tirto.id - Negara-negara Barat, mitra dekat Israel, satu demi satu mengambil posisi bersiap mengakui Palestina. Angin perubahan menguat usai Prancis dan Arab Saudi menggagas Konferensi Tingkat Tinggi Internasional tentang Solusi Dua Negara di New York, 28-30 Juli 2025.
Sikap Prancis juga ditegaskan sebelumnya oleh Presiden Emmanuel Macron, 24 Juli lalu. Kala itu dia menyatakan akan secara resmi mengakui Palestina pada sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, September mendatang.
Beberapa hari usai Macron menyatakan sikap Prancis, giliran Perdana Menteri (PM) Inggris, Keir Starmer, ikut menyatakan bahwa Inggris juga akan mengakui Palestina apabila Israel tak mengupayakan gencatan senjata di Gaza. Teranyar, PM Kanada, Mark Carney, pada Rabu (30/7), menyusul langkah serupa Inggris dan Prancis.
Carney menyebutkan, pendekatan lama proses perdamaian yang dinegosiasikan tidak lagi realistis. Krisis kemanusiaan di Gaza memburuk dan terjadinya ekspansi pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat semakin gencar.
Keputusan Kanada dinilai akan mengacu komitmen Otoritas Palestina untuk melaksanakan reformasi dan pemilu pada 2026.
"Kanada telah lama berkomitmen pada solusi dua negara – sebuah negara Palestina yang merdeka, layak, dan berdaulat yang hidup berdampingan dengan Negara Israel dalam perdamaian dan keamanan,” kata Carney dalam keterangan resmi, Rabu (30/7).
Seperti yang sudah diprediksi, pejabat hingga politisi Israel, di bawah kekuasaan PM Benjamin Netanyahu tampak berang dengan situasi kali ini. Menanggapi Kanada, Menteri Luar Negeri Israel menolak pengumuman Carney soal rencana pengakuan negara Palestina.
Dan lagi-lagi seperti yang bisa diprediksi, Hamas menjadi narasi lama yang digaungkan oleh Israel sebagai pihak yang akan diuntungkan oleh sikap dukungan negara-negara Barat.
“Perubahan posisi pemerintah Kanada saat ini merupakan hadiah bagi Hamas dan merugikan upaya mencapai gencatan senjata di Gaza dan kerangka kerja untuk pembebasan para sandera," kata Kemenlu Israel sebagaimana dilansir The Times of Israel, Jumat (1/8/2025).
Pernyataan Kanada menyusul deklarasi dari sesama negara G7; Prancis dan Inggris, justru didasari kecaman situasi kemanusiaan di Gaza yang bertambah memburuk. Bahkan, Malta sebagai negara anggota Uni Eropa, baru-baru ini juga menyatakan bakal mengakui negara Palestina.
(Berikut daftar negara Eropa yang secara resmi mengakui Palestina sebaga negara Merdeka)
Keputusan dan rencana pengakuan dari negara Barat, terutama mitra dekat Israel, memang mudah dibaca sebagai pernyataan simbolis. Kendati begitu, sikap yang diambil diharapkan mampu menyudutkan Israel ke ruang isolasi internasional dan mempertimbangkan berbagai kebijakan militer mereka di Palestina.
Jika ditotal, sudah sekitar 147 negara dari 193 negara anggota PBB saat ini telah mengakui atau menyebut berencana mengakui negara Palestina. Sejumlah analis mengatakan bahwa pengumuman tersebut mencerminkan kekecewaan yang mendalam terhadap perilaku Israel dalam perang di Gaza, yang menewaskan puluhan ribu warga dan membuat sekitar dua juta penduduknya berada dalam kondisi yang sangat menderita dan kelaparan.
AS Masih Bergeming
Kendati begitu, penyokong utama Israel, Amerika Serikat (AS) agaknya masih jauh dari sikap itu.
Gedung Putih pada hari Rabu (30/7/2025) menegaskan bahwa Presiden Donald Trump tidak akan mengambil langkah serupa Kanada, Inggris, atau Perancis.
“Seperti yang dikatakan presiden [Trump], ia [dinilai] akan memberikan penghargaan kepada Hamas jika mereka mengakui negara Palestina, dan ia tidak berpikir mereka harus diberi penghargaan. Jadi dia tidak akan melakukan itu," ujar seorang pejabat Gedung Putih, secara anonim, mengutip Reuters.
Trump, dalam komentarnya pada hari Selasa (29/7/2025), menghindari mengkritik Inggris dan Prancis secara berlebihan atas rencana mereka untuk mengakui negara Palestina, dan menegaskan bahwa para pemimpin mereka memiliki hak atas keputusan negara masing-masing.
Namun, Gedung Putih mengatakan bahwa fokus Trump adalah mengatasi krisis kelaparan di Jalur Gaza. Trump mengumumkan pada awal pekan ini bahwa dia sedang mengerjakan rencana bantuan Gaza yang baru untuk membuat pusat-pusat makanan tambahan didirikan di Jalur Gaza. Gedung Putih kala itu mengatakan bahwa rinciannya bakal segera diumumkan, namun hingga kini tidak ada tindakan lanjutan.
Sebelumnya, dalam lawatan ke Skotlandia awal pekan ini, Trump secara terbuka menyebut memang ada kelaparan akut di Gaza. Karenanya mesti dilakukan bantuan pangan di sana. Pernyataan Trump mematahkan dalih yang terus dinyatakan Netanyahu dan para kroninya bahwa tidak ada kelaparan di Gaza.
Israel kerap mengatakan bahwa krisis pangan di Gaza disebabkan Hamas mencuri bantuan yang diberikan. Dalih lainnya, Israel menuding PBB tidak becus mendistribusikan bantuan di Gaza.
Padahal, sebagaimana laporan The Guardian baru-baru ini, Israel sadar betul berapa banyak makanan yang dibutuhkan warga Palestina. Israel selalu berdalih bahwa distribusi makanan yang mematikan dan kacau oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza–perusahaan rintisan logistik yang didukung AS dan Israel–sebagai bukti kalau warga Palestina memiliki akses terhadap makanan.
Padahal, data yang dikumpulkan dan dipublikasikan pemerintah Israel sendiri menunjukkan bahwa mereka telah membuat Gaza kelaparan. Antara bulan Maret dan Juni, Israel cuma mengizinkan 56.000 ton makanan masuk ke Gaza.
Menurut catatan Cogat–badan Israel pengiriman bantuan ke Gaza–jumlah itu kurang dari seperempat kebutuhan minimum Gaza untuk periode tersebut.
“Kesenjangan yang sangat besar antara kalori yang dibutuhkan Gaza, dan makanan yang telah masuk sejak bulan Maret memperjelas bahwa para pejabat Israel melakukan perhitungan yang berbeda saat ini. Mereka tidak bisa melempar tanggung jawab atas kelaparan yang disebabkan oleh manusia ini kepada pihak lain, begitu pula dengan sekutu mereka,” tulis The Guardian.

Karenanya, dukungan dan pengakuan terhadap negara Palestina diharapkan akan mampu mendorong Washington berubah pikiran. Hal itu bakal membuat Israel semakin terisolir dan memperjelas kegagalan Netanyahu atas kebijakan-kebijakannya di Gaza yang kian brutal.
Mantan diplomat AS, William Lawrence, menyatakan pengakuan tersebut mungkin memiliki dampak praktis yang terbatas, namun secara diplomatis, pengakuan tersebut dapat menjadi signifikan dan berpotensi menekan AS untuk mempertimbangkan kembali sikapnya.
"Dan jika seluruh dunia, semua berpaling kepada Trump dengan garis besar dan tujuan yang sama, hal itu akan berdampak pada Trump. Semua ini penting, meskipun tidak akan menyelesaikan masalah secara instan. Semua orang bergerak ke arah yang benar saat ini, baik dalam hal menekan Israel maupun dalam hal menekan Amerika Serikat," kata Lawrence kepada Al Jazeera.
Kumpulan Artikel tentang Konflik Israel-Palestina
Dukungan dari Negara Besar Beri Harapan bagi Penduduk Gaza
Dosen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Ignasius Loyola Adhi Bhaskara, menilai sukar mengatakan bahwa dukungan negara-negara besar saat ini berdampak signifikan dalam tempo singkat merubah kondisi Palestina. Pasalnya, tuntutan dari masing-masing negara-negara itu sebagai syarat pengakuan juga berbeda-beda.
Tapi setidaknya, kata dia, posisi ini menunjukkan adanya harapan bahwa sejumlah negara melihat adanya threshold yang tidak bisa dilanggar terkait kekejaman Israel pada penduduk Gaza. Ini menjadi angin segar setelah selama ini dunia seolah melihat tidak ada harapan dan langkah konkret terhadap penyelesaian kondisi Palestina.
Menurut Aska, sapaan akrabnya, faktor yang cukup signifikan adalah fakta di lapangan telah terjadi bencana kelaparan hebat di Gaza karena Israel menutup aliran bantuan makanan. Bahkan, memanfaatkan bantuan ke Gaza untuk melakukan serangan militer.
“Banyak pihak yang telah melaporkan kejadian ini, termasuk NGO seperti Amnesty Internasional. Akibatnya banyak anak-anak menjadi korban meninggal dunia. Saya rasa tragedi kemanusiaan dan kejahatan perang ini menjadi tipping point,” ucap Aska kepada Tirto, Kamis (31/7).
Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Edwin Martua Bangun Tambunan, melihat dukungan dari negara-negara untuk mengakui Palestina didasari situasi lapangan tidak realistis mewujudkan perdamaian dengan jalur negosiasi. Maka dari itu, diperlukan alternatif dengan langkah mengisolasi Israel melalui pemberian pengakuan kepada Palestina.
Semakin banyak negara yang mengakui, khususnya negara-negara yang semula cenderung berpihak kepada Israel, semakin memperbesar tekanan bagi Pemerintahan Netanyahu.
“Apabila Netanyahu tetap meneruskan perang, berarti pemerintahannya akan semakin kehilangan dukungan mitra-mitranya,” ucap Edwin kepada wartawan Tirto, Kamis (31/7).
Menurutnya sikap negara-negara Eropa terutama, juga mempertimbangan situasi domestik Palestina. Melemahnya kekuatan Hamas akibat perang panjang dengan Israel, secara tidak langsung telah membuat pemerintahan moderat Mahmoud Abbas–Presiden Palestina–menjadi semakin penting.
Saat ini dipandang menjadi momentum yang tepat memberi pengakuan dengan harapan akan semakin memperkuat legitimasi pemerintahan moderat di Palestina. Menunda berarti akan memberi ruang bagi kelompok bersenjata di waktu mendatang untuk meraih simpati publik Palestina maupun negara-negara Timur Tengah lainnya.
Sudah sangat jelas, kata Edwin, pengakuan ini akan semakin menegaskan posisi Palestina sebagai suatu negara di mana kedaulatannya dilindungi hukum internasional. Peluang untuk menjadi anggota PBB juga akan semakin terbuka sehingga Palestina maupun Israel akan berada dalam posisi setara.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































