Menuju konten utama

Brutalnya Kartel Narkoba Meksiko

Seperti apa bentuk-bentuk kekejaman kartel narkotika di Meksiko dan apa yang dilakukan pemerintah setempat untuk menghentikan mereka?

Joaquin Guzman Loera, alias "El Chapo Guzman." AP Photo/Damian Dovarganes

tirto.id - Sebagaimana kebanyakan orang Meksiko, Heriberto Lazcano juga menggemari salah satu kudapan paling populer di sana: tamale. Namun, jika biasanya tamale memakai keju, buah, cabai, sayuran, atau daging sapi atau ayam sebagai isiannya, Lazcano memilih menggunakan daging manusia untuk disantap.

Lazcano bukan orang sembarangan. Dia adalah salah seorang pemimpin kartel narkotika nomor dua paling kuat di Mexico, Los Zetas. Selain itu, Lazcano juga dikenal sebagai seorang eksekutor dengan beberapa metode penyiksaan yang amat sadis.

Salah satu metodenya dinamakan "La Paleta": Korban akan ditelanjangi, diikat, lalu dipukuli dengan papan kayu hingga sekarat dan dibiarkan mampus begitu saja. Lazcano juga memiliki sebuah area luas untuk memelihara singa dan harimau. Jika ada orang yang membuatnya kesal, kadang ia akan melemparkan mereka ke dalam area tersebut sebagai santapan hewan buas di sana.

"Dia sendiri yang bertugas mengeksekusi beberapa musuh-musuhnya. Beberapa metodenya untuk membunuh mereka adalah dengan melemparkan mereka hidup-hidup ke harimau yang ada di peternakan," kata salah seorang wartawan asal Meksiko, Humberto Padgett, peraih penghargaan Ortega y Gasset tahun 2012, seperti dilansir El Paz.

Ketika ada beberapa kacungnya yang ketahuan mencuri atau korupsi, Lazcano juga punya cara tersendiri: satu per satu dari mereka akan dipukuli menggunakan kayu sampai mati. Setelah korban mati, jantung mereka akan dipotong dan dibuang ke jalan bersama dengan mayatnya.

Lazcano paling benci dengan pengkhianat. Semakin tinggi level pengkhianatannya--menjadi informan pihak musuh atau aparat, misalnya--maka Lazcano akan turut membawa serta anggota keluarga korban untuk turut dihabisi. Khusus hal ini, ia memiliki metode paling sadis yang disebut “Guiso”: memasukkan korban ke dalam drum minyak dalam keadaan terikat lalu membakar mereka hidup-hidup.

Sementara untuk metode penyiksaan yang paling “manusiawi”, mantan tentara yang punya beberapa nama julukan seperti “El Lazca”, "The Executioner", dan "Z-3” ini akan menculik korbannya, memukuli kaki mereka hingga patah, lalu membiarkannya kelaparan sampai mati.

Beragam kekejian brutal dan tidak masuk akal ini adalah hal yang lazim dilakukan para kartel narkotika di Amerika Latin, wabilkhusus di Meksiko. Anda tinggal pilih dari kartel mana: Los Zetas, Sinaloa, Gulf Cartel, Juarez, Jalisco New Generation, hingga Barrio Azteca.

Para kartel ini juga punya kebiasaan “unik” lain: merekam adegan penyiksaan lalu dengan sengaja menyebarkan videonya ke dunia maya. Hal tersebut merupakan bentuk ancaman: jangan coba-coba berurusan dengan mereka.

Mike Vigil, mantan kepala DEA (Drug Enforcement Administration) yang tampil dalam film dokumenter tentang peredaran kokain di Bolivia berjudul Wildlands, menyebut kekejaman kartel membuat ISIS tampak seperti “sekelompok bocah paduan suara”.

Sejarah Munculnya Kartel Narkotika di Amerika Latin

Pada awal tahun 1900-an di Amerika, berbagai surat kabar kerap memberitakan berbagai tuduhan tak berdasar yang menyasar dua etnis di negara tersebut: warga Cina yang menggunakan opium untuk memperkosa wanita kulit putih dan kaum kulit hitam (Southern Negroes--demikian dulu mereka disebut) mengonsumsi kokain untuk menjadi manusia super.

Berbagai kisah (yang sejatinya lebih tepat disebut sebagai propaganda) tersebut sontak membuat warga AS dilanda kecemasan. Situasi genting tersebut kemudian dimanfaatkan para politikus untuk tampil sebagai mesiah melalui janji-janji mereka.

Singkat cerita, pada tahun 1908, muncullah seorang dokter bernama Hamilton Wright. Dialah “Bapak Pemberantas Narkotika” pertama di AS. Jabatannya kala itu adalah: Kepala Pemberantasan Opium. Dalam wawancaranya dengan New York Times pada 1911, Wright berapi-api mengatakan bahwa wabah kecanduan opium di AS sudah mencapai tingkat yang amat mengkhawatirkan.

“Kebiasaan (mengonsumsi opium) sudah tidak dapat dinalar lagi. Penjara-penjara penuh, rumah sakit juga sesak oleh korban. Ribuan pebisnis menjadi tidak bermoral dan seperti binatang buas. Inilah penyebab utama kenapa AS berlumur dosa dan ketidakbahagiaan. Kebiasaan tersebut sudah menjadi kutukan nasional. Jika kita ingin tetap mempertahankan kecerdasan dan moralitas tinggi di antara bangsa lain, mereka harus segera diperiksa.”

Sebetulnya Wright (dan pemerintah AS) tidak salah-salah amat ketika menggembar-gemborkan mengenai bahaya laten opium tersebut. Ada peningkatan angka pecandu opium di AS kala itu, dari 100 ribu menjadi 300 ribu. Hanya saja, dari total jumlah tersebut, 0,25 persennya merupakan pemakai obat-obatan karena anjuran medis.

Hal lain yang dikhawatirkan Wright adalah jenis candu lainnya: kokain.

Untuk meyakinkan warga terkait hal ini, Wright berusaha mengumpulkan berbagai laporan polisi mengenai penggunaan kokain oleh kaum kulit hitam. Setelah itu, ia menyebarkan hal tersebut ke berbagai media dengan turut memainkan isu sentimen rasial. Dari sekian pemberitaan, yang paling menohok pernah diberitakan New York Times pada 2 Agustus 1914 dengan judul: “Negro Cocaine ‘Fiends’ New Southern Menace”.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/10/01/eksekusi-kasual-ala-kartel-narkotik-meksiko--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik Eksekusi kasual ala kartel narkotik meksiko" /

Berita yang sebagian besar isinya hanya desas-desus tersebut menceritakan seorang warga kulit hitam yang membunuh orang kulit putih setelah mengonsumsi kokain. Selain itu juga ada kisah mengenai seorang polisi di North Carolina terlibat keributan dengan pemuda kulit hitam yang tentunya juga tengah berada dalam keadaan mabuk.

“Seorang polisi berhadapan dengan seorang negro yang mengamuk karena pengaruh kokain. Dia sempat mencoba menikam seorang pemilik toko dan juga memukuli anggota keluarganya sendiri. Karena keadaan mendesak serta pelurunya juga tinggal tiga butir, polisi tersebut akhirnya mencabut revolvernya dan segera menembak dada pria negro tersebut agar ia segera tewas.”

Berita tersebut dengan segera membuat warga kulit putih AS kian cemas. 13 negara bagian AS sepakat menandatangani perjanjian pengendalian opium dan kokain dan pada Desember 1914, kongres AS mengesahkan undang-undang narkotika untuk pertama kalinya: Harrison Narcotics Tax Act.

Efek dari undang-undang baru tersebut memang berhasil mengendalikan peredaran narkotika di AS. Tapi tidak di pasar gelap. Bisnis narkotika, terutama opium dan kokain, justru kian merajalela. Dan sejak dari sinilah kartel-kartel Amerika Latin mulai bermunculan.

Apa yang Dilakukan Pemerintah Meksiko untuk Menghentikan Kartel Narkotika?

Di Mexico, sekadar salah memilih jalan pun dapat berujung kepada kematian. Demikianlah mengerikannya efek dari kartel narkotika di sana. Negara pun kewalahan menghadapi keganasan mereka.

Sejak terpilih pada 2006, presiden Felipe Calderon segera mengobarkan perang kepada para kartel dengan membentuk misi yang dinamakan: Operation Michoacán. Selain menganggarkan biaya hingga 1,5 miliar dolar, sebanyak 6.500 pasukan (gabungan dari sekitar 20.000 polisi dan tentara) juga dilatih khusus untuk dan dikerahkan. AS pun turut sumbang dana sebesar 1 miliar dolar.

Namun persiapan ekstra serius tersebut bukannya tanpa kritik. Dengan begitu besarnya dana yang dialokasikan (sejak 2007 hingga kepemimpinan Calderon selesai 2012, operasi tersebut telah menghabiskan 54 miliar dolar), ternyata banyak yang dikorupsi oleh berbagai pejabat pemerintah dan aparat.

Perang besar-besaran terhadap kartel ini juga menyebabkan ribuan orang menjadi korban. Sejak 2007, sebagaimana laporan dari Amnesty International, terdapat 200.000 orang tewas, sementara 28.000 lainnya dilaporkan menghilang. Selain itu, laporan penyiksaan yang dilakukan oleh pihak aparat juga meningkat drastis, yakni hingga 600 persen dalam rentang tahun 2003 hingga 2013.

Operasi yang dilakukan Calderon memang cukup memuaskan, namun bukan berarti sepenuhnya berhasil. Para anggota dari tiap kartel yang diberantas rupanya bekerja sama dan membangun kembali kekuatan mereka. Salah satunya adalah Los Zetas yang didirikan pada 2010.

Kemunculan Los Zetas begitu menggegerkan. Pada 2011, mereka bahkan membantai 193 buruh migran dalam kejadian yang kelak dinamakan San Fernando Masscare. Usai kejadian tersebut, rakyat Meksiko pun melancarkan protes besar-besaran dan mengincar anggota Los Zetas di mana saja.

Ketika Calderon lengser dan digantikan oleh Enrique Pena Nieto, perang terhadap kartel masih tetap berlangsung. Hasilnya cukup memuaskan: 25 dari 37 pemimpin kartel yang menjadi buruan berhasil mereka sikat.

Selain Lazcano yang telah lebih dikabarkan dulu tewas di era Calderon pada 7 Oktober 2012, Miguel Angel Trevino Morales, salah satu pemimpin Los Zetas lainnya juga berhasil ditangkap pada 2013. Khusus Lazcano, pernah tersiar kabar absurd: konon mayatnya hilang dibawa segerombolan orang dari rumah pemakaman.

Kemenangan terbesar pemerintah Meksiko adalah ketika mereka (akhirnya) sukses menangkap Joaquín 'El Chapo' Guzmán, pemimpin utama gembong Sinaloa Cartel. Guzman sejatinya sudah tiga kali ditangkap (2011, 2014, 2015), namun ia selalu berhasil melarikan diri. Pada 2016, Guzman akhirnya tidak lagi bisa berkutik setelah kini diekstradisi ke AS.

Dengan sederet keberhasilan yang dilakukan pemerintah Nieto, apakah Meksiko kini sudah bersih dari (kekejian) kartel? Jawabannya: belum.

Pada Desember 2017, enam mayat pria dewasa digantung di dua jembatan yang berbeda di daerah Baja California Sur. Sementara pada Mei 2018 lalu, 12 orang (tiga di antaranya merupakan mahasiswa perfilman yang dilaporkan sudah menghilang sejak bulan Maret) ditemukan tewas dengan cara mengenaskan: tubuh mereka diguyur asam sulfat.

Itu zat yang juga digunakan untuk menyerang Novel Baswedan.

Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono