Menuju konten utama

Perubahan Wajah Skateboarding, Olahraga Si Pemberontak

Skateboarding akan tampil di Olimpiade. Dampaknya banyak. Para pemainnya sekarang bisa disebut atlet, persepsi terhadapnya pun mungkin bakal berubah.

Perubahan Wajah Skateboarding, Olahraga Si Pemberontak
Seorang pekerja menyiapkan Ariake Urban Sports Park untuk skateboarding Olimpiade Tokyo 2020 di Tokyo, Jepang, Minggu (18/7/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon/hp/cfo

tirto.id - Skateboarding telah banyak berubah baik kemajuan maupun kemunduran, sejak para peselancar menyusuri trotoar California; sejak Rodney Mullen melakukan ollie pertama di tanah datar; dan sejak seri Tony Hawk's Pro Skater memeriahkan hari-hari jutaan anak di berbagai penjuru dunia.

Saat ini, berkat internet dan media sosial, ia hadir dalam klip-klip pendek yang membuat orang-orang di luar skena terpukau barang sejenak. Dari segi kultur, ia membuat orang-orang merasa gayanya meningkat sekian persen tatkala mengenakan kaos Thrasher dan Supreme.

Terbaru, skateboarding bersama selancar, karate, basket 3v3, freestyle BMX, dan sport climbing akan menjalani debut di parade olahraga terbesar di bumi, Olimpiade 2020, yang diselenggarakan di Tokyo, Jepang. Para skater yang secara intrinsik merupakan pemberontak kini beberapa di antaranya berstatus olympian.

Empat kategori akan dipertandingkan pada cabang olahraga (cabor) baru di ini: women's park, women's street, men's park, dan men's street. Sebanyak 80 atlet (setiap kategori diikuti 20 atlet) dari 22 negara turut serta.

Penyelenggara membagi rata jatah skater untuk seluruh benua. Tanpa itu, sangat mungkin seluruh kelas yang dipertandingkan mayoritas akan diisi skater dari tiga negara jagoan: Jepang, Amerika Serikat, dan Brasil.

Mereka yang Berkompetisi

Booming skateboarding di Jepang pada 2000-an telah melahirkan generasi skater andal yang semuanya berusia di bawah 24 tahun, sebagian bahkan masih 13-17. Nama-nama seperti Yuto Horigome, Misugu Okamoto, dan Aori Nishimura bahkan telah mempersembahkan emas dari berbagai kontes--yang juga menjadi ajang kualifikasi Olimpiade.

Tidak ada nama-nama skater andal peraih titel Thrasher 'Skater of the Year' (penghargaan tertinggi di ranah skateboarding) seperti Ishod Wair dan Jamie Foy dalam tim AS. Tiada pula nama-nama yang kerap dianggap sebagai skater terbaik masa kini seperti Mark Suciu yang membuat skateboarding tampak lebih nyeni, atau Milton Martinez yang aksi-aksinya bersinonim dengan kata 'gnarly'.

Namun, AS tetap dijagokan. Andalan AS dalam kelas men's street, Nyjah Huston, bakal ditemani skater yang tak hanya cakap, tapi juga konsisten dalam mengumpulkan poin dalam kontes seperti Jake Ilardi dan Jagger Eaton.

Begitulah, untuk mencapai kompetisi ini, menjadi jagoan jalanan nan gnarly saja tidak cukup. Kau harus konsisten mendapatkan poin terbanyak dari juri dalam kontes.

Brasil, yang dimotori Pamela Rosa dan Pedro Barros, seperti halnya AS, mengirimkan jumlah maksimal 12 skater untuk satu negara, atau tiga skater untuk setiap kategori.

Dengan jatah maksimal dan diperkuat oleh atlet-atlet terbaik, aman untuk mengatakan bahwa ketiga negara ini bakal bersaing satu sama lain untuk merebut predikat juara umum; menjadi negara skateboarding terkuat.

Di samping mereka, ada pula skater lain yang cukup mencuri perhatian. Sebut saja salah satu skate prodigy keturunan Jepang, Sky Brown, yang akan tampil sebagai atlet termuda dalam sejarah tim Britania Raya di Olimpiade. Usianya baru 13. Sedangkan skater tertua adalah Rune Glifberg, 46 tahun, asal Denmark. Namanya pasti akrab di telinga para pemain seri awal Tony Hawk's Pro Skater.

Infografik Skateboarding

Infografik Skateboarding. tirto.id/Quita

Berkompetisi di Olimpiade membuat para skater sahih disebut atlet. Dalam sebuah video, Red Bull menayangkan keseharian salah satu skater mereka, Gustavo Ribeiro, yang tak ubahnya atlet dari bidang olahraga yang lebih mapan. Skater asal Portugal itu latihan pada jam-jam yang telah ditentukan, mengonsumsi makanan dengan nutrisi yang terjaga, plus rutin mengunjungi fisioterapis.

Namun tetap saja menyebut para skater sebagai 'atlet' terasa janggal sebab banyak aspek lain dari skateboarding. Seperti yang dikatakan sang legenda, Tony Hawk, "Selain olahraga, terdapat gaya hidup, budaya, dan seni yang beririsan membentuk skateboarding. Dan kau dapat memilih bagian mana yang akan menjadi fokusmu."

Celana baggy yang gombrong hampir pasti bakal punah, berganti spandex atau seragam negara. Lantas, apa yang masih tertinggal dari kultur skateboarding? Setidaknya, camaraderie belum akan hilang.

Sikap pertemanan dalam persaingan sempat ditampilkan para skater Brasil saat memprotes keputusan juri yang memberikan nilai kelewat rendah untuk salah satu skater dari AS, Tom Schaar. Aksi para skater perempuan yang kerap berpelukan dan menyemangati satu sama lain juga besar kemungkinan bakal kembali terlihat di Tokyo, terlepas dari siapa pun yang bakal mencetak sejarah sebagai peraih medali pertama dalam sejarah skateboarding.

Berubah

Wajah skateboarding mungkin memang bakal selamanya berubah setelah kategori women's dan men's street digelar pada 25-26 Juli, lalu kategori women's dan men's park pada 4 dan 5 Agustus. Akan ada lebih banyak skater yang melatih dirinya sebagaimana atlet profesional demi medali dan besarnya nilai kontrak.

Merek-merek dagang besar juga akan terus mencoba untuk mencari profit dari mereka, hal yang sebenarnya telah terjadi. Nike dan Adidas, misalnya, telah lama mengambil keuntungan dari jualan label 'pemberontak' para skater. Merek-merek minuman berenergi seperti Red Bull dan Monster juga lazim terpajang di skate park, arena kontes, hingga atribut yang dikenakan skater.

Di sisi lain, ekspos luas bisa bermuara pada pembagian uang kontrak yang lebih merata untuk para atlet di luar AS dan Eropa. Efek Olimpiade juga mungkin dapat turut menambah perhatian pada berbagai organisasi skateboard nonprofit yang ditujukan untuk membantu anak-anak dan golongan kurang beruntung seperti Skateistan, Women Skate of the World, atau di Indonesia: Mini Rocks DIY.

Olimpiade juga berpotensi menggiring lebih banyak lagi orang untuk menjejakkan kaki ke skateboard. Persepsi masyarakat yang antipati pun, barangkali, bisa berubah ke arah positif. Lebih banyak lagi pemilik properti yang membiarkan para skater memanfaatkan pagar, dinding, dan langkan pada bangunan mereka menjadi arena mendaratkan trik, tak hanya berakhir sebagai dekorasi.

Para pengambil kebijakan juga mungkin tergerak menjadi bijak betulan dengan menyediakan lebih banyak ruang terbuka. Kita mungkin bakal mendapatkan lebih banyak skate park atau lapangan datar terbuka yang mulus untuk mulai belajar meluncur di atas skateboard. Agar bisa seperti Sky Brown, seperti Yuto Horigome. Atau kembali mempelajari ollie setelah berusia 30 tahun, dan yang terpenting, bersenang-senang di atas skateboard.

Kalau bukan untuk itu semua, lalu apa lagi?

Baca juga artikel terkait SKATEBOARDING atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Olahraga
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Rio Apinino