Menuju konten utama

North Hollywood: Menjadi Skater Pro, Menjadi Dewasa

Sinematografer Ayinde Anderson membuat film ini tetap enak dilihat hingga akhir meskipun filmnya sendiri tidak ke mana-mana.

North Hollywood: Menjadi Skater Pro, Menjadi Dewasa
Poster Film North Hollywood. FOTO/IMDB

tirto.id - "Menurut gue, bukan soal bagus atau nggaknya sih. Abis nonton film-film gitu bawaannya pengen skate, Bor," kata seorang rekan saya di Tirto. Saat itu kami sedang membahas film-film bertema skateboarding, yang meski sudah cukup sering dibikin, tapi sepertinya tidak atau belum pantas masuk banyak daftar semacam 50 atau 100 Film Terbaik Sepanjang Masa.

Film-film soal skateboarding memang lazimnya membonceng genre coming-of-age. Ambil contoh Lords of Dogtown (2005), yang tak hanya menampilkan kisah bak rockstar grup skate legendaris Z-Boys, tapi juga juga liku-liku menuju kedewasaan.

Kisah-kisah menuju-dewasa memang kadang berulang, tapi tak pernah usang. Dia bisa jadi sumber inspirasi bagi anak-anak dan remaja yang sedang berada pada fase tersebut. Dia juga kerap membawa kita, yang telah melewati fase transisi menuju dewasa, menoleh ke belakang.

Beberapa tahun belakangan kita disuguhkan bentuk dan tema ini dalam judul-judul seperti Skate Kitchen (2018), sebuah film yang berputar di sekitar suatu grup skater perempuan betulan, dan film debut Jonah Hill: Mid90s (2018). Film-film yang menyasar penonton dan skater muda ini berlanjut kala Mikey Alfred, salah satu produser Mid90s membuat film debutnya, North Hollywood (2021).

Seberapa relate film ini dengan para penonton remaja? Seberapa terhubung ia dengan mereka yang lebih mendekati usia Steve Buscemi kala memanggul skateboard di pundak dan bertanya "How do you do fellow kids"?

Seberapa apik, atau hanya cukup bikin ingin main skate saja?

Sulitnya Menjadi Skater Pro (dan Filmmaker)

Bagian ini memuat spoiler. Bagi yang ingin menghindarinya bisa langsung menuju bagian terakhir tulisan.

Potong rambut (entah menggunduli atau digunduli) untuk menandakan awalan baru, cek. Mandi sembari merenungkan pilihan dan kejadian di bawah shower, cek. Orang tua yang tidak setuju dengan jalan hidup pilihan anaknya, cek. Semua adegan dan penggambaran macam di atas ada dalam film ini.

North Hollywood setidaknya berhasil menghindari kisah Cinderella atau klise Hollywood itu sendiri ketika pada akhir film sang karakter utamanya justru masih berada di jalan menjadi skater profesional. Meskipun itu juga bisa memunculkan pertanyaan: ini, kan, film soal mengejar mimpi, tapi mimpi itu akhirnya tidak/belum bisa diraih?

Selepas kelulusan SMA, Michael (Ryan McLaughlin) ingin menjadi skater pro, meninggalkan Hollywood Utara dan melihat dunia. Sementara ayahnya ingin si anak berfokus pada tes demi masuk universitas atau sekalian mengikuti jejak dia, menjadi pekerja konstruksi. Prahara yang kerap terjadi.

Michael punya dua sohib, atau homies, yakni Jay (Nico Hiraga) si anak kaya dan Adolf (Aramis Hudson) yang menyadari masa depannya bukan di skateboarding—ya, nama salah satu karakternya Adolf. Saya lebih dulu mengetahui Aramis sebagai skater berkat klip dan video di internet. Toh, dengan materi yang bisa dibilang seadanya, penampilan dia sebagai aktor tidak kalah ketimbang sebagai skater.

Tetapi bukan chemistry di antara Michael, Jay, dan Adolf yang layak ditunggu sepanjang film berlangsung, melainkan kata-kata dan gestur macam apa yang bakal dikeluarkan sang ayah yang diperankan Vince Vaughn. Dia seolah berada di ambang ayah yang simpatik nan perhatian, tapi sekaligus tampak siap menampol kepala Michael kapan saja saat nasihatnya tak diindahkan.

Dalam film yang dimainkan-oleh-teman-teman (sebagian besar memang skater yang terkait dengan sutradara Mikey Alfred), kehadiran para aktor senior mampu menjadi pendongkrak kualitas, sedikit. Selain Vaughn, kehadiran Gillian Jacobs (yang namanya naik berkat seri komedi Community) pun turut mengangkat North Hollywood, kendati kemunculannya hanya barang beberapa menit demi mengingatkan sang karakter utama untuk tetap bekerja keras (ah, oke).

Dalam urusan menuju kedewasaan, kendati banyak selingan atau dialog dan konflik yang kurang maksimal, North Hollywood setidaknya menyelipkan detail-detail yang menarik, yang mampu mengingatkan pada realitas masa muda. Kita sangat mungkin pernah ditinggalkan (atau meninggalkan) teman-teman yang memilih menjalin hubungan dengan para cool guys. Kita juga barangkali pernah meninggalkan (atau ditinggalkan) teman-teman demi sang kekasih atau gebetan yang menyita seluruh perhatian.

Gebetan itu hadir pada diri Rachel (Miranda Cossgrove) dalam hubungannya dengan Michael yang suam-suam kuku. Sebelum Michael menghabiskan banyak waktunya bersama Rachel, bibit-bibit konflik hanya timbul-tenggelam. Awalnya malah tidak begitu kentara. Di sana hanya ada Adolf yang memasang muka masam tatkala Michael mendaratkan berbagai trik di skate park.

"Kapan aku pernah menyingkirkanmu?" tanya Adolf kepada Michael, bukan ketika mendaratkan trik, tapi ketika akhirnya konflik memuncak. Jika salah seorang homie mempertanyakan hal macam itu, tidak banyak hal yang bisa dilakukan selain, misalnya, ngaca.

"Kurasa kau tahu apa yang kau lakukan," kata ayah Rachel kepada si karakter utama menyoal pilihan hidupnya menjadi skater pro. Michael hanya menunduk. Mengetahui apa yang sebenarnya kita lakukan, pada umur berapa pun, adalah kemewahan. Adalah kedewasaan.

Infografik North Hollywood

Infografik North Hollywood. tirto.id/Quita

North Hollywood tampak lebih nyaman untuk perkara skateboarding sendiri. Ia memaparkan betapa sulitnya menjadi skater pro, bahkan di California, pusatnya skateboarding. Hanya ada kolam teramat kecil untuk ribuan, kalau bukan jutaan anak muda yang ingin memiliki pekerjaan tetap sebagai skater. Untuk mencapainya, kau bakal dihadapkan dengan politik. Kau harus bertemu dengan orang-orang yang tepat. Caper sana-sini. Punya deretan trik-trik terhebat saja tidaklah cukup.

Ada pula adegan ketika Adolf merendahkan para skater perempuan. Walaupun inklusivitas selalu diperjuangkan sebagai identitas skateboarding, perangai minus seperti seksis, sialnya, memang masih hidup dalam diri segelintir orang. Skater atau pun bukan.

Salah satu detail apik lainnya hadir dalam adegan ketika Michael bertemu para skater ikon seperti Andrew Reynolds dan Paul Rodriguez. Pada rangkaian pertemuan itu, Michael digambarkan starstruck dan berjarak dari para legenda⁠—cukup untuk menggambarkan betapa tingginya mimpi dia, jika kelak ia mampu menjadi skater sekaliber The Boss atau P-Rod.

Meskipun di lain sisi, bagi penonton yang tidak akrab dengan aksi-aksi Reynolds melakukan frontside flip dari pucuk tangga atau Rodriguez mendaratkan berbagai trik dari posisi switch sama baiknya dengan regular, adegan-adegan macam itu hanya menjadi klip-klip sekadar lewat.

Klip-klip skate juga diambil dengan layak. Sinematografer Ayinde Anderson membuat film ini tetap enak dilihat hingga akhir--meskipun filmnya sendiri rasanya tidak ke mana-mana, atau kelewat sering ke mana-mana, ketika ia kerap berpindah mengikuti polah anak muda California dari satu keseruan ke keseruan lainnya. Ia lebih menyerupai klip-klip yang dimampatkan dan ditambahkan cerita.

Saya menerima dengan lapang dada ketika pada akhirnya Michael baru sampai tahap mengalahkan ego dan memantapkan diri lebih lanjut dalam mengejar impian. Saya menghargai pilihan sutradara Mikey Alfred yang menyoroti kisah yang spesifik dan mendalami bagaimana susahnya menjadi skater pro.

Semesta Illegal Civ

Begitulah, kendati memuat detail-detail kecil yang mengena, tapi mereka tidak terasa merekat dengan sempurna. North Hollywood, sayangnya, tidak mampu melanjutkan apa yang ditampilkan pada trailernya. Saya cukup bersyukur baru menonton trailer itu sehabis menonton filmnya. Andai melakukan hal sebaliknya, sangat mungkin saya bakal menanti film yang tak hanya jenaka, tapi juga barangkali film soal skateboarding terbaik sejauh ini. North Hollywood bukan keduanya.

Mikey Alfred mengaku bahwa syuting film ini hanya memakan waktu sekitar satu bulan. "Satu-satunya alasanku membuat film ini, dengan harapan untuk menginspirasi orang-orang untuk mengejar apa pun yg mereka mau," ujar si sutradara.

Selain keterlibatan Mikey Alfred dalam memproduseri Mid90s, beberapa pemain dalam North Hollywood juga sebelumnya tampil dalam film debut Jonah Hill. Ryder McLaughlin, Sunny Suljic, Na-Kel Smith, dan Aramis Hudson yang tampil pada kedua film tercatat sebagai anggota skate crew Illegal Civilization, perusahaan clothing dan skateboard yang didirikan Mikey Alfred.

Saya memang terlebih dulu menyaksikan mereka pada skate film Illegal Civ yang berjudul Godspeed. Skate film (bukan film tentang skateboarding) arahan Davonte Jolly telah disaksikan tiga juta kali di Youtube sejak kemunculannya pada Natal 2020.

Selain para skater-cum-aktor di atas, skate film itu juga menampilkan para skater terbaik seperti Ishod Wair, Alex Midler, dan skater olympian Zion Wright. Godspeed menjadi semacam fenomena, ihwal skateboarding generasi terkini yang hype, tampak rileks, tapi tetap cadas. Skateboarding yang tidak melulu punk, emo, dan heavy metal—musik-musik 'khas skateboarding' yang juga tidak ditemukan dalam North Hollywood.

Sembari menanti Mikey Alfred membuat film seputar skateboarding lagi, saya akan memilih menonton ulang Godspeed ketimbang North Hollywood. Atau menyetel ulang Skate Kitchen dan Mid 90s. Atau sekalian, untuk kesekian kalinya menyaksikan dokumenter seperti Dogtown and Z-Boys (2001) dan biografi tim skate yang diperkuat Tony Hawk dan Rodney Mullen dalam Bones Brigade: An Autobiography (2012).

Mengacu pada perkataan seorang kawan pada awal tulisan ini, North Hollywood lagi-lagi menambah daftar film skateboarding yang bukan soal bagus-atau-tidaknya. Namun setidaknya, ia masih menjadi film yang bikin-pengin-main skate.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Windu Jusuf