tirto.id - Morgan dan Oliver adalah pasangan Noni, perempuan berusia 23 tahun yang tinggal di kota tepi pantai North Berwick, Skotlandia. Ia dan Morgan berkenalan lewat aplikasi Tinder lalu memutuskan untuk bersama meski laki-laki yang berprofesi sebagai administrator tersebut telah memiliki pacar. Tahun 2016, Noni pun menjalin kasih dengan Oliver usai keduanya pentas bersama di festival seni Edinburgh Fringe.
Keputusan untuk memacari dua pria sekaligus diambil Noni sebab dirinya kerap merasa ketakutan jika harus menjalani hubungan monogami. Kepada BBC, ia mengatakan bahwa ide soal berpasangan dengan lebih dari satu kekasih pada waktu yang sama dikenalnya dari pacar Morgan yang bernama Hannie. Morgan dan Hannie telah berpacaran selama empat tahun dan tak berpisah ketika pria 27 tahun itu menjalin kasih dengan Noni.
Berbeda dengan Morgan, Oliver tidak mengencani siapa pun selain Noni. Hingga Februari tahun 2018, mereka telah bersama selama 18 bulan. Meski begitu, ia diperbolehkan untuk menjalin hubungan dengan orang baru.
“Jika hal itu terjadi maka terjadilah tapi saya bukan pihak yang mencari. Pada waktu yang sama, saya juga tak menutup diri terhadap ide itu,” katanya kepada BBC. Ketika ditanya soal ini, Noni menjelaskan bahwa dirinya bakal senang jika Oliver menemukan seseorang yang baik.
Agar hubungan yang tercipta dapat bertahan, ketiganya berusaha untuk menjalin komunikasi dengan baik. Bagi Noni, relasi dengan kedua pasangannya tersebut sama-sama membutuhkan komitmen sehingga ia tak mengistimewakan salah satu di antara mereka. Noni menilai bahwa dirinya akan terus mempraktikkan gaya hidup yang dikenal dengan istilah poliamori itu, termasuk saat kelak membangun sebuah keluarga.
Poliamori: Dulu dan Sekarang
Tahun 1997, penulis sekaligus pendidik seks Janet W. Hardy menelurkan buku berjudul The Ethical Slut: A Guide to Infinite Sexual Possibilities bersama dengan ahli terapi keluarga Dossie Easton. Pengalaman relasi non-monogami yang menyinggung soal casual sex (bercinta tanpa komitmen), pernikahan terbuka, cara mengatur hubungan seks dengan banyak orang, dan strategi melawan kecemburuan dibahas dalam karya tersebut. Buku Hardy dan Easton pun laris manis di pasaran. Sebanyak 200.000 ribu eksemplar ludes terjual.
Rolling Stone menjelaskan bahwa pada saat Hardy dan Easton meluncurkan The Ethical Slut: A Guide to Infinite Sexual Possibilities, poliamori masih sedikit diterima dan dipahami. Orang yang mempraktikkannya pun masih terbatas pada kalangan hippie tua. “Tapi sekarang, ketika saya berbicara pada hadirin poliamori, mereka terdiri dari golongan profesional muda. Hal ini sangat berbeda,” kata Hardy.
Quartz menjelaskan bahwa praktik terbuka poliamori pada 1960-an dan 1970-an umumnya dilakukan secara berkelompok. Para praktisinya juga mempunyai pandangan politik yang jelas: menolak gaya hidup konvensional seperti bekerja dari pagi hingga sore. Mereka mengumpulkan makanan bersama-sama dan membagi secara rata, termasuk urusan pasangan buat tidur.
Kini penganut poliamori bisa jadi tak lagi menolak pekerjaan konvensional atau gaya hidup kaum kelas atas. Tapi, Quartz menjelaskan bahwa unsur politik tetap ada. Pasalnya, pola hubungan poliamori pelan-pelan mengubah struktur dasar masyarakat.
Kepada The Guardian, Hardy mengatakan adanya perbedaan kebutuhan menjadi alasan mengapa semakin banyak orang bisa dan ingin bahagia tanpa harus mempraktikkan monogami. “Keadaan berubah cepat. Saya lihat anak muda tak memiliki kebutuhan yang sama dengan generasi sebelumnya dalam menentukan apa yang mereka sukai di ranjang atau dalam hubungan. Semua tersaji di atas buffet yang besar dan mereka mencoba sedikit dari segala yang ada,” ujarnya.
Rasa skeptis pada monogami, lebih lanjut, juga menjadi faktor yang menentukan. Hal ini membuat orang lebih terbuka terhadap kemungkinan lain. Psikolog klinis Deborah Anapol mengungkapkan bahwa kepercayaan terhadap monogami sedang goyah dan membuat orang bersikap terbuka pada praktik-praktik hubungan romantis yang lebih bisa diandalkan.
Berdasarkan penelitian Sarah M. Johnson, dkk yang berjudul “Development of a Brief Measure of Attitudes Towards Poliamory” (2015), poliamori lebih bisa diterima oleh kalangan muda, tertarik pada lawan jenis, memandang seks sebagai aktivitas yang positif, memiliki banyak pasangan seksual, mempunyai hasrat seks yang besar, dan gemar mencari sensasi seksual. Menurut riset yang melibatkan 430 responden tersebut, jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan pada tingkat penerimaan atas praktik poliamori.
Plus Minus Poliamori
Noni tak mengerti mengapa ia mesti berpura-pura membatasi banyaknya cinta yang ia berikan ke lebih dari satu orang di dunia ini. Walhasil, perempuan berusia 23 tahun tersebut menyambut baik ide praktik poliamori, yakni bentuk relasi non-monogami konsensual yang menekankan pada koneksi emosional di antara beberapa partner.
Sama halnya dengan Noni, Alex Sanson menjalani hubungan dengan William, Mike, dan Laura yang juga saling mengencani satu sama lain. Perempuan berumur 28 tahun tersebut mengatakan pada The Guardian bahwa ia tak pernah menyukai monogami.
“Hal yang tidak saya sukai soal monogami adalah ide tentang memiliki seseorang dan menjadikannya belahan jiwa, seakan-akan Anda tak pernah merasa komplit sebelum bertemu si dia. Saya suka poliamori karena saya bisa sepenuhnya mengendalikan diri saya sendiri dan tak seorang pun bisa menguasai saya. Saya tak perlu memiliki Anda. Kita semua bebas,” katanya.
Andrea punya keyakinan yang sama dengan Sanson. Laki-laki berusia 30 tahun tersebut sungguh-sungguh meyakini kemerdekaan diri sehingga berani berterus terang pada kekasihnya bahwa ia tak bisa tahan dalam relasi monogami.
“Kami berusaha keras agar hubungan kami berjalan, tapi kami berada di jalan berbeda karena ia seorang monogamis dan saya tidak,” kata Andrea pada The Guardian.
Studi Terri D. Conley dan Amy C. Moors bertajuk “More Oxygen Please!: How Polyamorous Relationship Strategies Might Oxygenate Marriage” (2014) yang dikutip BBC menyebutkan bahwa orang-orang poliamori memang menjaga lingkaran sosial agar tetap luas sehingga pertemanan yang terjalin pun lebih banyak. Ketika berpisah, mereka lebih jarang memutus kontak dibandingkan pasangan yang berada dalam hubungan monogami.
Menurut riset Conley dan Moors, orang-orang yang terlibat dalam poliamori juga mempunyai tingkat kecemburuan rendah karena sejak awal memang dituntut untuk menjaga relasi dengan lebih dari satu pasangan.
Meski begitu, penulis buku The Polyamorists Next Door: Inside Multiple-Partner Relationships and Families, Elisabeth Sheff mengatakan poliamori juga menyimpan sisi negatif. Poliamori bisa berujung pada hubungan yang rumit karena melibatkan lebih dari satu hubungan pada waktu yang sama.
“Relasi romantis bisa sangat emosional, dan intensitas itu dapat terasa berkali-kali lipat karena banyak orang yang terlibat dalam hubungan,” katanya.
Selain itu, Sheff menjelaskan bahwa negosiasi yang salah ketika menjalani poliamori bisa membuat hubungan pasangan bubar. “Jika seorang penganut monogami mesti menyetujui relasi nonmonogami dalam tekanan baik dalam bentuk finansial, emosi, fisik, eksplisit, implisit, bahkan secara tak sadar maka bencana pada akhirnya akan datang,” terangnya.
Pasangan yang memutuskan untuk berkeluarga dan mempunyai anak lebih lanjut pun menghadapi problem jika berada dalam hubungan poliamori. Sheff mengatakan anak bisa merasa sedih apabila orang tua mereka berpisah dengan pasangan yang dekat dengannya. Jika ia hidup di dalam grup poliamori dengan anggota yang banyak, si anak tersebut akan mungkin lebih sering mengalami kesedihan tersebut.
Di sisi lain, anak juga merasa tak senang jika diawasi oleh banyak orang dewasa seperti dalam keluarga poliamori. Kebohongan mereka lebih mudah terbongkar karena para orangtua telah saling berkomunikasi.
Pelekatan stigma sosial pada anak keluarga poliamori pun masih terjadi. Menurut penelitian Maria Pallotta-Chiarolli berjudul “These Are Our Children: Polyamorous Parenting” (2012), orang percaya bahwa anak keluarga poliamori mempunyai isu “the deficit model” yang berarti mereka terpengaruh secara negatif oleh gaya hidup para orangtua.
Editor: Windu Jusuf