Menuju konten utama

Benarkah Cuma Ada Satu Nilai: Tak Boleh Mendua?

Curhat viral soal perselingkuhan dari Ary Yogeswary menunjukkan bahwa perselingkuhan tak pernah jauh dari cap negatif pelaku dan hujan empati bagi yang ditinggalkan karenanya. Tapi, persoalan terkait hubungan cinta dan perselingkuhan tak pernah sederhana.

Benarkah Cuma Ada Satu Nilai: Tak Boleh Mendua?
Ilustrasi. Selingkuh.

tirto.id - “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.” Demikian Sudjiwo Tedjo menulis di Twitter pada 21 September 2012.

Siapa pun dapat dengan sengaja memilih berkomitmen dengan seseorang, tetapi tak ada yang bisa menggaransi hatinya hanya untuk satu laki-laki atau perempuan saja, terlebih ada teori yang menyebut manusia punya hakikat sebagai makhluk nonmonogami.

Atas dasar berbagai pertimbangan, mayoritas masyarakat dari berbagai budaya dan kepercayaan meyakini bahwa lebih baik jika individu hanya memiliki satu partner untuk berumah tangga atau dijadikan kekasih. Sejumlah justifikasi dari aneka sisi, mulai dari ekonomi, sosio-kultural, kesehatan, hingga psikologi mendorong orang untuk mengabaikan hakikatnya dan memilih monogami.

Perselingkuhan pun dianggap sebagai momok dan barangsiapa melakukannya, tidak akan lepas dari stigma negatif orang-orang di sekitar. Jatuh hati jadi salah ketika datang pada saat yang tidak tepat, mencintai menimbulkan problema ketika yang harus dihadapi adalah norma, padahal tidak ada satu juga yang punya kuasa mengatur kelak menaruh rasa sayang kepada siapa.

Pada 7 Maret lalu, Ary Yogeswary menulis mengenai perselingkuhan mantan suaminya di blog yang lantas ramai diperbincangkan di dunia virtual. Saat tulisan ini dirilis, telah ada 620 komentar terhadap curahan hati Ary di sana. Banyak penanggap berempati terhadap kisah kesah Ary, tidak sedikit pula yang menimpali dengan pengalaman sakit hatinya hingga ada yang mengusulkan membuat komunitas para kekasih yang ditinggal selingkuh tambatan hati.

Perselingkuhan memang bukan fenomena anyar dalam masyarakat. Namun, tulisan Ary yang belum lama ini diunggah mengajak orang untuk memikirkannya kembali dari berbagai perspektif. Tak melulu pembicaraan mesti berkisar pada penunjukan siapa yang salah dan benar, siapa yang dimaklumi dan siapa yang dihujat.

Kesetiaan dalam pernikahan atau pacaran, senantiasa terikat konstruksi sosial yang berlaku secara dinamis dari waktu ke waktu, di tempat yang satu dan lainnya.

Media Sosial: dari Privasi hingga Solidaritas ‘Korban’ Perselingkuhan

Pada umumnya, urusan rumah tangga, apalagi yang berkonflik dan melibatkan perselingkuhan cenderung ditutupi oleh orang-orang. Kegagalan dalam pernikahan adalah aib dan luka yang pantang diumbar di muka umum. Namun, selalu ada pengecualian. Apalagi di era media sosial yang membuat batasan yang kabur antara ranah privat dan publik.

Dengan penuh kesadaran, orang memindahkan buku hariannya ke media sosial. Ada faktor keinginan untuk berbagi, menjadikan cerita diri sebagai pelajaran bagi orang lain. Bisa juga keinginan mendapat dukungan, pujian, simpati, berbagai masukan, serta membangun intimasi, memotivasi seseorang untuk membuka hal-hal personalnya.

Ary, misalnya, menjadi perempuan yang dirugikan akibat perselingkuhan dengan mencantumkan potongan-potongan kenangan bersama mantan suaminya dan dikontraskan dengan pengkhianatan laki-laki yang pernah dicintainya itu.

Publik pun mengamini pernyataannya, terlebih mereka yang punya pengalaman serupa. Hal ini terlihat saat seorang pemberi komentar anonim mengatakan, “Hello fighter! Gue boleh panggil lo fighter ya, karena sedikit dari tulisan lo gue tarik kesimpulan lo udah bertahan dari serangan-serangan yang enggak bisa gampang sembuh seperti luka di kulit.”

Tanpa harus mengenal Ary, siapa pun dapat memberikan dukungan terhadap perempuan yang mengklaim tulisannya telah 21.000 kali dibaca ini. Salah satu dampak dari media sosial yang mampu menembus batasan ruang dan waktu adalah lahirnya solidaritas antara penulis blog dan pembaca, juga sesama pembaca lainnya.

Dalam tulisan Mehreen Kasana (2014) dijelaskan bahwa blog mampu memicu solidaritas publik untuk mengangkat wacana yang terpinggirkan dan membela mereka yang dianggap tertindas.

Ary dianggap sebagai perempuan yang menderita meski pada akhirnya berhasil menjadi penyintas kegagalan rumah tangga. Berkat pandangan dominan bahwa perselingkuhan itu salah, dalam sekejap ia memperoleh simpati. Bahkan lebih jauh lagi dan mungkin tidak pernah menjadi ekspektasi Ary sebelumnya, seorang pemberi komentar anonim lain mengajaknya membentuk komunitas korban perselingkuhan.

“Mbak, kita buat komunitas aja yuk. Biar wanita-wanita di luar sana yang ngalamin hal ini (termasuk saya) bisa lebih tegar dan bisa ngajarin wanita-wanita hidung belang itu,” demikian terlihat di kolom komentar blog Ary yang diekori dengan deretan komentar-komentar lain yang menyatakan persetujuan dan keinginan untuk bergabung jika komunitas itu benar-benar dibentuk.

Kesetiaan adalah Kebenaran

Perselingkuhan merupakan hal yang abu-abu. Apa yang dikategorikan sebagai perselingkuhan bisa jadi berbeda-beda menurut setiap orang. Ada yang menganggap sekadar jalan berdua dengan lawan jenis sebagai selingkuh. Ada juga yang menganggap perselingkuhan terjadi ketika ada kontak fisik sebagaimana dengan pasangan.

Namun, ada pula yang berpendapat, selama seseorang masih terikat dalam pernikahan/komitmen berpacaran serta mencintai pasangannya seorang, tak peduli sedekat apa pun dan seperti apa pun kontak fisik dan komunikasi yang ia lakukan dengan perempuan atau laki-laki lain, ia tetap dikatakan setia dan tidak berselingkuh.

Mengapa kesetiaan menjadi prioritas di masyarakat? Pertama dari aspek hidup bermasyarakat, monogami dijunjung tinggi dalam tradisi agama. Hukum Islam misalnya, menentang keras perzinahan. Tradisi Katolik bahkan mengharuskan seseorang berpasangan dengan satu orang saja sampai mati.

Lepas dari konstruksi berdasarkan nilai-nilai kepercayaan, pertimbangan ekonomi menjadi alasan lain mengapa kesetiaan masih diagungkan. Akan lebih mudah mengelola rumah tangga tanpa ada intervensi pihak ketiga yang bisa jadi ‘mengganggu’ perekonomian keluarga.

Nilai-nilai religi dan budaya pun tak pelak membentuk kerangka penyalahan dan sederet stigmatisasi negatif terhadap pelaku perselingkuhan. Seperti ditulis dalam blog Ary, selingkuhan mantan suaminya dipandang sebagai perempuan rendah. Memiliki perasaan terhadap pasangan orang adalah dosa tidak termaafkan.

Sementara dari aspek kesehatan, laki-laki atau perempuan yang tidak setia lebih rentan menularkan beberapa penyakit seksual kepada pasangannya. Hal ini menjadi sorotan dalam studi Swidler dan Watkins (2007) yang meneliti tentang AIDS dan seks transaksional di Malawi. Budaya memiliki lebih dari satu pasangan yang dilanggengkan di sana membuat penduduk berisiko saling menularkan penyakit mematikan yang satu itu.

Mengapa Orang Berselingkuh?

Mendapati kenyataan bahwa perselingkuhan tidak bisa diterima sebagian besar masyarakat, segelintir orang masih memilih untuk mendua. Ada beberapa alasan yang mendasari tindakan selingkuh yang ditemukan dalam sejumlah studi.

Dalam tulisan di Wall Street Journal, Naomi S. Riley mengutip pendapat Diane Sollee, mantan konselor pernikahan yang kini menjalankan koalisi edukator pernikahan, Smart Marriages tentang alasan orang tidak setia.

Dikatakan oleh Sollee, orang berselingkuh karena banyaknya kesempatan untuk melakukan hal tersebut dewasa ini. Orang-orang pelaku perselingkuhan yang ditemui Sollee mengaku selingkuhannya tidak begitu menarik sebenarnya, tetapi tingginya intensitas pertemuan membuat mereka terlibat dalam hubungan yang dianggap terlarang itu.

Kesempatan untuk berselingkuh salah satunya terjadi akibat hadirnya media sosial.

Situs Women’s Health melansir studi yang termuat dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking yang menyatakan media sosial seperti Facebook menggiring seseorang untuk terkoneksi kembali dengan mantan kekasih atau selingkuhannya, hingga memicu perselingkuhan dan perceraian. Hal ini tampaknya seiring dengan yang disebutkan Ary dalam blognya, bahwa mantan suaminya sering berkomunikasi melalui Facebook dengan sang selingkuhan.

Sedangkan dalam situs Psychology Today, Elizabeth Aura McClintock Ph.D mengutip pernyataan Thompson (1984) bahwa penyebab perselingkuhan yang utama adalah ketidakpuasan seksual dan emosional terlepas dari konteks gendernya.

Infografik Selingkuh

Tak Melulu Mendua Bikin Terluka

Kendati perselingkuhan kerap mendatangkan hujatan dari banyak orang, tak selamanya hal ini dianggap tabu. Swidler dan Watkins menemukan fakta bahwa budaya di Malawi justru mendorong seseorang untuk berhubungan intim dengan lebih dari satu orang.

Laki-laki yang lebih mapan diharapkan berhubungan dengan banyak perempuan dan membagikan sebagian hartanya untuk kesejahteraan mereka. Justru yang menjunjung kesetiaan dengan satu pasanganlah yang dikucilkan dalam pergaulan.

Sebuah artikel di situs New York Times pun menunjukkan pemikiran yang tak seragam dengan mayoritas. Amy Krouse Rosenthal mengisahkan kehidupannya dengan sang suami dalam tulisan bertajuk “You May Want To Marry My Husband” yang diawali dengan segala sisi manis dan nyaris sempurna dari diri suami dan pernikahannya.

Kenyataan pahit datang saat ia terserang kanker dan tak akan punya waktu lebih untuk melanjutkan kehidupan bak dongengnya tersebut. Rosenthal pun membuat twist pada akhir tulisannya yang mengundang haru dengan mempersilakan orang yang membaca tulisannya untuk mencari Jason, sang suami, dan memulai kisah cinta baru.

Sementara di satu sisi ada orang yang mati-matian mengutuki masuknya pihak ketiga dalam rumah tangga, di sisi lain justru ada orang seperti Rosenthal yang justru mendorong lahirnya kisah cinta baru untuk suaminya. Tak jauh berbeda dengan cerita Ayat-Ayat Cinta dan Surga yang Tak Dirindukan 2 yang bagi sebagian orang hanya terjadi di layar lebar dan layar kaca saja.

Menjaga komitmen itu bukan perkara remeh, kualitas diri seseorang terukur salah satunya dari caranya mengusahakan hal ini. Namun, perlu juga dicatat bahwa ada nilai berbeda soal relasi dan kesetiaan, selain mengenali sejauh mana kualitas relasi dalam hubungan yang sedang dijalani.

Menjaga perasaan anak-anak tak selamanya pula dapat menjadi justifikasi mempertahankan hubungan yang kadung hambar. Apakah dengan melihat kedua orangtuanya yang tak berbahagia adalah suatu kebaikan bagi anak-anak?

Apa pun yang menjadi pilihan pasangan yang terlibat dalam konflik semacam ini, koreksi diri merupakan prioritas sebelum menuding pihak lain sebagai penyebab keretakan relasi. Bila memang sekuat baja, mungkinkah rumah tangga atau komitmen menjalin cinta dapat tergores, apalagi terpatahkan?

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Humaniora
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani