tirto.id - Pakubuwana dan Mangkunegara merupakan pemimpin istana di Jawa. Keduanya memiliki banyak perbedaan meski sama-sama memiliki istana di Kota Solo. Namun keduanya juga masih memiliki garis keturunan yang sama sebagai 2 dari 4 pecahan Kerajaan Mataram Islam.
Susuhunan Pakubuwana merupakan raja dari Keraton Kasunanan Surakarta atau juga dikenal sebagai Keraton Solo. Sementara, Mangkunegara ialah adipati dari Pura Mangkunegaran di Solo.
Secara sekilas, Pakubuwana dan Mangkunegara terlihat cukup identik, terlebih letak istana kedua pemimpin itu hanya dibedakan jarak sekitar 2 km saja. Pun secara pakaian hingga kebudayaan, Kasunanan dan Mangkunegaran memiliki banyak persamaan.
Namun tentu saja, Kasunanan dan Mangkunegaran memiliki banyak perbedaan, baik secara penyebutan maupun kedudukan. Apa saja perbedaannya dan bagaimana sejarahnya?
Sejarah Pakubuwana di Keraton Solo & Mangkunegara di Pura Mangkunegaran
Dilihat dari sejarahnya, Keraton Solo lahir lebih dulu ketimbang Pura Mangkunegaran. Bahkan, Keraton Solo merupakan kerajaan tertua dari 4 pecahan Mataram Islam, termasuk Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Keraton Solo awalnya merupakan pusat Mataram Islam sejak diresmikan pada 20 Februari 1745 oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II. Saat itu, Pakubuwana II memindahkan pusat kerajaan dari Kartasura (saat ini masuk Sukoharjo) ke Desa Solo (Sålå), setelah keraton sebelumnya rusak karena peristiwa Geger Pecinan.
Sejak Boyong Kedhaton itu pula, PB II mendeklarasikan nama Surakarta Hadiningrat, yang sampai saat ini juga masih digunakan sebagai nama administratif alias nama resmi dari Kota Solo.
Namun, keberadaan Keraton Solo sebagai satu-satunya pusat Mataram Islam hanya bertahan tak lebih dari 1 dasawarsa. Pada 1755 lewat Perjanjian Giyanti, Mataram Islam pecah menjadi 2 bagian, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta setelah Perjanjian Giyanti tersebut dipimpin Sunan PB III, yang notabene merupakan anak dari Sunan PB II. Sedangkan, Yogyakarta dipimpin adik dari PB II, Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana I.
Namun Perjanjian Giyanti yang mulanya merupakan upaya VOC untuk mendamaikan perebutan takhta Mataram antara PB III dan Mangkubumi, ternyata tak sepenuhnya memuaskan semua pihak. Sebab masih ada 1 sosok lain yang masih mengancam VOC dan keberadaan raja-raja Jawa, yakni Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.
Pangeran Sambernyawa sebelumnya merupakan sekutu Mangkubumi saat menentang VOC dan Mataram. Namun adanya Perjanjian Giyanti, membuat Sambernyawa berjuang sendirian untuk melawan 3 kekuatan sekaligus, yakni Kasunanan, Kasultanan, dan VOC.
Singkatnya, melalui upaya pendekatan, Pangeran Sambernyawa mengiyakan tawaran dan diberikan kekuasaan. Kemudian, lewat Perjanjian Salatiga 1757, Sambernyawa berhak bertakhta di Pura Mangkunegaran dan mendapatkan separuh wilayah kekuasaan Keraton Solo.
Dari Perjanjian Salatiga itu pula, lahirlah Kadipaten Mangkunegaran yang merupakan pecahan ke-3 Mataram Islam. Mulanya, MN I hanya berhak atas tanah lungguh, sebelum akhirnya dapat diwariskan ke keturunan-keturunan Sambernyawa.
Ditarik dari silsilahnya, para pendiri Keraton Solo, Keraton Yogya, dan Pura Mangkunegaran memiliki garis keturunan sama dari Amangkurat IV.
Pendiri Keraton Solo yakni PB II dan pendiri Keraton Jogja yaitu HB I, sama-sama merupakan anak dari Amangkurat IV. Sedangkan MN I merupakan cucu dari Amangkurat IV, lewat garis keturunan sang ayah yaitu Pangeran Arya Mangkunegara.
Berikut ini silsilah Mataram Islam hingga ke Pakubuwana, Hamengkubuwana, dan Mangkunegara:
- Danang Sutawijaya/Panembahan Senapati 1586-1601
- Raden Mas Jolang Anyakrawati 1601-1613 (anak dari Panembahan Senapati)
- Sultan Agung Anyakrakusuma 1613-1645 (anak dari Anyakrawati)
- Susuhunan Amangkurat I 1646-1677 (anak dari Sultan Agung)
- Susuhunan Amangkurat II 1677-1703 (anak dari Amangkurat I)
- Susuhunan Amangkurat III 1703-1705 (anak dari Amangkurat II)
- Susuhunan Pakubuwana I 1704-1719 (anak dari Amangkurat I)
- Susuhunan Amangkurat IV 1719-1726 (anak dari Pakubuwana I)
- Susuhunan Pakubuwana II 1726-1742 (anak dari Amangkurat IV)
- Susuhunan Amangkurat V 1742-1743 (cucu dari Amangkurat III)
- Susuhunan Pakubuwana II 1745-1749 (anak dari Amangkurat IV)
- Susuhunan Pakubuwana III 1749-1788 (anak dari Pakubuwana II)
- Susuhunan Pakubuwana III di Surakarta 1749-1788 (anak dari Pakubuwana II atau cucu Amangkurat IV) dan seterusnya hingga PB XIII
- Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta 1755-1792 (anak dari Amangkurat IV) dan seterusnya hingga HB X
- Mangkunegara I di Mangkunegaran 1757-1795 (cucu dari Amangkurat IV) dan seterusnya hingga MN X
Daftar Perbedaan Pakubuwana di Keraton Solo & Mangkunegara di Pura Mangkunegara
Berikut ini daftar perbedaan Pakubuwana di Keraton Solo dan Mangkunegara di Pura Mangkunegara:
1. Penyebutan Raja Keraton Solo dan Adipati Pura Mangkunegara
Sejak awal terbentuk melalui Perjanjian Salatiga 1757, Pura Mangkunegaran dipimpin oleh pangeran miji yang mempunyai status setingkat dengan raja-raja Jawa seperti Pakubuwana di Keraton Solo atau Hamengkubuwana di Keraton Yogyakarta.Kendati begitu, sebutan pemimpin Kadipaten Mangkunegaran bukanlah raja, melainkan adipati. Pun, pemimpin Pura Mangkunegaran tidak menyandang gelar susuhunan (sunan) atau sultan. Gelar yang disandang pemimpin Pura Mangkunegaran ialah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara.
Sebaliknya, Keraton Solo dipimpin oleh raja yang menyandang gelar susuhunan. Gelar panjangnya ialah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Pakubuwana.
2. Penyebutan Istana: Keraton dan Pura
Mangkunegara dan Pakubuwana bertakhta di istana dengan sebutan berbeda. Istana Pakubuwana ialah Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo, sedangkan Mangkunegara berkedudukan di istana Pura Mangkunegara.Melalui Perjanjian Salatiga, Mangkunegara juga punya aturan ketat dalam pendirian istana. Salah satu aturan itu, pemimpin Pura Mangkunegara tidak diperkenankan memiliki alun-alun dengan sepasang beringin kembar.
Lain halnya dengan sunan di Solo dan sultan di Jogja yang memiliki keraton dengan 2 alun-alun (utara dan selatan) serta beringin kembar.
Di Perjanjian Salatiga itu pula, Mangkunegara diatur tidak boleh memiliki balai witana alias balai untuk menghadap raja. Pemimpin Pura Mangkunegaran juga tidak diperbolehkan duduk di singgasana layaknya sultan atau sunan.
Namun, pemimpin Pura Mangkunegara tetap berhak untuk menggelar acara penobatan raja dengan segala perlengkapannya. Kemudian yang menjadi pembeda dari penobatan adipati di Mangkunegara dan sunan di Solo ialah tradisinya.
Penobatan raja di Solo diiringi dengan tarian Bedhaya Ketawang yang merupakan peninggalan Sultan Agung dari Mataram. Sedangkan, penobatan adipati Mangkunegara diiringi tarian Bedhaya Anglir Mendhung yang diciptakan Pangeran Sambernyawa.
3. Kedudukan Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran
Secara kedudukan, Pakubuwana dari Keraton Solo dan Mangkunegara dari Pura Mangkunegara, sama-sama tidak memiliki kekuasaan politik sejak Indonesia merdeka. Pasalnya, status swapraja di Solo sudah dibekukan pemerintah.Lain halnya di Yogyakarta saat 2 pemimpin lokalnya (sultan di Yogyakarta dan adipati di Pakualaman) berhak atas jabatan sebagai gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Diatur bahwa kedudukan Yogyakarta setingkat dengan provinsi.
Namun sebelum Indonesia merdeka, ke-4 pecahan Mataram Islam ini merupakan kerajaan/kadipaten yang memerintah sendiri. Di masa kolonial Belanda, wilayah pecahan Mataram tersebut dikenal sebagai De Vorstenlanden.
4. Wilayah Kekuasaan di Masa Lalu
Seluruh wilayah kekuasaan Pakubuwana dan Mangkunegara saat ini diintergrasikan ke dalam Provinsi Jawa Tengah melalui UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah.Keseluruhan wilayah kekuasaan Pakubuwana dan Mangkunegara sebelum kemerdekaan RI mencakup eks Karesidenan Surakarta atau Soloraya yaitu Kota Solo, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten, serta sejumlah enklave yang saat ini masuk ke dalam Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rinciannya, wilayah kekuasaan Pakubuwana itu mencakup sebagian Kota Solo, Sukoharjo, Sragen, Boyolali, Klaten, serta wilayah enklave Kotagede dan Imogiri (saat ini masuk DIY). Sedangkan Mangkunegaran mencakup sebagian Solo (Banjarsari, serta sebagian Jebres dan Laweyan), Karanganyar, Wonogiri, hingga enklave di Ngawen dan Semin (saat ini Gunungkidul, DIY).
5. Tempat Pemakaman Pakubuwana dan Mangkunegara
Perbedaan berikutnya ialah tempat pemakaman raja/adipati. Raja Solo dimakamkan di Astana Pajimatan atau kompleks makam raja-raja Mataram Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Makam Pajimatan Imogiri sendiri sudah ada sejak era Sultan Agung. Raja-raja dari Keraton Solo dan Yogyakarta juga dimakamkan di Imogiri.Sebaliknya, adipati Mangkunegara yang mangkat tidak dimakamkan di Imogiri, melainkan di beberapa tempat seperti Astana Mangadeg (Karanganyar), Astana Girilayu (Karanganyar), dan Astana Oetara (Solo).
Editor: Iswara N Raditya
Masuk tirto.id


































