tirto.id - Pada hari-hari yang hangat di California Amerika Serikat tahun 1950-an, para peselancar mulai memasang empat roda roller skate ke sehelai papan atau seonggok kayu demi bisa merasakan sensasi meluncur di daratan. Kelak, 'selancar trotoar' tak lagi jadi sekadar mainan cadangan tatkala ombak sedang kurang mantap. Ia menemukan jati dirinya sendiri, dan terus berubah.
Skateboarding mengalami pasang surut popularitas, baik sebagai aktivitas maupun fenomena kultural. Dia menjadi pelarian bagi banyak anak muda AS. Sementara di Brasil, selain sepak bola, skateboarding-lah yang jadi alternatif anak-anak muda selain bergabung dalam gangster dan kelompok kriminal.
Citra Skateboarding juga terus bertransformasi. Pada akhir 1960-an, meluncur di atas seonggok kayu beroda perlahan diasosiasikan dengan agresi dan dianggap kegiatan radikal berkat Zephyr Team (Z-boys) di area Dogtown, Santa Monica, yang beranggotakan para pionir macam Stacy Peralta dan Tony Alva. Kesuksesan dari kontes ke kontes mengantarkan mereka diperlakukan bak rockstar.
Alan Gelfand mendaratkan ollie pertama di kolam renang kosong pada akhir 1970-an. Era 1980-an, Rodney 'The Godfather of Street Skating' Mullen mendaratkan trik serupa untuk pertama kalinya di tanah datar sekaligus menemukan puluhan trik baru yang menjadi fondasi skateboarding modern. Tony Hawk, skater yang mungkin paling terkenal berkat gim PlayStation, bertukar trik dengan Mullen dan menerapkannya secara vertikal. Natas Kaupas dan Mark 'Gonz' Gonzalez lantas melakukan trik-trik di atas pegangan tangga dan ragam arsitektur perkotaan.
Berkat dua orang yang disebut terakhir, selepas kolam renang kosong dan vertical ramp, skateboarding menemukan rumahnya yang lain: di jalanan. Di mana pun para skater berada, mereka merampas balik ruang publik. Gaya bermain yang agresif dan 'mengganggu' menjadikan para skater termarjinalkan jika dibandingkan pengendara sepeda, skuter, dan roller blade. Mereka memperoleh status yang serupa dengan para anarko dan anak punk. Para peselancar trotoar tak ubahnya outcast alias orang-orang perusak tanpa masa depan yang ditolak kehadirannya oleh masyarakat.
Siapa nyana, aktivitas seperti ini bakal hadir untuk kali pertama di parade olahraga terbesar di muka bumi, Olimpiade 2020 Tokyo, lebih dari setengah abad sejak aksi coba-coba para peselancar California. Selancar, karate, basket 3v3, freestyle BMX, dan sport climbing juga untuk kali pertama dilombakan.
Peraturan untuk Olahraga Tanpa Peraturan
"Siapa sih yang bikin peraturan untuk skateboarding?" komplain Mike Vallely pada suatu kontes. Orang ini sudah meluncur dengan aturan-aturan yang ia bikin sendiri sejak 1980-an.
Kompetisi seperti X Games dan SLS membuat skateboarding menjadi perkara yang bisa dinilai dengan angka. Bahwa trik seperti switch inward heelflip pantas diganjar poin lebih besar ketimbang boneless-nya Mike V, misalnya, dan bahwa skater yang satu pantas memperoleh predikat lebih baik dari yang lain. Ini bukan permainan yang kompetitif. Siapa pula yang peduli soal aturan? Sifat kompetitif bahkan menjadi indikasi bahwa seseorang bukanlah skater yang otentik.
Namun, itulah yang terjadi saat ini.
Tanpa skor yang bisa dihitung mutlak, kontes bertumpu pada penilaian juri. Para juri akan menilai dari berbagai kriteria: kesulitan, flow (seberapa mengalir pergerakan seorang skater), seberapa besar dan sulitnya rintangan di mana mereka mendaratkan trik, dan sebagainya.
Atlet yang bakal bertanding nanti tahu perkara ini. Skater Kanada, Andy Anderson, mengatakan bahwa ia dihinggapi dilema moral. Keikutsertaannya di Tokyo adalah demi membantu menyebarkan kreativitas yang bisa ditampilkan melalui skateboard, bukan bersaing demi emas. Sayangnya, rencana itu pun dapat tempat yang amat sempit. Hanya akan ada delapan skater (para finalis) yang bakal ditayangkan di TV. Anderson harus terlebih dulu menyisihkan skater lain sebelum dapat memamerkan kreativitas di atas papan kepada dunia.
Seperti kontes-kontes skate yang mendahuluinya, Olimpiade jelas bakal memunculkan kontroversi. Apakah itu soal trik mana yang seharusnya diberi poin lebih besar; atau tudingan favoritisme yang menerpa juri—yang kerap dianggap memberikan nilai lebih untuk para skater yang disponsori merek-merek besar.
Olimpiade yang Butuh Skateboarding
Tony Hawk menyatakan bahwa pada dasarnya "Olimpiade lebih butuh skateboarding ketimbang sebaliknya." Pernyataannya tak mengherankan jika melihat bagaimana olahraga ini menarik minat korporasi besar yang merasa bahwa berinvestasi di sana bakal mendatangkan keuntungan di kemudian hari.
Dua apparel olahraga terbesar dunia, Nike dan Adidas, misalnya, telah jauh-jauh hari mengambil keuntungan dari jualan label 'pemberontak' para skater. Merek-merek minuman berenergi seperti Red Bull dan Monster juga lazim terpajang di skate park, arena kontes, hingga atribut yang dikenakan skater.
Para skater muda yang bukan main berbakat sudah 'ketempelan' merek sejak dini pada setiap kemunculannya di Instagram, video parts, dan kontes—bagaikan papan iklan yang meluncur dan ngetrik. Dan puncak dari segala korporatisasi dan ragam kontes skate yang dibenci sebagian skater hingga detik ini tentunya berkompetisi di Olimpiade; menjadi olympian.
Sebagian skater dan penikmat skate masih beranggapan bahwa para skater kontes tak ubahnya robot. Fokus mengumpulkan poin tertinggi tatkala dibalut deretan logo sponsor dengan tujuan menjadi lebih baik dari yang lain? Tidak ada 'jiwa skateboarding' di sana, pikir mereka. Sisanya pasrah dan menilai skateboarding memang sudah berubah. Mereka berargumen, tanpa iklan sulit bikin dapur tetap ngebul. Belum lagi jika menghitung biaya pengobatan cedera ini-itu.
Para skater profesional harus menerima merek-merek sepatu, minuman energi, dan supermarket (ada skater yang helmnya ditempeli stiker Lawson) demi hidup yang layak dan tubuh yang tetap utuh usai ribuan kali terjatuh.
Seorang legenda skate, Bob Burnquist, sempat menolak Olimpiade namun akhirnya menyadari bahwa perubahan tak terhindarkan. Menurutnya jika perubahan itu harus hadir saat ini, paling tidak ia mesti dikawal oleh "orang-orang skate" itu sendiri, seperti dia dan Tony Hawk. Bob bakal memimpin tim skate Brasil untuk berlaga di Tokyo, sementara Tony, skater pertama yang mendaratkan trik The 9005, memilih untuk terlibat sebagai koresponden di Tokyo.
Apa pun kontroversinya, skateboarding tiba di waktu yang tepat di Olimpiade. Pandemi telah membawa lebih banyak lagi orang-orang ke aktivitas yang bisa dilakukan seorang diri ini, entah itu mulai belajar meluncur tanpa terjatuh atau kembali belajar ollie setelah meninggalkannya bersama masa muda.
Booming skateboarding di Jepang juga membawa berkah untuk tuan rumah. Para skater Jepang punya peluang besar meraup medali pada tiga dari empat kategori yang dipertandingkan.
Akhirnya, skateboarding boleh lahir di California, tetapi rumah barunya bisa berdiri di Tokyo atau di Rio.
Editor: Rio Apinino