Menuju konten utama
18 Januari 2015

Eksekusi Mati Zaman Jokowi dan Ironi Hak Asasi Manusia

Letup serentak.
Mawar hitam di muka
regu penembak.

Eksekusi Mati Zaman Jokowi dan Ironi Hak Asasi Manusia
Ilustrasi hukuman mati terdakwa narkoba di zaman presiden Joko Widodo. tirto.id/Gery

tirto.id - “Tak ada kebahagiaan hidup yang didapat dari menyalahgunakan narkoba. Negara harus hadir dan langsung bertempur melawan sindikat narkoba,” tulis Presiden Jokowi dalam akun Facebook miliknya. “Indonesia sehat, Indonesia tanpa narkoba.”

Saat Presiden Jokowi menuliskan status itu di laman Facebooknya, di Nusakambangan dan Mojosongo—dua daerah di Jawa Tengah yang letaknya 600 km dari Jakarta—aparat dari Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan eksekusi. Targetnya: terpidana narkoba yang berjumlah enam orang.

Di Nusakambangan, Cilacap, mereka yang dieksekusi antara lain Ang Kim Soei (warga negara Belanda), Marco Archer Cardoso Mareira (Brasil), Namaona Denis, Daniel Enemua (Malawi), dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia (Indonesia). Sedangkan di Mojosongo, Boyolali, ada Tran Thi Bich, warga negara Vietnam.

“Dor!” bunyi peluru menerjang tubuh mereka. Keenam terpidana mati tewas seketika.

Dari Cilacap dan Mojosongo, fokus kembali ke Presiden Jokowi. Di sela-sela aktivitas bersepeda santainya, ia mengucapkan pesan kepada negara lain yang mengkritik eksekusi mati terpidana narkoba. Tak hanya kritik, negara-negara seperti Brasil dan Belanda—yang warganya dieksekusi—bahkan menarik duta besarnya di Jakarta.

“Kita harus menghormati upaya negara lain yang dilakukan untuk warganya, begitu pula dengan warga negara kita di negara lain. Kita harus menghormati apa yang jadi kedaulatan sebuah negara,” katanya seperti dilansir laman resmi Setkab.

Pada 18 Januari 2015, tepat hari ini tiga tahun lalu, rezim Jokowi untuk kali pertama melakukan eksekusi mati kepada terpidana narkoba. Sebuah kebijakan yang memantik reaksi keras dari publik karena dianggap tidak sesuai dengan janji penegakan HAM yang pernah diucapkan waktu kampanye 2014.

Eksekusi-eksekusi Lainnya

Eksekusi 18 Januari 2015 adalah tahap pertama dari tiga tahap eksekusi sepanjang 2015-2016. Kebijakan hukuman mati Jokowi menyasar 18 terpidana kasus narkoba.

Tiga bulan kemudian, tepatnya 29 April 2015, Presiden Jokowi kembali melakukan hukuman mati. Kali ini, yang dieksekusi lebih banyak, yakni delapan orang. Mereka adalah Agbaje Salam, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze (warga Nigeria), Raheem Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brasil), Zainal Abidin (Indonesia), Andrew Chan, serta Myuran Sukumaran (Australia). Dua nama terakhir merupakan anggota “Bali Nine”—sebutan untuk sembilan orang Australia yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali karena berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia.

Setahun berselang, Presiden Jokowi lagi-lagi melakukan eksekusi. Kali ini kepada empat terpidana mati: Freddy Budiman (warga Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria), dan Michael Titus Igweh (Nigeria). Eksekusi dilaksanakan pada 29 Juli 2016.

Sementara pada 2017, pemerintah tidak melakukan eksekusi mati kepada terpidana narkoba. Menurut pengakuan Jaksa Agung H.M. Prasetyo, tidak adanya eksekusi mati karena terkendala “faktor yuridis.”

Faktor yuridis itu berkaitan dengan Putusan MK yang menghapus berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 yang mengatur pembatasan waktu pengajuan grasi ke presiden.

Putusan tersebut membebaskan terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja. Putusan MK juga turut mengubah aturan sebelumnya, yakni pengajuan grasi dilakukan paling lambat setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

“Sebenarnya saya sudah gatal ingin melakukan itu [eksekusi],” kata Prasetyo di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kejaksaan RI pada pertengahan Desember lalu seperti dikutip Antara.

Pelaksanaan hukuman mati terpidana narkoba diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta peraturan lain yang setingkat, seperti Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

Sejauh ini, menurut laporan Mahkamah Agung, jumlah terpidana mati terus bertambah. Pada 2016, Mahkamah Agung menerima 1.111 perkara narkoba di tingkat kasasi. Sebanyak 787 di antaranya telah diputus majelis hakim. Dari jumlah tersebut, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman mati terhadap 25 terpidana dan hukuman seumur hidup terhadap 45 terpidana.

Cerita dari Mary Jane sampai Freddy Budiman

Dalam pelaksanaannya, eksekusi mati terpidana narkoba yang digaungkan Presiden Jokowi bukannya tanpa kontroversi. Contohnya yang terjadi pada terpidana narkoba asal Filipina, Mary Jane. Seperti diketahui, Mary Jane ditangkap aparat pada April 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kg heroin di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta. Enam bulan kemudian, Pengadilan Negeri Sleman menetapkan hukuman mati dan akan dieksekusi pada gelombang kedua.

Namun, menjelang tenggat pelaksanaan, Mary Jane batal dieksekusi. Alasannya: Tintin Sergio, bos Mary Jane, menyerahkan diri kepada pihak berwajib Filipina dan tim pengacara menemukan bukti baru dalam kasus yang sedang berjalan. Berdasarkan bukti baru itu, Mary Jane bukan pelaku utama melainkan hanya korban perdagangan manusia.

Sebelumnya, Presiden Filipina waktu itu, Benigno Aquino, memohon kepada pemerintah Indonesia dan Presiden Jokowi agar tidak melaksanakan eksekusi terhadap Mary Jane Veloso. Aquino beranggapan Mary Jane justru bisa menjadi saksi kunci dalam penyelidikan sindikat narkoba di Filipina. Selain dari Aquino, desakan untuk menghentikan eksekusi Mary Jane juga datang dari masyarakat Indonesia.

Beda Mary Jane, beda pula Freddy Budiman. Dalam pelaksanaannya, terdapat dugaan kuat maladministrasi pada eksekusi mati Freddy. Bentuk maladministrasinya yaitu tentang pemberitahuan tentang hukuman mati bagi narapidana yang tidak sesuai undang-undang dan bentuk grasi.

Menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati, eksekusi mati Freddy—dan ketiga narapidana lain: Humprey Ejike Jefferson, Michael Titus Igweh, dan Seck Osmane—semestinya dilakukan setelah 3 hari atau 72 jam sejak menerima pemberitahuan, sesuai Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964. Tapi, mereka dieksekusi 2 hari setelah menerima info.

Lalu, untuk poin grasi sendiri, masih menurut Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati, Freddy dan tiga terpidana mati sama sekali belum menerima penolakan grasi yang diajukan kepada presiden. Padahal, apabila mengacu undang-undang tentang grasi, diatur bahwa “... pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.”

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M. Rum membantah tudingan maladministrasi. Menurutnya, proses eksekusi mati sudah dilakukan sesuai prosedur perundang-undangan.

“Kita sudah melakukan sesuai aturan. Kalau mereka melaporkan ke Ombudsman ya enggak masalah. Memang kinerja kita harus dinilai. Tapi kita yakin apa yang dilakukan sudah sesuai aturan,” ujarnya.