tirto.id - Joyce, seorang perempuan Kenya, ingat betul kejadian saat ia berusia 38 tahun. Kala itu suaminya pulang ke rumah dengan menggandeng seorang perempuan yang diakuinya sebagai istri. Joyce sangat terkejut sekaligus terpukul. Tidak pernah suaminya sedikitpun membicarakan perihal rencana pernikahan kedua itu sebelumnya.
Sejak itu, hari-hari Joyce bersama enam anaknya kian suram. Ia harus rela satu atap dengan istri muda dan merasakan perlakuan yang berbeda.
"Segalanya berubah setelah dia (istri muda) pindah. Dia (suami) berhenti peduli. Biaya sekolah, pakaian dan mainan berhenti. Keluarga barunya dirawat dengan baik, tetapi anak-anak saya bahkan tidak bisa tamat sekolah menengah,” keluh Joyce yang menikah sejak usia 17 tahun itu.
Joyce cuma bisa pasrah lantaran sebagai ibu rumah tangga, ia hanya mengandalkan uang pemberian suami. “Aku benar-benar bergantung padanya (suami). Tidak ada pilihan selain diam dan tutup mulut,” ujar Jocye yang menceritakan kisahnya itu kepada Reuters, Agustus 2018, dua dekade setelah peristiwa pahit itu.
Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik memaksa Joyce menikahkan putrinya meski belum genap berumur 18 tahun. Sedangkan anak laki-laki setelah putus sekolah lanjut bekerja sebagai buruh tani untuk membantu perekonomian keluarga.
Joyce tak sendiri. Di Uganda, Irene Atenyo seorang istri pertama sedang gusar khawatir ditinggal suaminya yang diduga sedang mengencani calon istri ketiga. Saat Atenyo menyinggung perihal masalah ekonomi, ia justru mendapat kekerasan fisik dari suaminya.
“Saat ini aku ingin menyimpan uang untuk keamanan, jaga-jaga kalau dia (suami) datang dengan istri lain.” ujar Atenyo (27) kepada Associated Press. Calon istri ketiga saat dihubungi Atenyo pernah bilang bahwa dirinya sedang butuh uang. Sedangkan istri kedua pergi meninggalkan suami Atenyo.
Joyce dan Atenyo hanyalah segelintir dari banyaknya perempuan yang mengalami kasus serupa di Afrika. Poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pernikahan dini, eksploitasi pekerja anak, krisis ekonomi menjadi masalah sosial akut di Afrika.
Poligami adalah praktik yang umum ditemui di benua Afrika, khususnya wilayah sub-Sahara yang sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2009 mencatat, ada 33 negara di seluruh dunia yang melegalkan poligami maupun yang menerimanya di bawah hukum-hukum tertentu. Dari 33 negara itu, 25 di antaranya ada di Afrika.
Mantan Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma punya empat istri karena aturan adat. Kakek buyut hingga ayah mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang asal Kenya berpoligami mengikuti tradisi setempat. Di Tanzania, Presiden John Magufuli secara aktif mendorong para pria agar berpoligami, mengambil minimal dua istri dengan dalih mengurangi populasi wanita lajang dan prostitusi. Di Sudan Selatan, laki-laki biasanya menikah seiring dengan meningkatnya kekayaan mereka. Diperkirakan 40 persen pernikahan di negeri yang sedang dilanda perang saudara itu adalah poligami.
Akar tradisi poligami di Afrika kerap dihubungkan dengan kebutuhan memiliki banyak anggota keluarga untuk mengolah lahan, peperangan yang membutuhkan banyak laki-laki, serta meningkatkan derajat status sosial ketika punya banyak istri.
Sobat Kemiskinan
Fenomena poligami di Afrika berkelindan dengan kemiskinan. Sensus Kenya terbaru menyebut, hampir 1,5 juta warga Kenya berada dalam status pernikahan poligami. Biro Statistik Nasional Kenya mencatat, hampir 43 persen rumah tangga yang poligami berada dalam kemiskinan dibanding dengan 27 persen keluarga monogami.
Teresa Omondi-Adeitan, Direktur Eksekutif Federasi Pengacara Wanita di Kenya mengatakan, banyak dari wanita Kenya yang tak sadar sedang menikah dengan pria beristri dan sangat rentan ditinggalkan oleh sang suami yang mencari istri baru. Dalam kasus lain, para pria yang pendapatannya tidak bertambah, harus membagi pendapatan untuk anak dan para istrinya.
“Poligami adalah penyumbang kemiskinan terbesar karena kebanyakan pria tak mampu secara finansial untuk menafkahi. Dan wanita serta anak-anak yang paling menderita,” kata Adeitan. “Kadang-kadang mereka diusir setelah istri baru tiba.”
Kondisi seperti itu menjadi sebuah lingkaran setan. Anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi ekonomi sulit, cenderung mudah terserang penyakit, atau mengalami malnutrisi. Tak jarang pula mereka berhenti sekolah dan terpaksa bekerja di usia dini. Sedangkan sang ibu rentan mendapat kekerasan fisik dan terlibat perselisihan dengan sesama istri.
Laporan Overseas Development Institute (ODI) pada 2016 menyebutkan bahwa bakal terjadi ledakan populasi anak-anak Afrika pada 2030. Jumlahnya diperkirakan bisa mencapai hampir setengah dari total penduduk miskin di dunia. Tingkat kelahiran yang tinggi ini dipicu karena, salah satunya, praktik poligami. Di Nigeria, tidak jarang ditemukan ada 10, 14 hingga 20 anak dalam satu keluarga.
Di Uganda, organisasi perempuan MIFUMI telah mengajukan permohonan menentang hukum poligami yang dilegalkan atas nama tradisi dan agama, tetapi sejauh ini masih ditolak. Patrick Ndira, Wakil Direktur Eksekutif MIFUMI mengatakan, ada 2.000 sampai 3.000 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) poligami yang ditangani organisasi itu tiap tahunnya.
Ladislaus Rwakafuuzi, seorang pengacara yang memimpin upaya hukum MIFUMI, menyebut, argumen keagamaan kerap dipakai untuk menutupi budaya patriarki yang kuat di masyarakat Afrika.
"Di sini orang-orang Muslim yang mempraktikkan poligami, mereka melakukannya sebagian besar karena mereka orang Afrika," kata Rwakafuuzi. “Itu hanya budaya Afrika. Mereka bersembunyi di balik Islam."
Pernyataan Rwakafuuzi ada benarnya mengingat poligami turut dilakukan oleh kelompok agama lain termasuk pemeluk Kristen di Afrika. Bahkan menurut Hala al-Karin, aktivis hak-hak perempuan asal Sudan, praktik poligami masih merajalela di banyak negara di ujung Afrika dan Afrika Timur sekalipun poligami mulai kehilangan popularitasnya di kalangan komunitas mayoritas Muslim di Afrika Utara.
Di Kenya yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, misalkan, melegalkan poligami pada 2014 dengan dukungan yang besar dari anggota parlemen laki-laki. Mereka mencari celah dengan mengutip kisah tokoh Alkitab yang menyebut Daud serta Solomon tak pernah berkonsultasi dengan siapapun termasuk istrinya ketika mempersunting istri baru. Ada pula pemuka agama Kristen di Afrika yang menyerukan bahwa pernikahan monogami adalah ajaran Kristen dari Barat dan tak wajib diikuti karena dianggap dalilnya lemah.
Dalam satu dekade terakhir, poligami juga menjadi tren di kalangan penduduk Asia Tengah khususnya di Kazakhstan. Bahkan sebuah jajak pendapat akhir tahun 2012 menyebut sekitar 41 persen orang Kazakh atau sebanyak delapan juta orang mendukung legalisasi poligami. Hasil itu cenderung meningkat dibanding jajak pendapat tahun 2004 di mana hanya 40 persen pria saja yang mendukung legalisasi poligami sementara ada 73 persen wanita yang menolak.
Di Indonesia, poligami sedang diupayakan untuk dilegalkan di Provinsi Aceh dengan dukungan sejumlah pemuka agama. Mereka berdalih, poligami untuk melegalkan pernikahan siri yang dianggap bisa menguntungkan pihak perempuan dan anak.
Namun, di sisi lain, Aceh sedang berkutat dengan angka kemiskinan yang tinggi. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Wahyudin mengatakan, penduduk miskin Aceh per September 2018 mencapai 831 ribu orang atau 15,8 persen dari total populasi lima juta penduduk Aceh. Itu termasuk peningkatan jumlah penduduk miskin Aceh dari 2017 ke 2018 sebesar 2.000 jiwa.
Meski setiap tahun mendapat kucuran dana otonomi khusus dari Jakarta sebesar 66,5 triliun sejak 2008, provinsi Aceh hingga kini masih bertahan sebagai daerah termiskin nomor satu di Pulau Sumatra dan peringkat enam secara nasional dari total 34 provinsi.
Editor: Tony Firman