tirto.id - Seorang Jenderal TNI diperiksa Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM. Komnas HAM membentuk lembaga ad hoc itu terkait kerusuhan, pembunuhan, dan pembumihangusan Timor Timur pasca-referendum 1999.
Pemeriksaan belum dimulai, sang jenderal berkilah. Ia ogah diperiksa seorang komisioner Komnas HAM yang hanya memakai sepatu sandal. Komisioner itu Asmara Nababan.
"Saudara mau saya periksa dengan mulut atau dengan sepatu?" ujar Asmara.
Sang jenderal pun turun harga dan bersedia diperiksa. Demikian diceritakan dalam Asmara Nababan: Oase bagi Setiap Kegelisahan (2011)yang disunting Maria Hartiningsih dan Stanley Adi Prasetyo.
Asmara pernah dua periode di Komnas HAM, 1993-1998 dan 1998-2002. Ia menjabat sebagai sekretaris jenderal lembaga tersebut pada 2000-2002. Setelahnya, ia menolak mengajukan diri untuk periode ketiga.
"Dulu saya menentang Pak Harto yang mencari jabatan periode ketiga. Kok sekarang saya melakukan perbuatan yang dulu kutentang," kata dia seperti dikutip koleganya, Soetandyo Wignjosoebroto.
Komnas HAM berdiri pada 1993 dengan keraguan besar di kalangan para aktivis pro-demokrasi. Mereka menganggapnya hanya cara Orde Baru meredakan tekanan dari dalam dan luar negeri.
Pada periode pertama, dipilih 25 orang sebagai komisioner. Sebagian besar berlatar belakang birokrat dan TNI/Polri. Sebagian kecil dari partai politik dan kampus. Dari LSM? Hanya Asmara Nababan. Komposisi ini semakin menebalkan keraguan.
Sebagian temannya meminta Asmara menolak posisi tersebut. Tapi bungsu dari 11 bersaudara ini maju terus. Pada 1993, Asmara berusia 47 tahun, termuda di jajaran komisoner.
"Saya membayangkan, masuk saja kalau ada gunanya, dan kalau tidak ada gunanya [saya akan] keluar. Saya bayangkan satu tahun. Satu tahun saya membuat evaluasi, keluar atau tidak. Setelah satu tahun saya membuat evaluasi pribadi, saya ingin melanjutkan…,” ujar Asmara saat diwawancarai majalah Jakarta-Jakarta (Juni 1997).
Ia bukan aktivis karbitan. Rekam jejak terbentang sejak awal 1970-an. Asmara ikut mendirikan Komite Anti Korupsi (KAK), turut mengampanyekan gerakan tidak memilih pada Pemilu 1971 atau Golput. Juga turun ke jalan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) karena dianggap memboroskan uang rakyat.
Perihal TMII, Asmara keras bak karang. Seumur hayat ia tak mau menginjakkan kaki di tempat yang digagas Tien Soeharto tersebut.
Suatu kali, kegiatan sekolah putrinya digelar di TMII. Sang istri, Magdalena Sitorus, membujuk agar Asmara menemani. Harus didampingi karena sang putri masih kecil.
"Saya lagi capek. Eh, dia tetap gak mau meski saya telah mencoba membujuknya. Akhirnya saya yang nyetir ke sana," kenang Magdalena dalam Asmara Nababan: Oase bagi Setiap Kegelisahan (2011).
Cendekiawan Arief Budiman menyatakan bahwa dia, Asmara, dan sejumlah anak muda lain suka bertemu di Balai Budaya, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka sering berdiskusi tentang masalah-masalah sosial.
"Orangnya terus terang, enak diajak omong, nggak main politik, apa adanya,” kata Arief.
Mereka yang kerap berdiskusi di Balai Budaya itulah, menurut Arief, yang menjadi motor gerakan anti-TMII, Golput, dan sejumlah isu lain.
Asmara menekuni aktivisme sambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sebelumnya pernah belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Lembaga Kesenian Jakarta (LKJ)--sekarang Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Setelah Peristiwa Malari, ia lebih banyak berkhidmat sebagai pengelola majalah anak-anak, Kawanku. Juga menjadi direktur eksekutif Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma), lembaga di bawah Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) yang kelak bersalin nama menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Perlawanan di Kampung Halaman
Lahir pada 2 September 1946 di Siborongborong, Tapanuli Utara, ia bernama lengkap Asmara Victor Michael Nababan. Asmara meninggalkan kampung halaman usai SMA untuk melanjutkan sekolah di Jakarta.
Ia merupakan bungsu pasangan Jonathan Laba Nababan dan Erna Intan Dora Lumbantobing. Keluarga ini terbilang makmur. Jonathan pernah jadi petinggi perkebunan di zaman Hindia Belanda, sementara Erna seorang guru.
Pasangan ini punya 11 anak. Kakak persis di atas Asmara adalah mantan jurnalis dan kini politikus PDIP, Pandapotan Maruli Asi atau Panda Nababan. Kakak yang lain, SAE Nababan, pernah menjadi pemimpin tertinggi atau ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Ketika ibunya sakit pada 1983, Asmara pulang ke Siborongborong. Magdalena dan tiga anak mereka ikut diboyong. Rencananya luhur: mengurus ibunda. Sedari awal dicanangkan hanya dua tahun di sana, nanti bergantian dengan para kakak.
Di kampung halaman, jiwa aktivis Asmara kembali bergelora. Di sela-sela mengurus ibu, ia membangun LSM yang menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat atas praktik pembangunan Orde Baru, yaitu Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH).
"Sejak Asmara aktif di KSPH, rumah kami banyak didatangi orang-orang yang punya masalah, terutama soal kasus tanah… Tanah begitu penting bagi mereka kerena menyangkut harga diri. Hidup mati masyarakat agraris bertumpu pada tanah," tulis Magdalena dalam memoarnya, Sepatu Emas buat Inang (2014).
Aksi paling fenomenal KSPH adalah mendampingi warga yang dipaksa pindah terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Inalum. Ganti rugi begitu rendah, hanya Rp 130 per meter. Warga meminta Rp 90.000.
Dengan paksaan, warga pindah. Di tempat baru, mereka tak bisa menanam padi karena jenis tanahnya hanya cocok untuk tanaman keras seperti kopi.
Bersama KSPH, warga pun menggugat ke pengadilan dan mendemo Bupati Tapanuli Utara.
Begitu kembali ke Jakarta pada 1985, Asmara menceburkan diri ke International NGO Forum on Indonesia (INGI) yang menjadi jembatan LSM Indonesia dengan LSM luar negeri. INGI dibentuk dengan tujuan menyampaikan masukan kepada Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) terkait pembangunan di Indonesia.
Per Maret 1992, seiring bubarnya IGGI, INGI berubah nama menjadi International NGO Forum on Indonesia Development (INFID). Pada 1994 sampai 1998, Asmara menjadi sekretaris eksekutif di INFID.
Asmara juga kembali ke lingkungan PGI. Ia menjadi sekretaris eksekutif di Jaringan Kerja-Kelompok Pelayanan Kristen (JK-LPK) PGI. Di JK-LPK ada Kelompok Kerja Pelayanan Lembaga Permasyarakatan (Pokja PLP)yang mengurusi para narapidana politik Orde Baru. Tak hanya narapidana, keluarga mereka juga dibantu. Misalnya, mengupayakan beasiswa untuk anak-anak narapidana.
Punya banyak kesibukan, namun urusan penampilan, Asmara jauh dari kemewahan. Ke mana-mana mengenakan sepatu sandal dan menyandang tas kain. Di dalam tas itu, selalu tersimpan berbungkus-bungkus rokok. Sejak muda begitu, demikian pula ketika bertugas di Komnas HAM.
"Sering saya sembunyikan karena [tas] sudah kumal. Tapi besoknya dia pakai tas seperti itu lagi. Berarti dia punya stok banyak," ujar mantan komisioner Komnas HAM, Zoemrotin KS.
Dituding Antek Asing
Di Komnas HAM, Asmara memahat sejumlah catatan. Pada 1994, ia diutus ke Aceh. Di sana ia sukses melobi Kapolda setempat untuk membebaskan 11 anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditahan.
"Asmara yang pertama kali ke Aceh untuk memulai pembongkaran otoritarianisme. Dalam hal penahanan warga negara Indonesia yang dikaitkan dengan GAM, misalnya. Hasilnya, pelepasan 11 anggota GAM yang ditahan," kata mantan Jaksa Agung dan koleganya di Komnas HAM, Marzuki Darusman dalam Asmara Nababan: Oase bagi Setiap Kegelisahan (2011).
Terkait KPP HAM Timor Timur, tekanan keras dari sejumlah kalangan menerjang. Kantor Komnas HAM beberapa kali didemo. Mereka berkumpul di depan pintu masuk sambil membawa aneka spanduk yang bertuliskan antara lain soal tudingan antek asing dan sogokan dolar dari luar negeri.
Hasil kerja KPP HAM Timor Timur diumumkan di pengujung Januari 2000. KPP HAM menemukan sejumlah bukti pelanggaran HAM berat. Juga menyebut indikasi penghancuran yang terencana dan sistematis. Pelanggaran itu berupa pembunuhan massal, penyiksaan, penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak, sampai pembumihangusan.
Sejumlah nama pejabat sipil dan militer yang diduga terkait dengan tragedi itu disebut pula. Salah satunya adalah Jenderal Wiranto, yang pada pasca-referendum adalah Panglima TNI.
Dari Swiss, di sela-sela kegiatan Forum Ekonomi Dunia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyatakan akan memberhentikan Wiranto sebagai Menko Polkam—jabatan yang diembannya saat hasil kerja KPP HAM disampaikan.
Seiring waktu, friksi internal Komnas HAM tak terhindarkan. Saat itu, orang luar menyebut ada faksi Djoko Soegianto (Ketua) dan faksi Asmara Nababan (Sekjen). Ada tiga perkara yang susah dicari titik temunya. Pertama, soal landasan hukum. Kedua, soal rencana PNS-isasi pegawai Komnas HAM. Ketiga, soal penanganan kasus.
Para staf pun terdampak. Sebagian dari mereka mengadu ke DPR. Publik kemudian tahu bahwa ada persoalan di lembaga tersebut. Pada 2002, Asmara terbebas dari semua itu ketika tak lagi di Komnas HAM.
Kelar pengabdian di Komnas HAM, ia ikut mendirikan lembaga riset dan advokasi isu-isu demokrasi, Demos, bersama sejumlah aktivis lain seperti Munir dan Th Sumartana.
Pada 2010, Asmara dianugerahi Yap Thiam Hien Award. Konsistensi dalam memperjuangkan dan menegakkan HAM menjadi alasan juri untuk memberikan penghargaan.
"Asmara mewakili sebagian karakter Yap Thiam Hien. Dia pejuang HAM yang konsisten, tidak mencari pujian dan penghargaan, bekerja tanpa berteriak," ujar Ketua Penyelenggara Yap Thiam Hien Award, Todung Mulya Lubis.
Kira-kira sebulan sebelumnya, pada 28 Oktober 2010, Asmara meninggal dunia saat menjalani perawatan di Tiongkok.
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi