tirto.id - Secara natural, manusia seperti kebanyakan mamalia lainnya, bukanlah makhluk monogami. Budaya dan macam-macam pertimbangan sosial, ekonomi, dan politik kemudian membuat konstruksi monogami langgeng hingga sekarang.
Dalam beberapa tradisi, poligami sah-sah saja dijalankan. Jika mengacu pada pengertiannya, poligami berarti laki-laki atau perempuan mengawini lebih dari satu orang. Namun, sering kali poligami direduksi maknanya menjadi laki-laki yang beristri lebih dari satu. Istilah yang tepat untuk praktik perkawinan semacam ini adalah poligini, sementara bagi perempuan yang memiliki lebih dari satu suami dikatakan menjalankan praktik poliandri. Berbeda dengan poligini, poliandri jauh lebih jarang ditemukan. Tak sedikit pula orang yang menghujat praktik perkawinan yang kedua ini.
Bukan rahasia bila seksualitas perempuan secara general kerap berada di bawah laki-laki. Praktik-praktik budaya dari peradaban ke peradaban melanggengkan peran perempuan yang submisif, tak vokal soal seks, dan sebagaimana adanya "melayani" dan menghormati suami sebagai kepala rumah tangga.
Tak cuma pertimbangan kerangka patriarki saja yang mendorong dilanggengkannya poligini, sedangkan poliandri tak diakui. Pertimbangan sulitnya menentukan siapa bapak si buah hati dari poliandri juga menjadi halangan diterimanya praktik perkawinan ini di banyak masyarakat. Ada pula yang menganggap poliandri adalah bentuk subordinasi perempuan yang tak lagi layak dipraktikkan.
Di Tibet, praktik poliandri jamak ditemukan meski pada zaman modern hal ini tak lagi populer. Para laki-laki yang mengawini satu perempuan umumnya bersaudara sehingga bentuk poliandri di sana lazim disebut fraternal polyandry. Melvyn C. Goldstein yang menulis artikel bertajuk “When Brothers Share a Wife” menjelaskan mekanisme poliandri di Tibet sebagai berikut.
Sejumlah laki-laki bersaudara mengawini seorang perempuan yang lantas meninggalkan rumahnya untuk tinggal bersama mereka. Sering kali perkawinan poliandri diatur oleh orangtua dan si perempuan jarang mendapat peluang untuk menolak. Laki-laki tertua memegang peran dominan dalam mengelola rumah tangga, tetapi saudara-saudaranya yang lain juga tetap membantunya dan sama-sama berpartisipasi sebagai partner seks si perempuan. Bukan hal yang tabu atau aneh bagi masyarakat Tibet dulu untuk berbagi pasangan. Sang istri dalam poliandri pun akan memperlakukan suami-suaminya dengan setara.
Menariknya, saat sang istri memiliki anak, ia bisa memutuskan untuk memberi tahu atau tidak siapa ayah buah hatinya. Hal ini dilakukan dengan tujuan menghindari konflik rumah tangga. Para suami pun tidak akan pilih kasih dalam memperlakukan si anak; tak peduli siapa ayah biologisnya, ia akan tetap diberi kasih sayang yang sama. Sebaliknya, si anak juga akan melakukan hal yang sama; semua suami ibunya akan dianggap bapak.
Tidak hanya masyarakat Tibet saja yang mempraktikkan fraternal polyandry. Berdasarkan jurnal yang ditulis Katie Starkweather (2009), masyarakat Pahari di India juga melakukan praktik fraternal polyandry.
Di daerah pegunungan Himalaya juga ditemukan motif poliandri lainnya. Karena keterbatasan lahan di sana, poliandri dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis. Dengan mengawini satu perempuan yang lantas tinggal dengan para laki-laki bersaudara, sebuah keluarga tak mesti membagi-bagi tanahnya untuk setiap anak mereka yang telah menikah.
Selain fraternal polyandry yang melibatkan para laki-laki bersaudara, terdapat pula bentuk poliandri dengan laki-laki dari keluarga berbeda. Dalam masyarakat Irigwe di Nigeria misalnya, perempuan dapat memiliki tiga atau lebih suami. Praktik perkawinan dengan banyak pasangan ini disebut signifikan dalam memelihara solidaritas antarsuku di daerah utara Nigeria.
Berbeda dengan masyarakat Tibet, perkawinan kedua dan seterusnya yang dilakukan oleh perempuan Irigwe tidak dirancang oleh pihak orangtua. Ia bisa menentukan sendiri atau bersama pasangan pertamanya orang yang ingin ia nikahi berikutnya. Meski demikian, ayah si perempuan mesti memberikan restu pada perkawinan anaknya selanjutnya. Lebih lanjut, perempuan Irigwe yang berpoliandri bisa memutuskan perkawinan mana yang ingin ia hormati dan mana yang tidak.
Praktik kawin dengan banyak laki-laki juga dilakukan oleh masyarakat Bari di selatan Amerika, tepatnya di Venezuela. Dalam tulisan Laura A. Benedict (2017) berjudul “Polyandry Around The World” disampaikan bahwa terminologi yang lebih tepat untuk merujuk praktik di Venezuela ini adalah polykoity. Istilah ini memiliki definisi seorang perempuan menikah dengan satu laki-laki, tetapi berhubungan badan juga dengan beberapa laki-laki lainnya dengan sepengetahuan si suami.
Orang-orang Bari mengenal partible paternity, yaitu keadaan seorang anak mengakui banyak ayah. Saat perempuan Bari mengandung, ia akan mengencani lebih dari satu laki-laki dan suami pertamanya mengetahui hal ini. Begitu si bayi lahir, sang perempuan akan memberitahukan seluruh laki-laki yang berhubungan dengannya dan pasangan kedua akan mengemban kewajiban-kewajiban khusus terkait anak yang dilahirkan sang perempuan. Keberadaan laki-laki kedua dianggap krusial dalam menyokong tingkat keselamatan si anak.
Pada abad 18-19, di Cina juga ditemukan praktik poliandri. Alasan dilakukannya perkawinan jenis ini adalah untuk mempertahankan keluarga. Pada masa itu, populasi di Cina telah melonjak. Semakin banyak penduduk berarti makin sulit mengakses kesejahteraan di sana. Kelaparan besar-besaran adalah hal yang jamak didapati. Dengan mengawini satu perempuan, biaya besar untuk menikah dan menghidupi keluarga mampu ditekan karena dibagikan dengan laki-laki lainnya.
Apakah selamanya poliandri bermotif tradisi atau mendukung kesejahteraan keluarga? Tidak selalu.
Dalam masyarakat modern di Amerika Serikat, masih ada perempuan-perempuan yang mengidamkan hubungan poliandri. Di sana, perkawinan seorang perempuan dengan banyak laki-laki memang ilegal, tetapi hal ini tak meredam hasrat segelintir perempuan untuk berpoliandri. Salah satu perempuan asal Colorado misalnya, menyatakan bahwa ia telah memimpikan berhubungan dengan banyak laki-laki sejak awal masa remaja. Perempuan lainnya, Effy Blue, seorang life coach yang juga berelasi dengan banyak laki-laki, menyampaikan beberapa hal menguntungkan dari hubungan jenis ini.
“Partner-partner saya memiliki kekuatan, gaya, dan cara pandang berbeda. Semuanya membentuk suatu jaringan dukungan buat saya. Selain itu, relasi jenis ini juga menawarkan pengalaman seksual yang beragam sehingga mencegah terjadinya kebosanan dalam hubungan jangka panjang. Variasi yang kami temukan membuat kehidupan seks lebih menyenangkan,” jabarnya pada Vice.
Berbeda dengan poliamori yang memungkinkan kedua belah pihak memiliki banyak pasangan, poliandri mengisyaratkan adanya relasi kuasa di mana perempuan berada di posisi lebih superior. Para laki-laki yang berhubungan dengan seorang perempuan poliandris mesti setia kepadanya. Sehubungan dengan relasi kuasa, hubungan poliandri juga dimungkinkan dengan adanya kecenderungan peran submisif yang dipilih oleh laki-laki tertentu sehingga ia rela melihat pasangannya memiliki partner lain. Pada suatu titik, ada perempuan-perempuan poliandris yang mengasosiasikan dirinya dengan dewi-dewi yang dipuja. Keinginan untuk diakui atau bahkan ‘diagungkan’ seperti inilah yang melandasi hasrat mereka berpoliandri.
Meski memiliki hasrat seksual atau berelasi yang tak melulu dikatakan timpang dengan laki-laki, perempuan masih kerap mendapat stigmatisasi negatif begitu ia diketahui ingin berpoliandri. Sebutan pelacur atau perempuan murahan adalah hal yang nyaris jadi garansi sekalinya ia ketahuan memiliki banyak pasangan. Maka tak heran, hasrat atau praktik poliandri terpendam jauh di bawah wacana arus utama dan segelintir perempuan cuma bisa berangan punya lebih dari satu pasangan yang bisa mendukung mereka secara lahir batin.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti