Menuju konten utama

Banjir Kalimantan akibat Lingkungan Rusak: Tak Cukup Penghijauan

Banjir di Kalimantan terjadi hingga lebih dari 3 pekan, Presiden Joko Widodo menyebut penyebab banjir adalah kerusakan lingkungan.

Banjir Kalimantan akibat Lingkungan Rusak: Tak Cukup Penghijauan
Sejumlah warga membawa bungkusan sembako saat melintasi permukiman masyarakat di tepian Sungai Kapuas, Sintang, Kalimantan Barat, Kamis (18/11/2021). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang.

tirto.id - Banjir menyebar di sejumlah titik hampir di seluruh provinsi di Pulau Kalimantan mulai dari Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Selatan (Kalsel). Terparah terjadi di Kalbar, banjir terjadi hingga lebih dari tiga pekan, Presiden Joko Widodo menyebut penyebab banjir adalah kerusakan lingkungan yang terjadi berpuluh-puluh tahun.

“Sehingga [Sungai] Kapuas meluber karena daerah tangkapan hujannya rusak. Itu yang akan kita perbaiki. Nanti akan mulai mungkin tahun depan kita bangun nursery persemaian dan penghijauan kembali di daerah-daerah hulu di daerah-daerah tangkapan hujan di daerah catchment area itu memang harus diperbaiki karena memang kerusakannya ada di situ,” kata Jokowi, Selasa (16/11/2021).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan banjir di Kalbar terjadi sejak Oktober 2021 dan pada Kamis (18/11/2021) kemarin sejumlah wilayah masih terendam. Banjir terjadi di tiga kabupaten yakni Kabupaten Melawi, Sintang, Sanggau dan Sekadau itu mengakibatkan sedikitnya 9 warga meninggal dunia.

Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari melaporkan per Kamis (18/11/2021) di Sintang terdapat 33.818 kepala keluarga (KK) atau 112.962 jiwa terdampak banjir, warga mengungsi 7.545 KK atau 25.884 jiwa. Mereka yang mengungsi berada di 32 pos pengungsian. Korban meninggal dunia sebanyak 4 jiwa.

Di Melawai terdapat 28.278 KK atau 108.455 jiwa terdampak banjir dan 4 warga meninggal dunia, sedangkan kerugian material mencakup rumah terdampak 27.621 unit dan fasilitas umum 104 unit.

Kemudian di Sekadau terdapat 5.518 KK atau 19.601 jiwa terdampak banjir dan warga meninggal dunia 1 orang. Data sementara tercatat jumlah rumah terdampak mencapai 5.518 unit.

Di Sanggau, per 15 November kemarin sebanyak 10.520 unit rumah warga terdampak. Terdapat 468 KK mengungsi.

Di Kalsel banjir terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Dalam keterangannya Muhari mengatakan banjir dilaporkan merendam 8 kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah sejak Senin (15/11/2021). Pada Kamis (18/11/2021) genangan air sudah mulai surut.

“Setidaknya 2.528 KK atau 6.908 jiwa terdampak. 505 warga di antaranya sempat mengungsi ke rumah kerabat. Selain korban jiwa, banjir juga menyebabkan kerugian materil berupa kurang lebih 2.470 unit rumah terdampak, 44 unit fasdik terdampak, kurang lebih 223.8 Ha lahan terendam, 4 jembatan rusak berat, 2 titik jalan tertutup longsor, dan 1 titik jalan rusak,” kata Muhari.

Sementara di Kalteng banjir juga telah terjadi berhari-hari, terdapat 2.670 KK atau 8.112 jiwa yang terdampak.

“Banjir masih merendam Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, hingga siang tadi, Kamis (18/11/2021). Kondisi ini diperburuk dengan cuaca hujan dengan intensitas sedang siang tadi,” kata Muhari dalam keterangan tertulis

Muhari mengungkapkan berdasarkan data yang dihimpun BPBD Kabupaten Kapuas tercatat kerugian material infrastruktur terdampak banjir sejak Jumat (5/11/2021) lalu itu di antaranya 1.455 unit rumah, fasilitas pendidikan 30 unit, fasilitas kesehatan 7 unit, tempat ibadah 29 unit, fasilitas umum 25 unit serta akses jalan 43 titik yang masih terendam.

Sawit & Tambang Ekspansif Biang Kerusakan Lingkungan

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalteng Dimas Novian Hartono mengatakan sepanjang 2021 sudah terjadi 3 kali banjir di Kalimantan. Kerusakan lingkungan yang masif kata dia menjadi faktor utama penyebab bencana ekologi.

“Kalteng yang luasnya mencapai 15,3 juta hektare, sekitar 80 persen lebih itu sudah ada investasi bahkan sudah terjadi perusakan, sudah terjadi deforestasi yang cukup masif dan dari sisi ekosistem dan lingkungan sudah parah,” kata Dimas kepada reporter Tirto, Jumat (19/11/2021).

Berdasarkan data perizinan, alih fungsi lahan kata dia sudah mencapai 11 juta hektare lebih untuk industri ekstraktif seperti tambang ataupun perkebunan kelapa sawit.

“Kalau memang sudah sesuai dengan rencana tata ruang seharusnya tidak terjadi bencana metrohidrologi saat ini. Jadi banyak wilayah yang difungsikan tidak sesuai, misalnya wilayah gambut yang sudah dibuka,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Kalbar Nikodemus Ale juga mengatakan banjir disebabkan alih fungsi hutan yang sangat berlebihan. Berdasarkan dokumen rencana tata ruang, menetapkan dari 14,7 juta hektare wilayah daratan Kalbar itu 6,4 juta hektare ditetapkan sebagai kawasan produksi mulai dari pertambangan, kelapa sawit dan sehingga hutan tanaman industri (HTI).

Sementara 8,3 juta hektare diperuntukkan untuk kawasan nonproduksi, bukan menjadi area untuk pengembangan investasi.

“Namun pada kenyataannya investasi yang ada di Kalbar saat ini sudah melebihi areal yang sudah ditetapkan yakni 6,4 juta hektare. Pada pelaksanaannya justru kawasan industri di Kalbar angkanya hampir menembus 12 juta hektare. Artinya ada kesalahan dalam pengelolaan lahan di Kalbar,” kata Niko kepada reporter Tirto, Jumat (19/11/2021).

Alih fungsi lahan terbanyak, kata Nico, adalah untuk perkebunan kelapa sawit dan tambang. Berdasarkan data 2016 saja, kata dia, luasan lahan kelapa sawit seluas 4,4 juta hektare, padahal berdasarkan rencana tata ruang hanya layak 1,5 juta hektare. Begitu pula untuk pertambangan kata dia juga hampir 4 juta hektare.

“Sektor-sektor itulah yang menurut kita menjadi akar persoalan kenapa kondisi lingkungan di Kalbar semakin hari semakin menunjukkan penurunan kualitas sehingga menyebabkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada di Kalbar sudah tidak mampu lagi menjamin keselamatan manusia,” ujarnya.

Alih fungsi lahan yang terjadi di hulu maupun kanan kiri daerah aliran sungai (DAS) ini kemudian menyebabkan hilangnya resapan dan terjadinya pendangkalan hingga menyebabkan banjir seperti yang saat ini terjadi.

Pemerintah dari tingkat kabupaten hingga pusat menurut Nico adalah pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Kalbar. Sebab mereka memiliki kewenangan mengeluarkan izin investasi. Selain itu juga menurutnya adalah para akademisi juga bertanggung jawab karena turut memberikan rekomendasi atas keluarnya izin investasi.

Audit Lingkungan, Penghijauan Saja Tak Cukup

Dimas dan Nico sepakat terkait masifnya kerusakan lingkungan hingga menyebabkan bencana alam, maka pemerintah harus segera melakukan audit lingkungan.

Menurut Nico pemerintah sudah mengetahui dan memberikan pernyataan bahwa banjir yang terjadi akibat kerusakan lingkungan. Sehingga jika hanya melakukan penghijauan saja maka tidak akan cukup mengatasi masalah.

“Pak Jokowi mengatakan segera untuk melakukan penghijauan. Kita berharap tidak hanya dilakukan penghijauan karena akar persoalannya tidak di situ. Akar persoalannya adalah eksploitasi sumber daya alam berbasis hutan yang sangat masif terjadi di Kalbar. Tidak ada gunanya juga atau tidak maksimal juga kalau penghijauan dilakukan sementara tata kelola investasi tidak dilakukan,” kata Nico.

Berdasarkan temuan di lapangan, kata Nico, beberapa titik investasi seperti penanaman sawit dibuka di bibir sungai. Selain itu, ada indikasi perusahaan yang masuk kawasan hutan yang seharusnya tidak dilepaskan jadi area industri.

“Pemerintah harus melakukan revisi tata ruang karena implementasi tata ruang sudah carut marut. Karena terjadi kesalahan harus dilakukan revisi tata ruang. Masifnya investasi dan dengan brutalnya mereka di lapangan melakukan eksploitasi sumber daya alam, harus segera dilakukan tata kelola, aksi perbaikan,” ujarnya.

“Pemerintah segera melakukan audit lingkungan. Izin-izin yang masuk sampai kawasan hutan. Misalnya, 1 izin konsesi mendapatkan 10 ribu, tapi ada 2 ribu yang masuk kawasan hutan maka harus dicabut 2 ribu hektare itu,” kata Nico.

Gubernur Kalbar Sutarmidji sebelumnya dalam sebuah wawancara juga mengungkapkan bahwa deforestasi dan tambang menjadi penyebab banjir.

Dalam unggahan di Facebook pribadinya, pada 9 November 2021 kemarin Sutarmidji juga mengatakan bahwa banjir yang terjadi juga akibat ulah perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Ia juga mengungkap kekesalannya kepada perusahaan kelapa sawit yang enggan membantu penanganan banjir.

Ia juga mengusulkan agar lahan-lahan konsesi perusahaan kelapa sawit yang tidak ditanami untuk dicabut izinnya.

“Lahan-lahan konsesi mereka yang tidak mereka tanam, mau saya usulkan untuk dicabut. Ada apa pun saya tidak peduli. Mau mereka diprotes masyarakat terserah saja,” kata Sutarmidji.

Baca juga artikel terkait BANJIR KALIMANTAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri