Menuju konten utama
4 Desember 1976

GAM Lahir demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh

Ujung Sumatra.
pucuk-pucuk bedil dan
sekaleng cola.

GAM Lahir demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh
Ilustrasi Hasan Tiro dan tentara GAM. tirto.id/Gery

tirto.id - Pada 1971, para petinggi perusahaan minyak dan gas alam asal Amerika Serikat, Mobil Oil, bergembira karena menemukan tambang baru di Arun, Aceh Utara. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk membangun pabrik baru dan memulai eksploitasi di lokasi tersebut. Pekerjaan ini bisa lancar sebab mereka menjalin kongsi dengan militer Indonesia yang saat itu menjadi bagian penting dalam rezim Orde Baru.

Enam tahun kemudian terjadi sebuah serangan bersenjata yang menghentikan operasi pabrik untuk sementara. Beritanya tersebar cepat hingga ke ibukota Jakarta akibat ada seorang insinyur asal AS yang meregang nyawa, sementara satu orang lagi luka parah. Dalang peristiwa tersebut kemudian diketahui bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kelompok bersenjata yang bergerilya melawan pemerintah Republik Indonesia di bawah komando Teungku Hasan Muhammad di Tiro alias Hasan Tiro.

Bibit perlawanan di Aceh telah ada sejak 1800-an ketika wilayah tersebut menjadi kerikil dalam upaya pembulatan tanah jajahan oleh Belanda. Orang-orang Aceh terkenal keras kepala dalam mempertahankan tanah leluhur. Mereka adalah salah satu daerah terakhir yang menyerah pada pemerintah kolonial, itu pun setelah terjadi Perang Aceh yang brutal dan berlangsung sepanjang tiga dekade (1873-1904).

Saat Indonesia merdeka, Aceh dimasukkan menjadi salah satu wilayahnya. Rakyat Aceh berjasa besar bagi Republik lewat sumbangan dana untuk pembelian pesawat terbang Seulawah—pesawat pertama yang dimiliki Indonesia. Tapi keputusan Jakarta pada 1950, yang menurunkan status Aceh menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara, menyulut kekecewaan.

Akibatnya, Teungku Daud Beureueh, tokoh terkemuka Aceh dan bekas Gubernur Militer di masa Revolusi, menyatakan perlawanan terhadap Jakarta. Ia lalu menyatakan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosuwirjo.

Sebenarnya, sebelum Daud Beureueh mengobarkan perlawanan, ia adalah tokoh pendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada akhir 1945, sempat terjadi pertentangan antara mereka yang mendukung Indonesia dan orang-orang yang berpihak ke Belanda. Para ulama (teungku) yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pimpinan Daud Beureueh berkonflik dengan kalangan bangsawan (teuku) yang pro-Belanda. Konflik ini memicu revolusi sosial yang dikenal dengan nama Perang Cumbok dan dimenangi kalangan teungku.

Faktor-faktor tersebut makin menambah kekecewaan Beureueh dan mempertebal keyakinannya untuk melakukan perlawanan. DI/TII Aceh memang berhasil dijinakkan pemerintah pada 1962, tapi bara konfliknya tidak pernah benar-benar padam.

Presiden Sukarno kemudian memberikan status daerah istimewa kepada Aceh untuk meredam perlawanan. Dengan status ini, Aceh berhak mengatur agama, hukum adat, dan perkara seputar dunia pendidikan.

Hasan Tiro Melanjutkan Perlawanan Daud Beureueh

Daud Beureueh masih bergerilya hingga awal 1962, akan tetapi estafet perlawanan selanjutnya lebih banyak diinisiasi Hasan Tiro. Ia tinggal di New York sejak awal 1950-an untuk bekerja di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di departemen khusus urusan Indonesia. Pada 1953, Tiro, yang sangat menggemari Coca-Cola, kembali ke Aceh untuk mendukung perjuangan Daud Beureueh. Dan jelang pertengahan 1970-an ia kian mantap mengkonsolidasi rekan-rekan seperjuangannya.

Tepat hari ini 41 tahun lalu, pada 4 Desember 1976, GAM secara resmi berdiri. Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan kepada pemerintah Indonesia di Perbukitan Halinon, Pidie, dan mengangkat dirinya sebagai Wali Nanggroe (kepala negara). Visinya adalah romantisme masa lalu ketika Aceh berdiri sebagai negara independen. Ia menyatakan dengan tegas bahwa telah terjadi “penyerahan kedaulatan tanah nenek moyang secara ilegal dari Belanda selaku kolonialis lama kepada Jawa sebagai kolonialis baru.”

Romantisme itu terutama mengacu kepada kejayan masa lalu Kerajaan Aceh pada zaman Iskandar Muda. Dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (2008), sejarawan Denys Lombard menunjukkan betapa sejahteranya Aceh di masa itu. Bahkan, Aceh adalah salah satu kerajaan Asia pertama yang memiliki hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda.

Masa kejayaan itu dikenang dengan perasaan nostalgia. Namun di sisi lain, seperti diungkap Otto Syamsuddin Ishak dalam Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian Nasionalisme (2013), orang Aceh merasakan kegetiran pada saat bersamaan ketika menyaksikan realitas Aceh mutakhir. Romantika kegemilangan masa lalu hadir serempak bersama pengalaman kepahitan menghadapi konflik berkepanjangan yang hanya diselingi jeda relatif singkat.

Michael L. Ross, dalam analisisnya bertajuk “Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia” di buku Understanding Civil War: Evidence and Analysis (2005), menuliskan bahwa salah satu motivasi utama Hasan Tiro selama bergerilya bersama GAM adalah isu kedaulatan sumber daya alam Aceh. Ini juga sekaligus dijadikan strategi penarikan dukungan massa.

Masih dalam deklarasi perlawanannya, Tiro mengatakan Aceh kian miskin di bawah kolonialisme Indonesia karena angka harapan hidup berada di angka 34 tahun dan terus menurun. Ia juga mengkritik Jakarta yang tak tahu terima kasih karena sejak merdeka telah menerima pendapatan yang luar biasa besar dari eksploitasi gas alam Aceh. Nilainya diklaim mencapai $15 miliar per tahun, yang dikecam Tiro hanya untuk membangun Jawa.

Melalui metode fact-checking, Ross memaparkan bahwa yang dikatakan Tiro soal angka harapan hidup dan keuntungan sebesar $15 miliar keliru. Namun ia tertarik dengan strategi penarikan dukungan massa Tiro yang tak menyebut soal Aceh yang berazaskan politik Islam—isu yang justru jadi bahan bakar perlawanan Daud Beureueh.

Menurut Ross, Tiro khawatir jika isu negara Islam akan mengalienasi dukungan internasional terhadap GAM. Sejarah mencatat hampir tak ada gerakan separatis yang tak mendapat dukungan dari luar negeri. Tiro justru fokus dengan status Aceh sebagai penghasil gas alam terbesar di Indonesia. Di dekat kota Lhokseumawe, misalnya, ada tambang gas yang menghasilkan keuntungan hingga $2-3 miliar per tahun untuk diekspor selama 20-30 tahun.

Mobil Oil, yang pada 1999 merger dengan Exxon Mobil Corporation, menjalin kongsi dagang dengan Pertamina dan Jilco (perusahaan konsorsium Jepang). Produksi yang dimulai pada 1977 menuai hasil maksimalnya di tahun 1988, demikian ungkap Dawood, Dayan, dan Syafrizal dalam laporan bertajuk “Aceh: The LNG Boom and Enclave Development” yang tertuang di buku Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia Since 1970 (1989).

Meski berhasil membuka lapangan pekerjaan baru, proyek eksploitasi gas alam oleh perusahaan asing dan negara dinilai banyak warga Aceh belum cukup untuk mempekerjakan apalagi menyejahterakan orang lokal. Mobil Oil juga kenyataannya lebih banyak merekrut orang-orang dari luar Aceh, terutama Jawa, dengan alasan kemampuan dan pengalaman lebih.

Hasan Tiro pernah merasakan sendiri bagaimana ia tersingkir dari perebutan eksploitasi gas alam. Menurut Ross, pada 1974, Tiro mengikuti lelang proyek pembangunan pipa gas alam di Aceh, namun kalah dengan Bechtel, firma asal AS (hlm. 41).

Tuduhan yang berkembang kemudian adalah kegagalan lolos tender itulah yang memicu penyerangan perdana GAM ke pabrik Mobil Oil di Arun pada 1977. Hal ini dibantah Murizal Hamzah dalam Hasan Tiro: Jalan Panjang Menuju Damai Aceh (2014). Benih-benih perlawanan Tiro, katanya, sudah tumbuh sejak 1960-an.

Tapi bagaimana pun juga, serangan tersebut lah yang memicu perlawanan balik dari pemerintah Indonesia. Jakarta merasa investasinya di Aceh akan terganggu dengan keberadaan GAM. Tiro dan para pengikutnya tentu saja bukan lawan yang sebanding karena kalah jumlah personel dan persenjataan. Anggota GAM banyak yang mati, penduduk sipil yang dituduh mendukung GAM turut jadi korban, dan pada 1979 Tiro terpaksa melarikan diri ke luar negeri.

Gelombang pertama perlawanan GAM, menurut pembabakan Michael L. Ross, akhirnya padam.

Perlawanan Penuh Kekerasan

Gelombang kedua datang pada pertengahan tahun 1980-an. Personel GAM yang kembali dari pengasingan merekrut para anggota baru untuk diberi pelatihan militer sebagaimana mereka pernah berlatih di luar negeri. Beberapa ada yang dilatih militer Libya.

Negara sosialis di bawah komando Muammar Khadafi itu, plus Iran dan sejumlah negara serta lembaga donor lain, membantu pendanaan dan persenjataan GAM dalam gelombang perlawanan kedua ini. GAM pun tampil lebih solid dan kuat di medan gerilya.

Kirsten E. Schuhlze dalam The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization(2004) menyatakan, sejak 1986 GAM makin memperluas dukungan hingga ke bagian utara dan timur. Rekrutmen tergolong mudah di kedua daerah tersebut, terutama untuk mereka yang berasal dari Suku Aceh yang tinggal di kawasan dengan kesenjangan ekonomi tinggi akibat urbanisasi pendatang (dari Jawa) dan industrialisasi yang tak terkendali.

Di fase ini personel GAM kembali memakai sentimen kedaulatan sumber daya alam. Mereka menyebarkan propaganda bahwa gas alam dan kekayaan lain di Tanah Rencong dieksploitasi di depan mata orang-orang asli yang tak kebagian apa-apa serta tetap miskin, sementara para pendatang makin kaya. Propaganda ini terbukti efektif dan perekrutan bisa berjalan baik terutama untuk target laki-laki di pedesaan.

Perlawanan balik dari pemerintah Indonesia di gelombang kedua lebih berdarah-darah. Sampai pertengahan 1990-an, 200-750 kombatan GAM berhadapan dengan tentara Indonesia yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak. Pemerintah RI juga menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) serta menerjunkan pasukan kontraterorisme khusus.

Eskalasi konflik meluas sekaligus membuat jumlah korban luka-luka, pengusiran dari tempat tinggal, serta yang meninggal lebih banyak dibanding perlawanan gelombang pertama. Pihak yang paling nelangsa adalah warga sipil yang dilabeli status pengkhianat oleh kedua pihak yang bertempur. Menurut berbagai versi, total korban jiwa berada di kisaran 2.000-10.000, baik dari kelompok milisi maupun warga sipil.

Korban sipil lebih tinggi karena kedua pihak yang berseteru sama-sama melakukan rangkaian aksi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut laporan Amnesty International, militer RI ditengarai melakukan eksekusi di luar hukum, pembakaran desa, penculikan, pemerkosaan, dan penyiksaan warga Aceh yang dituduh simpatisan GAM. Sedangkan personil GAM dituduh melakukan eksekusi di luar hukum kepada tertuduh informan militer Indonesia dan menyerang instansi sipil seperti sekolah dan lain-lain.

Kekerasan oleh pihak militer Indonesia kelak akan disesali dengan munculnya gelombang perlawanan ketiga, yang masih menurut pembabakan Michael L. Ross, terjadi usai kejatuhan Soeharto.

Presiden Habibie menarik pasukannya dari Aceh sebagai realisasi komitmen menjaga amanat Reformasi. Namun, situasi ini dimanfaatkan GAM untuk mengkonsolidasi kekuatannya yang tersisa. Mereka merekrut kaum muda Aceh dengan mengeksploitasi narasi brutal tentang kelakuan militer Indonesia selama pemberlakuan DOM di Aceh.

Kekerasan di Aceh digalakkan lagi oleh GAM mulai akhir 1999 dengan menyasar pejabat pemerintahan lokal dan penduduk pendatang dari Jawa. Modal gerilya baru didapat dengan cara menyelundupkan senjata ilegal dari Thailand.

infografik mozaik demi aceh yang merdeka

Pemerintah RI kembali menerjunkan lebih banyak tentara ke Aceh, terutama di era pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Pada 2001-2002, kombinasi personel tentara dan polisi di Aceh bertambah menjadi 30.000. Dalam satu tahun berselang, angkanya naik drastis menjadi 50.000 personel.

Akibatnya represi kepada warga sipil Aceh pun kembali meningkat. Selama gelombang perlawanan ketiga berlangsung, lebih dari 4.000 nyawa dari kalangan militer, GAM, maupun sipil melayang.

Pembicaraan terkait perdamaian sebenarnya sudah dilakukan antara GAM dan pemerintah sejak 1990-an, namun tak pernah mencapai kesepakatan damai yang ideal. Bencana tsunami raksasa yang menyapu Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi faktor penting yang membuat GAM kian lemah usai pemerintah Indonesia mematahkan gelombang perlawanan ketiga mereka.

Akhir Perlawanan dan Kesepakatan Damai

Pada 27 Februari 2005, perwakilan GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator. Memasuki tanggal 17 Juli 2005, setelah berunding selama 25 hari, Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Helsinki, Finlandia. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.

Proses perdamaian selanjutnya dipantau sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di antara poin pentingnya adalah pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.

Seluruh senjata yang berjumlah 840 pucuk dipindah kepemilikannya dari GAM kepada AMM, dan prosesnya selesai pada 19 Desember 2005. Tanggal 27 Desember di tahun yang sama, GAM melalui juru bicara militer Sofyan Dawood menyatakan bahwa sayap militer mereka telah dibubarkan secara formal.

Pada Oktober 2008, Hasan Tiro pulang ke Aceh. Ia menetap di tanah kelahirannya hingga meninggal dunia tanggal 3 Juni 2010.

Sampai saat ini, hasil paling nyata dari kesepakatan damai Helsinki adalah pembentukan partai-partai politik lokal Aceh. Beberapa elit GAM dan eks kombatan mendirikan partai dan mereka terjun langsung ke dunia politik praktis.

Banyak kekecewaan terhadap mereka, terutama lantaran dianggap mengkhianati idealisme perjuangan GAM. Mereka kini banyak sekali bermain dalam relasi kroni-kroni politik dan berebut proyek APBD Aceh.

Seorang aktivis senior dari Aceh yang tidak mau disebut namanya mengungkapkan dengan penuh keprihatinan kepada Tirto, "Banyak eks kombatan sudah kehilangan idealisme ketika masuk politik. Mereka kini cuma mencari duit dari kontrak-kontrak proyek."

Baca juga artikel terkait GERAKAN ACEH MERDEKA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan