Menuju konten utama
7 Juni 1993

Komnas HAM: 26 Tahun Tumpul karena Politik & Undang-Undang

Kendati sudah berumur lebih dari seperempat abad, Undang-Undang membuat sepak terjang Komnas HAM sedikit banyak terbentur.

Komnas HAM: 26 Tahun Tumpul karena Politik & Undang-Undang
Ilustrasi Mozaik Lahirnya Komnas HAM. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada 7 Juni 1993, tepat hari ini 26 tahun silam, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) resmi berdiri. Lembaga tersebut lahir setelah Presiden Soeharto menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Munculnya Keppres Nomor 50 sendiri menindaklanjuti lokakarya tentang HAM yang diprakarsai Departemen Luar Negeri (Deplu) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta pada 1991. Salah satu instrumen yang dijadikan acuan yaitu Paris Principle 1991.

Dalam instrumen tersebut dijelaskan bahwa guna merespons permasalahan HAM, maka tiap negara dapat membentuk institusi nasional yang efektif, layak, independen, punya yurisdiksi yang jelas maupun wewenang yang memadai. Agar Komnas HAM mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal, Keppres Nomor 50 juga menunjuk total 25 orang sebagai anggota. Mereka antara lain yakni Baharudin Lopa, Nurcholis Madjid, hingga Miriam Budiardjo.

Usai Orde Baru tumbang, kedudukan Komnas HAM lantas mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat dengan diundangkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 UU itu disebutkan, Komnas HAM adalah "lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia."

Penetapan UU 39/1999 merupakan kepanjangan tangan dari dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketetapan ini, antara lain, memberikan kewajiban kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintahan untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Sejak saat itu, Komnas HAM punya dua tujuan. Pertama, mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, maupun Deklarasi Universal HAM. Kedua, meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi masyarakat Indonesia serta kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Selain kewenangan di atas, Komnas HAM juga memiliki kapabilitas untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat serta melakukan pengawasan. Pengaturan mengenai kewenangan tersebut diatur lewat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri dari elemen Komnas HAM dan unsur masyarakat.

Lebih lanjut, kewenangan pengawasan Komnas HAM kemudian diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pengawasan oleh Komnas HAM dimaksudkan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang dilakukan secara berkala guna mencari serta menemukan ada tidaknya tindakan diskriminasi ras maupun etnis, yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengeluarkan rekomendasi.

Tak Pernah Disambangi Presiden

Perkara HAM menjadi masalah yang sensitif di Indonesia mengingat sejarah mencatat bahwa negara ini punya rekam jejak yang buruk terhadapnya.

Yang menyedihkan, keadaan ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak yang hendak naik ke tampuk kekuasaan untuk menggunakan persoalan HAM sebagai barang jualan mereka. Mereka berusaha meraih simpati masyakarat, khususnya mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM. Masyarakat diiming-imingi penyelesaian yang tuntas. Janji mereka: Korban akan dapat keadilan.

Pendekatan semacam ini diterapkan dengan getol oleh banyak politisi. Presiden Joko Widodo atau Jokowi salah satunya. Sejak maju dalam kontestasi Pilpres 2014 hingga 2019, misalnya, Jokowi gemar mengumbar "penyelesaian kasus HAM masa lalu." Namun mirisnya, Jokowi belum pernah melakukan kunjungan ke kantor Komnas HAM, dari pertama kali dilantik menjadi presiden, hingga saat ini.

Jokowi tidak sendiri. Presiden-presiden sebelumnya, terutama di era pasca-reformasi, seolah juga punya tradisi yang sama. Mereka tidak pernah pula menginjakan kakinya di kantor Komnas HAM.

Pada awal Desember 2018, saat peringatan Hari HAM Internasional, Jokowi sebetulnya dijadwalkan mendatangi Komnas HAM. Ia pun bersiap menjadi presiden pertama yang hadir di instansi tersebut. Namun, pada akhirnya, ia batal datang.

"Staf presiden yang memberitahu kami. Beliau tidak bisa hadir,” ujar Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, kepada reporter Tirto. Taufan menambahkan, Jokowi tengah mendatangi acara "yang tak bisa ditinggalkan sama sekali."

Absennya Jokowi di peringatan Hari HAM Internasional seketika dikritik para aktivis. Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, misalnya, menegaskan bahwa tidak hadirnya Jokowi bukan semata persoalan ada waktu luang atau tidak. Ini, tegas Andreas, dapat dimaknai sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah menepati janjinya sendiri menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, seperti yang dituangkan dalam Nawacita.

"Presiden boleh ganti, namun kita perlu membangun negara hukum lewat institusi, mekanisme, dan peraturan hukum. Upaya itu tidak terlihat pada Jokowi maupun pemerintahan Jokowi," kata Andreas.

Pernyataan senada juga diungkapkan Feri Kusuma, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Feri bilang, absennya Jokowi merupakan "bukti kalau dia tak benar-benar ingin kasus HAM selesai" dan menggunakan HAM sebatas sebagai "alat pencitraan."

"Dia hanya menjadikan penyelesaian HAM sebagai komoditas politik dan orang-orang sekeliling dia itu menjadi pemanis wacana HAM ke publik. Jokowi tidak sepenuh hati menyelesaikan kasus HAM," ungkapnya.

Infografik Mozaik Komnas HAM
Infografik Mozaik Komnas HAM. tirto.id/Lugas

Sampai Kapan Tumpul?

Di usianya yang menginjak 26 tahun, Komnas HAM setidaknya telah menyelidiki 13 kasus pelanggaran HAM berat. Sebanyak tiga kasus di antaranya, yakni kasus Timor Timur (1999), Tanjung Priok (1984), dan Abepura (2003), telah selesai diputuskan di pengadilan ad hoc.

Sementara sisanya, 10 kasus, dari kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, penghilangan paksa aktivis, Wasior dan Wamena, Talangsari, Penembakan Misterius (Petrus), pembantaian massal 1965, peristiwa Jambu Keupok, sampai simpang KKA Aceh, masih diupayakan untuk memperoleh pertanggungjawaban.

Namun, upaya untuk membantu korban pelanggaran HAM berat memperoleh keadilan rupanya tak semudah retorika yang sering diungkapkan Jokowi akan HAM itu sendiri. Tuntutan untuk menuntaskan kasus yang ada tidak diimbangi dengan kewenangan yang diberikan kepada Komnas HAM.

Meski menurut Undang-Undang Komnas HAM memiliki kapabilitas untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat dan pengawasan di dalamnya, lembaga ini hanya bisa memberikan rekomendasi kepada pemerintah.

Rekomendasi itu hanya bersifat morally binding — tidak ada kewajiban hukum bagi para pihak yang menerima rekomendasi mereka untuk menindaklanjuti. Faktor inilah yang mengakibatkan banyaknya pengaduan ke Komnas HAM tidak dapat tertangani dengan maksimal.

Agar dapat menjalankan tugasnya secara ideal, Komnas HAM sudah meminta pemerintah untuk memperluas cakupan kerja mereka dalam wujud hak menyidik dan menuntut, demikian menurut Komisioner Komnas HAM Chairul Anam. Ia mengusulkan pemerintah memberi hak tersebut lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Akan tetapi, usulan Komnas HAM ditolak Wakil Presiden Jusuf Kalla, seraya menyebutnya sebagai "sesuatu yang berlebihan."

"Komnas HAM [kalau] sudah diberi kewenangan penuntutan itu sudah [seperti] menjadi jaksa dan hakim. Padahal, Komnas HAM itu [tugasnya] tentu melaporkan apabila ada hal-hal itu, dan diselesaikan oleh sistem pengadilan kita," ujar JK di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (5/6/2018).

Alih-alih mempertegas pengusutan pelanggaran HAM, JK malah mengulang retorika usang pemerintah di belahan dunia mana pun bahwa upaya pengusutan HAM bukanlah perkara yang mudah. "Tidak terlalu mudah menyelesaikan peristiwa yang terjadi 20 sampai 30 tahun lalu. Bukan hanya negeri ini, Amerika pun belum bisa menentukan siapa pembunuh Kennedy [John F. Kennedy, Presiden ke-35 AS yang mati ditembak]," dalih JK.

Argumen JK sontak mendatangkan kritikan. Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) menegaskan bahwa permintaan Komnas HAM sangat beralasan. Ia berpendapat, pemberian kewenangan untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan kepada Komnas HAM sama seperti ketika KPK dilimpahi wewenang untuk mengusut kasus korupsi.

Asfinawati menjelaskan, selama ini, Kejaksaan Agung memberi porsi bagi Komnas HAM sebagai penyidik. Oleh Kejagung, Komnas HAM diminta untuk mencari bukti-bukti kasus pelanggaran HAM yang layak dibawa ke pengadilan. Setelah itu, barulah Kejagung menindaklanjuti bukti-bukti dari Komnas HAM sebelum akhirnya memutuskan siapa pihak yang bersalah.

"Memberikan kewenangan menuntut tidak berarti Komnas HAM menjadi hakim karena setelah penuntutan tetap akan diberikan ke pengadilan," Asfinawati menerangkan. "Memberi kewenangan penyidikan dan penuntutan kepada Komnas HAM juga tidak membuat pengadilan HAM bertambah karena [sebelumnya] memang sudah ada."

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara