Menuju konten utama
GWS

Benarkah Mengupil Menyebabkan Alzheimer?

Alzheimer merupakan penyakit lupa dengan faktor penyebab yang kompleks. Lalu, tiba-tiba bermunculan warta yang menyebut penyebabnya adalah mengupil.

Benarkah Mengupil Menyebabkan Alzheimer?
Ilustrasi bahaya mengupil. foto/istockphoto

tirto.id - Jika Anda punya kebiasaan mengorek hidung alias mengupil, itu berarti Anda adalah bagian dari mayoritas. Pada 1995, ada sebuah studi yang mengungkapkan bahwa 91 persen populasi dunia suka mengorek hidung.

Kini, tiga puluh tahun telah berlalu sejak temuan itu dipublikasikan. Jika dilakukan sekarang, studi tersebut mungkin akan menghasilkan angka berbeda. Akan tetapi, satu hal yang pasti, mengorek hidung adalah sesuatu yang sangat lazim dilakukan.

Itulah alasan, ketika pada 11 Agustus 2025 sejumlah media, termasuk di antaranya ScienceAlert, Times of India, dan Yahoo! News, menerbitkan artikel yang mengaitkan kebiasaan korek hidung dengan penyakit Alzheimer, alarm dalam tiap-tiap kepala bakal menyalak dengan begitu bisingnya.

ScienceAlert menulisnya dengan nada hati-hati, menyoroti kemungkinan jalur infeksi dari rongga hidung menuju otak, tempat bakteri dapat memicu proses biologis terkait Alzheimer.

Times of India lebih menekankan mekanisme spesifik: bakteri Chlamydia pneumoniae dapat menembus saraf penciuman dan memicu pembentukan plak amyloid yang merupakan salah satu ciri utama Alzheimer.

Sementara itu, Yahoo! News memperluas pembahasan dengan mengaitkan jalur infeksi tersebut dengan peran neuroinflamasi, yang kini dianggap penting dalam memahami perkembangan Alzheimer.

Mendengar hal sepele dikaitkan dengan penyakit serius tentu bakal membuat siapa pun ketakutan. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa sebenarnya artikel-artikel tersebut hanya mendaur ulang berita usang, padahal faktanya tidaklah sesederhana yang mereka sampaikan?

Bermula dari Riset 2022

Kabar tersebut berakar pada penelitian Griffith University yang terbit di jurnal Scientific Reports pada Oktober 2022, dipimpin oleh Prof. James St John dan timnya di Clem Jones Centre for Neurobiology and Stem Cell Research. Mereka meneliti jalur biologis yang memungkinkan bakteri pernapasan memasuki otak, dan dampaknya terhadap jaringan saraf.

Menggunakan model tikus, para peneliti menyuntikkan bakteri Chlamydia pneumoniae ke rongga hidung hewan percobaan. Hasilnya, hanya dalam 72 jam bakteri tersebut sudah terdeteksi di beberapa area otak, termasuk korteks olfaktorius dan hipokampus—dua wilayah yang berperan penting dalam memori dan penciuman. Lebih dari itu, mereka menemukan adanya pembentukan plak amyloid-β di jaringan otak yang merupakan salah satu ciri khas penyakit Alzheimer.

Faktor kunci yang diamati adalah kondisi lapisan epitel di dalam hidung. Tikus yang mengalami kerusakan pada lapisan tersebut—secara teoretis bisa terjadi akibat cedera ringan seperti mengorek hidung—memiliki beban bakteri lebih tinggi di otak dibanding tikus dengan lapisan hidung utuh.

Tim peneliti menekankan, temuan itu tidak membuktikan bahwa kebiasaan korek hidung menyebabkan Alzheimer pada manusia. Namun, mereka menilai hasilnya cukup untuk mengusulkan jalur infeksi hidung–otak sebagai area riset penting untuk memahami bagaimana infeksi pernapasan dapat memicu neurodegenerasi.

Meski begitu, pada akhir 2022, temuan tersebut dengan cepat diangkat oleh berbagai media dan sering kali disederhanakan menjadi headline yang berlebihan. Seolah-olah hobi mengorek hidung pada manusia “terbukti” menjadi penyebab Alzheimer.

Riset pada Hewan Tak Bisa Langsung Digeneralisasi

Tak lama setelah publikasi studi tersebut, yang diamplifikasi secara asal oleh media massa, Royal Australian College of General Practitioners (RACGP) merilis tanggapan resmi melalui laman newsGP.

Dalam pernyataannya, para ahli menegaskan bahwa temuan pada hewan tidak dapat langsung digeneralisasi ke manusia, terutama untuk penyakit kompleks seperti Alzheimer.

Mereka menyoroti dua poin penting. Pertama, Alzheimer adalah kondisi yang berkembang selama bertahun-tahun sehingga tidak mungkin dimodelkan sepenuhnya pada tikus dalam periode singkat, misalnya hanya 28 hari. Kedua, keberadaan plak amyloid-β di otak tikus belum cukup untuk membuktikan bahwa mekanisme yang sama akan memicu penyakit pada manusia.

Para dokter juga memperingatkan media agar tidak menyederhanakan hasil penelitian menjadi klaim sebab-akibat yang pasti. Menurut mereka, publik harus memahami perbedaan antara indikasi biologis dan bukti klinis.

Ilustrasi Ngupil

Ilustrasi Ngupil. foto/istockphoto

Setahun setelah penelitian Griffith University ramai dibicarakan, sekelompok peneliti dari Australia dan Eropa menerbitkan tinjauan ilmiah di jurnal Biomoleculespada Oktober 2023. Tidak seperti studi Griffith yang bersifat eksperimental, publikasi ini merupakan tinjauan komprehensif yang menggabungkan temuan dari berbagai penelitian sebelumnya terkait bakteri Chlamydia pneumoniae, jalur saraf penciuman, dan patologi Alzheimer.

Para penulis menelaah bukti dari tiga tingkat penelitian: studi hewan yang menunjukkan bakteri dapat mencapai otak melalui rongga hidung, studi in vitro yang mendemonstrasikan kemampuan bakteri menginfeksi sel saraf dan memicu reaksi inflamasi, serta data klinis dan post-mortem manusia yang kadang menemukan DNA C. pneumoniae di otak penderita Alzheimer. Meski demikian, bukti dari manusia belum mampu membuktikan apakah bakteri itu berperan sebagai penyebab atau hanya ditemukan bersamaan dengan penyakit.

Dalam analisisnya, para peneliti menilai jalur infeksi melalui saraf penciuman plausibel secara biologis, terutama apabila lapisan mukosa hidung mengalami kerusakan yang dapat membuka jalan masuk bagi patogen. Kebiasaan seperti mengorek hidung secara agresif dianggap berpotensi meningkatkan risiko, tetapi itu pun masih berada pada tingkat hipotesis.

Mereka juga menegaskan bahwa Alzheimer adalah penyakit multifaktor. Interaksi antara faktor genetik, lingkungan, dan gaya hidup, jauh lebih kompleks daripada satu jalur infeksi tunggal.

Kesimpulan utama dari tinjauan komprehensif tersebut adalah perlunya penelitian longitudinal pada manusia, yakni pemantauan jangka panjang terhadap ribuan partisipan untuk mencatat kebiasaan, kesehatan saluran hidung, riwayat infeksi, serta perkembangan fungsi kognitif. Dengan pendekatan seperti itu, hubungan sebab-akibat yang sebenarnya dapat diverifikasi atau dibantah.

Jangan Hanya Baca Judul, Pahami Baik-baik

Gelombang pemberitaan pada 11 Agustus 2025 tidak berdiri di ruang hampa. Ketiga media tersebut mengangkat kembali temuan Griffith University dari 2022, tetapi kali ini mengaitkannya dengan hasil tinjauan Biomolecules pada 2023. Ulasan tersebut, meski tidak menemukan bukti pasti, memberikan legitimasi tambahan pada narasi bahwa jalur infeksi dari hidung ke otak layak diteliti lebih lanjut.

Dengan adanya publikasi ilmiah yang lebih baru, media menemukan alasan untuk menyegarkan isu lama yang sebelumnya sempat tenggelam setelah peringatan dari para ahli. Hanya saja, seperti dua tahun lalu, risiko penyederhanaan dan sensasionalisasi tetap besar. Judul-judul yang menonjolkan korek hidung sebagai pemicu Alzheimer masih beredar luas, meskipun isi penelitian sebenarnya jauh lebih hati-hati dan sarat catatan.

Fenomena itu menunjukkan bahwa penelitian ilmiah yang masih bersifat eksploratif dapat berulang kali menjadi bahan berita, terutama ketika ada pembaruan literatur yang memberi sedikit “bahan bakar” bagi narasi lama. Dalam kasus ini, kaitan antara kebiasaan sederhana dan penyakit degeneratif mematikan menjadi kombinasi yang sulit diabaikan oleh media, meski bukti definitifnya masih jauh dari pasti.

Kisah ini seharusnya menjadi pengingat penting tentang cara informasi ilmiah bergerak dari laboratorium ke ruang redaksi, lalu ke linimasa media sosial, dan bahwa makna awalnya bisa bergeser di setiap tahap.

Kebiasaan mengorek hidung memang menyimpan bahaya tersendiri, mulai dari risiko infeksi, kerusakan rongga hidung, sampai mimisan. Namun, bukan berarti itu semua langsung bisa dikaitkan dengan penyakit seserius Alzheimer. Maka, sampai bukti kuat dari studi pada manusia tersedia, klaim ini sebaiknya diperlakukan sebagai peringatan yang bersifat sementara, bukan vonis pasti.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - GWS
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin