Menuju konten utama

Berapa Batasan Usia Nonton Film G30S & Apa Boleh untuk Anak?

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI sempat dilarang sejak 1998. Namun kini film itu kembali tayang di TV. Lantas, apakah film ini aman untuk anak?

Berapa Batasan Usia Nonton Film G30S & Apa Boleh untuk Anak?
Film-Film Indonesia yang diproduseri G.Dwipajana. FOTO/Istimewa

tirto.id - Film G30S masih ditayangkan sejumlah stasiun televisi swasta pada hari ini, Selasa (30/9/2025). Namun, apakah film ini boleh ditonton anak-anak dan berapa batasan usia penonton film ini sesuai hasil sensor?

Usai kewajiban menonton film G30S dihentikan pada 1998, film ini kembali ditayangkan sejumlah stasiun televisi setiap tahunnya sejak 2017 lalu.

Kini, pada 30 September 2025, film berjudul lengkap Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI itu masih ditayangkan oleh Trans7 pada pukul 22.45-03.30 WIB.

Sejak lama, muatan yang dinarasikan dalam film tersebut dikritik banyak pihak, sehingga dianggap tidak cocok ditonton anak-anak.

Alasan itu pula yang mendasari pemerintah sempat menghentikan kewajiban menonton film G30S bikinan Pusat Produksi Film Negara (PPFN) itu pada 1998 silam.

Batasan Usia Nonton Film G30S, Tidak Direkomendasikan untuk Anak-anak?

Sudah sejak lama film G30S yang disutradarai Arifin C. Noer tersebut dikritik karena muatan yang dianggap tidak cocok dengan kondisi psikologis anak. Belakangan film ini kembali muncul di televisi, meski sempat tidak ditayangkan secara terbuka sejak 1998.

Penayangan kembali film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI di televisi pasca-Reformasi sempat dikritik oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 2024 lalu.

Pada 2 September 2024, KontraS sempat membuat surat terbuka kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk bertindak atas penayangan film itu di televisi.

Dalam surat itu, KontraS menyatakan beberapa alasannya, termasuk ketidakakuratan narasi film dengan sejarah, juga adegan kekerasan yang tidak cocok ditonton anak-anak.

KontraS, lewat surat itu, menjelaskan bahwa ketidakakuratan narasi film dengan fakta sejarah dapat dilihat dalam adegan penyiksaan para jenderal yang dilebih-lebihkan sehingga tidak sesuai dengan hasil visum tim dokter kala itu.

Narasi yang keliru tersebut dikhawatirkan dapat melanggengkan kebencian dan rasa takut yang keliru.

Sementara itu, adegan-adegan kekerasan seperti penyiksaan para jenderal tersebut juga dikhawatirkan dapat menyebabkan trauma dan mendorong normalisasi kekerasan ketika ditonton anak-anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), juga sejak lama menyarankan agar film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI tidak ditonton anak-anak.

Sebagaimana diberitakan Antara (20/9/2017), Ketua KPAI pada 2017, Susanto, telah mewanti-wanti potensi dampak adegan sadistik dalam film tersebut dapat memengaruhi psikologi anak-anak yang belum matang.

"Setiap anak memiliki ragam tingkat kematangan psikologis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga tingkat respon anak satu dengan yang lainnya terhadap film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI juga berbeda," kata Susanto kala itu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2017, Muhadjir Effendy, juga pernah menyatakan film G30S bukan konsumsi anak-anak karena adegan sadistik dan kekerasan yang ada di dalamnya.

Sebagaimana diberitakan Tirto pada 29 September 2017 silam, Muhadjir kala itu menyampaikan hal tersebut di tengah polemik pemutaran kembali film G30S di sekolah.

Muhadjir kala itu menyitir hasil keputusan Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia terkait batasan usia penonton yang disarankan untuk film tersebut, yakni 13 tahun ke atas.

"Jadi yang boleh menonton film itu adalah anak-anak yang usianya mulai dari 13 tahun ke atas. Selain dari itu dilarang," katanya pada 2017 silam.

Oleh karenanya, Muhadjir menyatakan bahwa anak usia SD dan awal SMP tidak diperbolehkan untuk menonton film tersebut.

"Apalagi anak-anak kita yang masih SD. Itu sangat dilarang," jelasnya kala itu.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Rizal Amril Yahya

tirto.id - Film
Kontributor: Rizal Amril Yahya
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Dicky Setyawan