkali-kali pindah aliran Kristiani: mulai dari Katolik, lalu ke Gereja Presbiterian, hingga beralih ke Advent. Setelah mengalami kekecewaan dan keluar dari seluruh afiliasi gereja, ia menjadi seorang pemabuk. Ibrahim yang kala itu merasa jengah dengan perilaku ayahnya, lantas mengonfrontasinya:
“Apakah ini yang dikhotbahkan oleh Yesus Kristus? Bahwa kau menganiaya ibuku, bahwa kau mabuk?”
Pada suatu malam di tahun 1996, Manuel menyuruh Ibrahim, yang kala itu masih berusia 16, untuk mendatangi komunitas Murabitun, Movement for the Da’wa, di Chiapas. Sang ayah merasa penasaran dengan kegiatan mereka yang makin lama makin mudah terlihat di wilayah tersebut. Maka Ibrahim pun datang ke acara yang dipimpin oleh Nafia tersebut. Dan tepat pada malam itu pula ia merasa terpukau dengan Islam dan segera memutuskan untuk menjadi mualaf dengan mengucapkan syahadat.
Makin Mantap Bersama Zapatista
Setelah menjadi Muslim, Ibrahim juga makin mantap bergabung dengan Zapatista dan ikut masuk ke belantara hutan Lacandon. Ia juga mengajak puluhan anggota keluarga dan kerabat dari suku Tzotzil untuk memeluk Islam, termasuk kakeknya yang sudah berumur 100 tahun. Selain itu, ia juga telah menunaikan ibadah haji dengan 15 rekan Muslim lain dari suku Tzotzil.
Kepada Der Spiegel pada 2005, Ibrahim menuturkan pengalamannya selama di tanah suci. “Dalam Islam, ras sama sekali tak jadi masalah. Tak peduli dia keturunan suku Tzeltal, Tzotzil, Ch'ol, Tojolabal, Zoque, atau keturunan Eropa, semua tak ada beda dan melakukan Haji sebagaimana mestinya.”
Kini di San Cristobal, komunitas Murabitun juga telah membangun sekolah Alquran sebagai tempat belajar mengaji dan salat 5 waktu. Beberapa masjid yang juga sudah dibangun di sana antara lain ada Masjid Al Kautsar serta Masjid Al Medina. Bahkan kedai pizza yang tidak memakai daging babi pun juga turut dibuka. Mereka juga bekerja sama dengan organisasi kemanusiaan, Humanity First, untuk membantu mensosialisasikan bahaya kanker serviks dan payudara.
Ketika Meksiko diguncang gempa dahsyat 8,2 ritcher pada 2017, kaum muslim Tzotzil juga turun membantu berbagai korban, terutama orang-orang yang kehilangan tempat tinggal. Bagi Ibrahim, memang begitulah semestinya relasi umat beragama: saling membantu, terutama mereka yang kesusahan, tidak peduli apa latar belakang agamanya.
“Kami selalu mendukung perdamaian dan persatuan, terlepas dari jenis agama yang dianut. Kami menghormati, mencintai, dan memahami saudara-saudari Kristen kami, tidak peduli apakah mereka orang Evangelis, Katolik, atau siapa pun. Para anggota masyarakat memiliki hubungan yang erat, baik di lingkungan masjid atau dengan masyarakat pada umumnya. Kami selalu memperkuat hubungan dengan agama lain," ujarnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan