tirto.id - Eee Pak Gub, nyoe neu bloe kapai,
Ho neu jak phoe?
Sigoe-goe neu peuding kamoe.
(Eee... Pak Gub, kalau beli pesawat, mau terbang ke mana? Sekali-kali bolehlah kami ikut serta.)
Zulfan Amroe menyanyikan Hikayat Cicem Buso Dhoe ('Hikayat Burung Besi') pada satu ahad, 15 Juli lalu, yang tenang di markas Komunitas Kanot Bu, Banda Aceh. Zulfan, seniman Aceh, menciptakan lagu itu saat ribut-ribut rencana pembelian enam unit pesawat oleh Gubernur Irwandi Yusuf pada 2017 untuk dimasukkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) 2018 dengan pagu Rp12 miliar.
Rencana itu ditentang banyak pihak dengan argumen sesederhana: Buat apa? Sementara provinsi paling barat Indonesia ini, pada saat bersamaan, masih berkutat dengan kemiskinan dan pengangguran.
Kritik itu kemudian berkepanjangan dan mulai menyinggung sejumlah program Irwandi yang dinilai boros dalam mengelola APBA, termasuk di antaranya dana otonomi khusus.
Misalnya soal penyelenggaraan "Tsunami Cup" yang menghabiskan anggaran Rp11 miliar, Sabang Sail Rp9,7 miliar, dan pengadaan mobil di Jakarta untuk wakil gubernur senilai Rp3 miliar.
Dana otonomi khusus merupakan salah satu hasil Nota Kesepahaman Helsinki pada 2005, yang melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh setahun berikutnya. Semula Aceh meminta 5 persen dari Dana Alokasi Umum, tapi akhirnya kesepakatan dengan pemerintah Indonesia menjadi 2 persen, disamakan dengan Papua.
Celakanya, sejak 2008 atau tahun pertama pemberian dana otsus, Aceh belum punya rencana pokok maupun pengalokasian dana otsus yang rapi. Hingga 2015, pemakaian dana otsus dibiarkan liar atau hanya mengacu pada amanat Kesepahaman Helsinki untuk enam bidang: pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, infrastruktur, ekonomi kerakyatan, dan keistimewaan Aceh.
Hingga 2018, total sekitar Rp66,5 triliun sudah digelontorkan pemerintah Indonesia demi memulihkan dan membangkitkan Aceh pasca-konflik dan tsunami. Jika mengacu pada UU Pemerintahan Aceh, pemberian dana otsus akan berakhir pada 2027.
Pertanyaannya, apakah Aceh siap?
Menelisik setiap Anggaran Pendapatan Belanja Aceh, dana otsus menempati porsi terbanyak sebagai pendapatan daerah, yakni 56 persen. Misalnya pada APBA 2017, dari total pendapatan Rp14,3 triliun, hanya Rp2 triliun saja yang bersumber dari pendapatan asli daerah.
Hafidh dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), organisasi nirlaba antikorupsi setempat, mempertanyakan mengapa dana otsus tidak digunakan pada sektor-sektor riil yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Selama ini dana otsus habis untuk kegiatan konsumtif, misalnya saja infrastruktur jalan, pembangunan gedung dayah tanpa diikuti kualitas pendidikan, JKRA (Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh), dan sebagainya.
Berdasarkan laporan Analisis Belanja Publik Aceh 2012, Aceh merupakan daerah yang memiliki belanja infrastruktur ketujuh terbesar di Indonesia. Belanja infrastruktur Aceh per kapita pada tahun 2012 tercatat Rp736 ribu, sedangkan angka rata-rata nasional sebesar Rp358 ribu.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh, dalam jawaban wawancara kepada Tirto, mengklaim pembangunan infrastruktur mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah, peningkatan kebutuhan air bersih dan sanitasi, mendukung kawasan wisata, dan investasi daerah.
Bukannya tanpa hasil, memang. Pembangunan infrastruktur dapat dinikmati secara langsung. Saya sempat melakukan perjalanan dari Banda Aceh ke Pidie, sekitar 160 kilometer. Sepanjang perjalanan, kondisi jalan hampir selalu mulus. Tak ada jalan rusak. Hanya saja, jalan itu juga nyaris selalu lengang. Jarang saya melihat truk-truk pengangkut komoditas makanan ataupun barang-barang ekonomis lain berlalu-lalang layaknya yang biasa saya temukan di jalur pantai utara Jawa. Kebanyakan yang saya lihat adalah rombongan pengajian suatu daerah yang diangkut dengan mobil bak terbuka.
Pembangunan infrastruktur nyatanya tak dibarengi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Jalan-jalan mulus tak ubahnya pajangan lengang minim aktivitas ekonomi yang bergairah oleh masyarakatnya.
Padahal, menurut Rustam Effendi, dosen ekonomi Universitas Syiah Kuala yang terlibat menyusun RAPBA 2018, pembangunan di sektor rill seperti bidang pertanian dan usaha mikro, kecil, dan menengah dapat menggenjot pemasukan asli daerah.
“Selama ini proyek masuk lewat SKPA (Satuan Kerja Pemerintah Aceh). Artinya, dipegang dinas. Padahal baiknya serahkan saja pada swasta hingga ini menjadi business to business, bukan business to government. Sehingga orientasinya pada bisnis. Bukan fee proyek,” jelas Rustam.
Rustam juga mendorong agar Aceh mau membuka banyak BUMD sehingga keuntungan dari proyek dapat masuk ke kas daerah lewat keuntungan perusahaan daerah. Saat ini hanya ada dua BUMD di Aceh, yakni Bank Aceh dan Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA). Itu pun performanya kembang kempis.
Menanggapi gagasan itu, Kepala Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Bappeda Alamsyah menjelaskan bahwa pemprov pernah mencoba berinvestasi pada PDPA. “Namun karena merugi," ujarnya, "akhirnya berhenti.”
Ide menaruh investasi pada BUMD menurut Alamsyah adalah langkah yang riskan dilakukan pemerintah. Jika perusahaan merugi, pemerintah juga harus menerima konsekuensi kehilangan modal.
“Nanti repot lagi saat diaudit BPK,” kata Alamsyah kepada Tirto pada 19 Juli lalu.
Aceh Setelah 2027
Bek telat lee, otsus karap hana lee,
Bek telat lee, otsus karab beh watee
(Jangan telat lagi, otsus hampir tidak ada lagi, jangan telat lagi, otsus hampir habis waktu)
Zulfan Amroe meneruskan nyanyiannya ahad sore itu. Merefleksikan kenyataan yang akan segera dihadapi Aceh. Dana otonomi khusus akan selesai pada 2027. Sementara Aceh masih terpincang-pincang mengejar ketinggalan.
Aceh selama ini terus disuapi. Layaknya bocah dengan orangtua kaya raya, ia tak mampu hidup mandiri. Dana otsus ditelan mentah-mentah tanpa pertimbangan memutarnya menjadi modal. Lantas, bagaimana nanti ia bertahan jika dana otsus itu dicabut dari pusat?
“Aceh harus mulai memikirkan strategi pasca dana otsus. Dan seharusnya itu tertuang dalam rencana induk 2008-2027. Tapi mau bagaimana? Setelahnya juga pengalokasian dana otsus direvisi terus melalui qanun. Perencanaan itu tidak ada artinya lagi,” terang Hafidh di kantor MaTA merujuk istilah peraturan daerah Aceh bernama qanun.
Rencana induk yang dimaksud Hafidh adalah Rencana Induk Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh 2008-2027, yang baru disusun 2015 atau tujuh tahun setelah dana otsus kali pertama digelontorkan. Dalam bundel itu disebutkan enam program prioritas rutin pemerintah Aceh: beasiswa anak yatim, beasiswa kuliah dan alokasi pendidikan lain, JKRA, BKPG (bantuan keuangan pemerintahan desa), dana reintegrasi, dan rumah layak huni. Seluruhnya menyedot anggaran lebih dari 50 persen dari APBA.
Kendati sudah memiliki rencana induk, pemerintah Aceh tetap melakukan sejumlah revisi qanun pengelolaan dana otsus pada 2013 dan 2016. Perubahan pertama diatur dalam Qanun Nomor 2/2013: pengelolaan dana otsus 60 persen diatur provinsi dan 40 persen diatur kabupaten/kota. Perubahan kedua, yang diatur Qanun 10/2016, kemudian menyerahkan sepenuhnya pengelolaan dana otsus ke provinsi.
“Revisi seperti ini akan menyebabkan banyak proyek mandek ataupun terbengkalai. Contohnya saja pasar ikan dan pabrik pengolahan kulit sapi,” kata Hafidh.
Drama dana otsus Aceh kemudian berlanjut dengan molornya pengesahan APBA 2018, yang membuat pemerintahan Irwandi Yusuf mengelurkan Pergub APBA 2018. Artinya, tidak ada pembahasan lagi dengan DPR Aceh. Perencanaan program bisa masuk tanpa pengawasan dari legislatif, kendati langkah ini dibenarkan dalam Permendagri 33/2017 tentang penyusunan APBD.
Buntutnya, Irwandi Yusuf justru ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal Juli 2018 setelah APBA disahkan hanya lewat peraturan gubernur lantaran diduga menerima suap terkait proyek yang dibiayai dana otsus Aceh.
Sementara soal solusi pasca-otsus, Kepala Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Bappeda Alamsyah mengaku wacana itu baru menjadi bahan omongan warung kopi di internal Bappeda. Belum ada pembahasan serius dan formal untuk membahas Aceh setelah 2027.
Dalam penjelasannya, beberapa yang harus tetap didanai termasuk beasiswa pendidikan dan asuransi kesehatan. Untuk itu, Bappeda merencanakan alternatif sumber pendanaan dengan meningkatkan pendapatan asli daerah dari retribusi pajak, zakat, infaq, dan sedekah; mengembangkan skema kerja sama pemerintah-swasta; dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan keagamaan lantaran selama ini dayah atau pesantren dibiayai oleh dana otsus.
Tidak terlihat ada rencana untuk mencolek sektor riil dalam strategi tersebut. Solusi lain yang lebih praktis pun ditawarkan.
“Kami lebih ingin dana otsus selamanya tidak dicabut,” ujar Alamsyah.
Solusi ini diamini oleh Dahlan Jamaluddin, anggota Badan Anggaran DPRA. Ia menilai pencabutan dana otsus bukan solusi tepat. Ada cara lain, yakni dengan mengevaluasi pengelolaannya.
“Terlalu banyak kompensasi yang harus diberikan negara pada Aceh akibat konflik. Dana otsus tidak boleh dihentikan,” ujar politikus Partai Aceh itu.
Beberapa waktu lalu, DPRA tengah membahas rencana pembangunan jangka menengah dana otsus untuk lima tahun ke depan bersama pemerintah (saat ini sudah diteken). Namun, dalam RPJM itu, berdasarkan pengamatan Dahlan, tidak ada rencana solusi yang matang usai dana otsus dicabut.
“Tidak ada satu kata pun soal itu. Bahkan soal daya saing tidak. Hanya ada program buang-buang uang saja," kata Dahlan getas.
Bek telat lee, Peubut teoh nyang peurele.
Zulfan Amroe masih bersenandung di depan saya. Mengirim pesan untuk para elite pemerintahan Aceh: Kerjakan saja apa yang perlu, jangan telat lagi.
Pertanyaannya, bila sudah di tangan para elite Aceh, proyek-proyek dana otsus itu untuk keperluan siapa?
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam