tirto.id - Jumat, 17 Februari, atau dua hari setelah gelaran Pilkada serentak di Indonesia, rumah mewah dua lantai di Jalan Teuku Nyak Arief, Lampriet, Banda Aceh, tampak lengang. Rumah yang sudah disulap sebagai markas pemenangan pasangan Muzakir Manaf-TA. Khalid ini hanya ada beberapa orang, termasuk seorang pemuda bertubuh gempal dan berkulit legam yang menyarankan saya menyambangi kantor DPA Partai Aceh di Batoh, Lueng Bata. “Di sana ramai,” katanya. “Karena proses rekap suara di situ.”
Pemandangan itu tampak kontras dan sangat tidak biasa. Selama proses Pilkada berjalan, Posko Pemenangan Pusat wakil gubernur petahana yang diusung Partai Aceh dan partai koalisi itu tak pernah sepi. Halaman kantor seluas lapangan voli selalu dipenuhi kendaraan roda dua dan empat. Bahkan sebagian tamu yang datang ke kantor ini terpaksa memarkirkan mobilnya di sisi badan jalan, berjejer hingga 200 meter, seperti terlihat sejak Rabu sore hingga malam di hari pemungutan suara.
Sementara kantor pemenangan Zaini Abdullah-Nasaruddin di Jalan Teungku di Blang, Lamdingin, tak kalah sepi. Tak ada lagi atribut kampanye yang sebelumnya memenuhi areal rumah gubernur petahana itu. Bahkan sebagian poster besar bergambar Zaini-Nasaruddin sudah sobek. Dari jauh, seorang pemuda sedang bersantai di balkon, mengisap rokok dalam-dalam. Selebihnya nyaris sepi aktivitas.
Di hari yang sama, Posko Pemenangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah di Jalan Sudirman, Lamteumen, juga tiada aktivitas mencolok. Hanya terlihat beberapa orang bercengkerama di kursi yang disusun melingkar, juga beberapa mobil dan sepeda motor di parkiran. Di rumah bergaya klasik inilah tim pemenangan mantan gubenur Aceh 2007-2012 Irwandi Yusuf sedang merekap suara dari seluruh Aceh.
Seusai hari pencoblosan, suasana di tiap-tiap kantor pemenangan para kandidat gubernur dan wakil gubernur Aceh, termasuk kedua kandidat terkuat, memang tidak sama lagi. Apalagi jika perolehan suara para jagoan seret, melenceng dari harapan.
Klaim Kemenangan
Turun dari mobil Range Rover Freelander hitam, Irwandi Yusuf yang didampingi istrinya, Darwati A. Gani, tampak sumringah. Matanya agak merah, tapi ekspresinya masih bersemangat. Mengenakan setelan kemeja putih lengan panjang dipadu jas hitam, dengan topi khas pilot hijau lumut bertengger di kepalanya, Irwandi menyalami satu per satu anggota tim pemenangan yang sudah menunggunya di pintu rumah. Awak media yang sejak petang menunggu di kantor DPD Partai Demokrat Aceh tak alpa mengabadikan sosok yang dikenal sebagai ahli propaganda GAM itu.
Dua hari setelah Pilkada serentak, untuk kedua kalinya, kubu Irwandi-Nova Iriansyah menggelar konferensi pers soal perolehan suara terakhir yang sudah masuk ke Sekber mereka. Intinya, mereka mengumumkan keunggulan atas pesaing terdekat mereka, Muzakir-Khalid. Suara keduanya sama-sama di atas 30 persen, tetapi kubu Irwandi unggul 6 persen.
Nova, yang didaulat untuk memaparkan hasil sementara berbasis formulir C1, dengan percaya diri mengumumkan pihaknya sebagai pemenang Pilkada Aceh.
Tak mau kalah, kubu Muzakir-Khalid juga menggelar konferensi pers di kantor pemenangan mereka untuk kali kedua pada Senin malam, 20 Februari. Bila di konferensi pers perdana pada Rabu malam, 15 Februari, mereka mengklaim kemenangan sebesar “41 persen” lewat hitung cepat, di hari Senin itu mereka tidak lagi bicara soal keunggulan.
Juru bicara Partai Aceh Suadi Lawueng, dalam keterangan kepada wartawan, hanya meminta kader partai dan tim pemenangan pasangan calon (paslon) Muzakir-Khalid untuk “tetap tenang menghadapi isu yang berkembang.” Adi, demikian pria bertubuh mungil itu disapa, menyerukan tim di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, dan gampong agar mengawal proses penghitungan suara di wilayah masing-masing. Baik Muzakir maupun Khalid tak tampak di lokasi acara.
Adi yang didampingi beberapa petinggi Partai Aceh seperti Teungku Adly Tjalok menjawab ragu atas pertanyaan wartawan soal berapa persentase suara yang diperoleh jagoannya. Adi beralasan, timnya masih bekerja memvalidasi jumlah suara lewat formulir C1. Ketika terus ditanya jumlah suara yang masuk ke pihaknya, sekali lagi Adi tak menjawab secara lugas, “Kita menghargai pihak penyelenggara Pilkada, yaitu KIP Aceh.”
Dua Sahabat di Persimpangan Jalan
Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf ialah sahabat dekat. Keduanya memegang jabatan penting di Gerakan Aceh Merdeka. Irwandi adalah juru propaganda GAM dan Muzakir adalah panglima GAM.
Meski berseberangan, keduanya saling menghargai dan menghormati. Dalam setiap kesempatan, Muzakir selalu memanggil “Bang” kepada Irwandi, demikian pula Irwandi memanggil “Mualem” untuk Muzakir. Setelah itu mereka pasti berbicara sambil mendekatkan wajah. Saking akrabnya, bahkan Irwandi dan Muzakir pernah tinggal satu rumah di jalan menuju Lamrueng, Aceh Besar.
Jauh sebelum hiruk-pikuk Pilkada 2017, dua tahun lalu keduanya sempat lepas kangen di sebuah hotel di Jakarta Pusat. Pertemuan dua petinggi Aceh Merdeka itu berlangsung hingga larut malam.
Munawar Liza Zainal, petinggi Partai Nasional Aceh—pecahan Partai Aceh yang didirikan Irwandi dan beberapa elit GAM jelang Pilkada 2012—melukiskan pertemuan itu sebagai ajang nostalgia. “Setelah sekian lama tak berkomunikasi, tadi malam mereka bertemu untuk bersilaturahmi dan membuka kembali hubungan yang selama ini terputus,” kata Munawar, salah satu peserta pertemuan, seperti dilansir acehkita.com.
Seusai pertemuan itu, menyeruak kabar kalau Irwandi sedang menjajaki berpasangan dengan Mualem dalam Pilkada 2017. Apalagi, dalam pertemuan itu, hadir beberapa sosok yang dikenal dekat dengan mereka seperti Amir Faisal Nek, Teuku Rafli Pasha, Teuku Irsyadi, Izil Azhar atau Ayah Merin, juga Munawar Liza. Namun, seiring berlalu waktu, wacana menduetkan mereka dalam satu paket menghilang dengan sendirinya. Ada kabar masing-masing enggan menjadi nomor dua.
Hubungan Irwandi dan Muzakir memang naik-turun. Perhelatan politik di Aceh pasca-damai membuat mereka sering berseberangan jalan. Pada pemilihan gubernur 2006, misalnya, Mualem lebih memilih menjaga perasaan orang tua GAM seperti Malik Mahmud, Muhammad Usman Lampoh Awe, dan Zaini Abdullah, dengan mendukung pasangan Ahmad Humam Hamid-Hasbi Abdullah, alih-alih mendukung Irwandi yang sama-sama dari GAM lapangan.
Majunya Irwandi sebagai calon gubernur Aceh pada 2006 lewat jalur independen memang tak bisa dilepaskan dari gagalnya komunikasi politik para elite GAM. Padahal, pasca-MoU Helsinki 2005, GAM sudah menyatakan dengan lugas mengubah haluan perjuangan: dari gerakan bersenjata ke perjuangan politik. Momentum Pilkada 2006 dan wacana pendirian partai lokal menjadi basis medan perang baru untuk gerakan pembebasan Aceh yang dibangun Hasan Tiro pada 1976 itu.
Upaya ke arah itu terlihat jelas, misalnya, ketika elite GAM menggelar Duek Pakat Bansa Aceh Ban Sigom Donja di Gedung Dayan Dawood, 20-21 Mei 2006 . Forum rapat orang Aceh seluruh dunia itu sebenarnya berhasil memilih wakil dari GAM untuk bertarung dalam Pilkada 2006. Tgk Nashiruddin bin Ahmed-Muhammad Nazar, yang disokong para Panglima Wilayah GAM, secara mengejutkan mengungguli pasangan Hasbi Abdullah-Ahmad Humam Hamid, calon gubernur yang dijagokan elite GAM dari kalangan tua.
Hasil rapat tersebut tak disambut gegap-gempita, seperti layaknya sebuah keputusan penting organisasi perlawanan. Aroma perpecahan antara GAM dari kelompok muda dan tua tak terelakkan. Teungku Nash, sapaan akrab Nasruddin bin Ahmed, kemudian memilih mundur di tengah jalan. Kuat dugaan, mantan anggota juru runding GAM itu sengaja diminta mengundurkan diri oleh elite tua GAM. Mundurnya Tgk Nash melempangkan jalan bagi Hasbi Abdullah, adik kandung Menteri Luar Negeri GAM Zaini Abdullah.
Untuk meredam perpecahan yang lebih besar, seusai rapat tersebut, GAM membuat pernyataan penting dan mengejutkan: tidak ikut dalam Pilkada 2006, dan memilih fokus pada ide pembentukan partai politik lokal untuk menghadapi Pemilu 2009.
GAM mempersilahkan kader-kader terbaiknya untuk bertarung dalam Pilkada. Di tengah kegalauan sikap GAM tersebut, dari Calang, Aceh Jaya, datang kabar yang lagi-lagi mengejutkan. Humam Hamid dan Hasbi Abdullah dideklarasikan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dari Partai Persatuan Pembangunan.
Para mantan Panglima Wilayah GAM plus aktivis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) bertindak cepat mencari pengganti Tgk Nash yang memilih mundur itu. Sejumlah nama sempat disorongkan seperti MN Djuli. Namun, menurut informasi yang beredar saat itu, tokoh GAM yang lama bermukim di Malaysia itu tidak begitu dikenal di lapangan.
Nama yang tersisa dan sedang populer saat itu adalah Irwandi Yusuf, yang mewakili GAM di Aceh Monitoring Mission. Irwandi relatif lebih bisa diterima oleh pasukan GAM di lapangan. Setidaknya, dari 17 Panglima Wilayah dalam teritorial GAM, 15 di antaranya dengan suara bulat mendukung Irwandi untuk bertarung dalam Pilkada 2006. Dua lainnya, seperti Panglima GAM Wilayah Pidie dan Pasee, memilih ikut kelompok tua: mendukung pasangan Humam-Hasbi.
Posisi Muzakir dilematis. Di satu sisi, ia harus mendengarkan aspirasi para panglima wilayah di bawah komandonya. Tapi, di lain sisi pula, ia tak bisa mengabaikan peunutoh kelompok tua GAM. Dalam pelbagai kesempatan, Mualem digiring untuk secara terbuka mendukung pasangan Humam-Hasbi. Dalam pertemuan di Wisma Daka pada Agutus 2006, misalnya, Muzakir menyatakan Komite Peralihan Aceh (KPA)—lembaga tempat bernaung para mantan kombatan GAM—mendukung pasangan Humam-Hasbi.
“Kami selaku Ketua KPA Pusat dan seluruh KPA wilayah, mendukung paket Humam Hamid dan Hasbi Abdullah,” kata Mualem yang didampingi Ilyas Abed, seorang petinggi GAM.
Empat hari kemudian, di Kantor KPA di kawasan Lamdingin, Kuta Alam, juru bicara KPA Sofyan Dawood didampingi beberapa petinggi GAM, ulama, akademikus, dan aktivis mendeklarasikan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur independen. Dawood menegaskan bahwa GAM secara organisasi tetap tidak akan maju dalam prosesi Pilkada 2006. “Ini atas nama perorangan personel GAM,” kata bekas juru bicara militer Aceh Merdeka itu.
Menariknya, seminggu menjelang pemilihan yang dihelat pada 9 Desember 2006, Ketua KPA Muzakir Manaf mencabut dukungan terhadap pasangan Humam-Hasbi. Penarikan dukungan yang ditandatangani oleh 18 perwakilan KPA seluruh Aceh itu disebut-sebut untuk menjaga agar suara GAM tidak pecah dalam Pilkada.
“Secara organisasi, kita netral, tidak mendukung siapa pun,” kata Mualem. Ia membolehkan masing-masing pribadi di KPA untuk punya pilihan.
Dalam Pilkada itu, pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, mantan pentolan SIRA, terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh dengan perolehan suara mencapai 38.20 persen, unggul jauh di atas pasangan yang disokong kalangan tua GAM, Humam-Hasbi, yang hanya meraih 14 persen suara.
Pilkada Berdarah 2012
Irwandi Yusuf cukup optimis bakal diusung Partai Aceh dalam Pilkada 2011. Dalam beberapa kesempatan, alumnus S2 Fakultas Kedokteran Hewan, Oregon State University (1993), ini sangat berharap didukung oleh Partai Aceh.
“Tahap pertama tentu melalui partai yang saya besarkan dan saya biayai, yaitu Partai Aceh. Kalau Partai Aceh tidak berkenan mencalonkan saya, kan, ada jalur independen dan ada partai lain,” kata Irwandi kala itu.
Harapan diusung partai besutan kombatan GAM itu buyar setelah politikus Partai Aceh Adnan Beuransah menyatakan PA tidak akan mendukung Irwandi Yusuf—saat itu masih menjabat Gubernur Aceh—sebagai kandidat gubernur dari partai yang diketuai Mualem.
Partai Aceh memang cukup hati-hati mengeluarkan pernyataan terkait siapa yang bakal diusung dalam Pilkada kedua pasca-Helsinki. Tapi, dalam rapat pimpinan PA/KPA di kediaman mantan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, di kawasan Geuceu Kayee Jatoe, Banda Aceh, dengan penuh percaya diri Mualem mengumumkan PA mengusung Zaini Abdullah dan dirinya sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Itu mengubah konstelasi dalam tubuh eks-petinggi GAM. Irwandi jelas tak punya kesempatan lewat pintu Partai Aceh. Apalagi Mualem telah meminta Irwandi mengurungkan niat mencalonkan diri sebagai gubernur dan memilih ikut keputusan partai.
“Sebaiknya kita satu suara saja, dan mendukung pasangan yang sudah ditetapkan ini,” kata Muzakir, kendati ia tak mempersoalkan jika Irwandi tetap memilih maju. “Itu terserah Bang Irwandi, tapi saya harap dia mundur dan satukan suara dengan Partai Aceh.”
Masuknya nama Muzakir sebagai calon wakil gubernur menunjukkan petinggi GAM tidak percaya diri bisa mendulang suara jika hanya mengandalkan nama Zaini Abdullah. Nama Zaini berada di bawah bayang-bayang Malik Mahmud. Partai Aceh tampaknya belajar banyak dari kegagalan pasangan Humam-Hamid dalam Pilkada 2006 setelah dikalahkan oleh Irwandi-Nazar.
Rupanya keputusan rapat yang dipimpin Malik Mahmud itu pun tak bulat. Menduetkan Zaini-Muzakir mendapat penolakan dari internal KPA/PA. Teungku Ir Liggadinsyah, saat itu juru bicara Partai Aceh, mengatakan kepada wartawan bahwa usulan nama Zaini-Mualem tidak mendapat dukungan dari mayoritas Ketua KPA/PA Wilayah.
“Sebanyak 20 dari 23 wilayah menolak untuk menyetujui usulan pimpinan karena yang dicalonkan kami nilai tidak layak dan bernuansa nepotisme,” ujar Linggadinsyah. Menurutnya, rapat dengan agenda tunggal menentukan Cagub dan Cawagub Aceh berakhir deadlock. Ia mengklaim, 20 dari 23 total Ketua KPA/PA menolak keputusan pimpinan, di antaranya Muharram (Ketua KPA Aceh Besar), Mukhlis Basyah (Ketua PA Aceh Besar), Izil Azhar (Ketua KPA/PA Sabang), Saiful Cagee (Ketua KPA Bireuen), Darwis Jeunieb (Ketua PA Bireuen), Abu Sanusi (Ketua KPA/PA Aceh Timur dan Langsa), Bakhtiar Syarbini (Ketua KPA/PA Aceh Jaya), dan banyak lagi.
Mualem murka. Urusan internal yang seharusnya tak bocor ke publik malah berseliweran di media online dan jejaring sosial. Muzakir mempertanyakan kapasitas Linggadinsyah, “Siapa Linggadinsyah, mempertanyakan keputusan pimpinan partai? Dia itu juru bicara haram.”
Perpecahan di tubuh Partai Aceh, yang dibangun para mantan kombatan, memang tak terelakkan. Beberapa petinggi ngotot mendukung Irwandi Yusuf. Buntutnya, beberapa tokoh GAM yang disinyalir mendukung Irwandi dicopot dari jabatan di KPA.
Muharram Idris, misalnya, dicopot sebagai Ketua KPA Aceh Rayeuk dan digantikan oleh Effendi Kobra. Linggadinsyah, yang terang-terangan menolak keputusan pimpinan GAM, diberhentikan dari jabatannya. Nasib serupa menimpa Saiful Husein alias Cagee yang, saat penetapan calon gubernur dari PA, mengembalikan stempel KPA dan mundur sebagai Ketua KPA Wilayah Batee Iliek. Posisinya kemudian diisi oleh Darwis Jeunieb, mantan Panglima GAM Wilayah Batee Iliek.
Kelak, Saiful Cagee meninggal setelah mendapatkan tiga kali tembakan di kepala dan kaki sampai otaknya berhamburan. Kejadian tragis itu tepat di depan warung kopi miliknya, Gurkha, di Matangglumpang Dua, pada tengah malam 22 Juli 2011. Motifnya masih sumir. Banyak yang mengaitkan kejadian itu dengan naiknya tensi Pilkada 2006. Irwandi merasa sangat terpukul atas kejadian yang menimpa salah seorang pendukung setianya itu.
Media mencatat, Pilkada 2012 adalah pesta politik paling berdarah di Aceh. Sedikitnya, 14 orang tewas termasuk para pekerja dari pulau Jawa. Pelaksanaan Pilkada sempat ditunda berkali-kali hingga molor pada 9 April 2012–dari jadwal semula Desember 2011. Kandidat pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf memenangkan pertarungan setelah meraup lebih dari 50 persen suara, unggul atas Irwandi Yusuf yang mendapatkan sekitar 30 persen suara.
Kembalinya 'Para Penyusup'
Sosok pria bertubuh tegap berkulit hitam menyandarkan tubuhnya ke dinding. Penampilannya terlihat lebih muda dengan kemeja biru tua lengan panjang yang dilipat sebatas siku dan sepatu kulit cokelat dipadu jins pudar. Di sudut ruangan berpendingin udara itu ia berdiri mematung. Matanya sesekali menatap lurus tempat Irwandi Yusuf, Nova Iriansyah, dan beberapa pengurus partai pengusung mengelar konferensi pers. Ia terlihat asik membaca dan membalas pesan ponsel yang dipegangnya, kadang berbicara setengah berbisik dengan Teuku Hadi, mantan perwakilan GAM di Jerman, yang berdiri di samping kanannya.
Kehadiran pria yang disapa Ayah Merin itu tak begitu menyita perhatian. Awak media lebih fokus meliput konferensi pers ketimbang sosok bernama lengkap Izil Azhar itu. Sejak setahun silam, Ayah Merin santer diberitakan sudah berpaling dari Irwandi Yusuf. Disebut-sebut, ia kembali merapat ke kubu Muzakir Manaf.
Isu ini kian mengembung setelah Mantan Panglima GAM Wilayah Sabang itu absen dalam sejumlah acara penting Partai Nasional Aceh, termasuk saat rapat pimpinan partai pada Oktober 2015. Bersama Sofyan Dawood, Ayah Merin adalah pendiri sekaligus pengurus teras partai.
Kepada awak media yang meliput acara tersebut, Irwandi mengatakan alasan absennya mereka. “Sofyan Dawood dan Ayah Merin … lagi menjalankan tugas penting partai,” katanya.
Sebagai ahli propaganda, Irwandi memang lihai bermain siasat. Di masa konflik, namanya nyaris tak terekam di media. Ia mampu berperan ganda: seorang dosen dan pemasok informasi tentang GAM bagi kalangan wartawan. Pernyataan yang dibuat GAM di media, terutama untuk media asing, sebagian hasil olahannya. Ia menulis dan menerjemahkan pernyataan atas nama Muzakir Manaf dan Sofyan Dawood. Tidak mengherankan jika namanya tak sekali pun muncul di media kala itu. Baru setelah penangkapannya di Jakarta saat darurat militer (2003-2004) di era Presiden Megawati, publik dan awak media mengetahui bila Irwandi adalah propagandis GAM.
Irwandi berulang kali mengatakan bahwa partai yang dibentuknya, PNA, tidak pecah. Awalnya ia menolak menjelaskan secara detail apa tugas partai yang dibebankan kepada Sofyan Dawood dan Ayah Merin. “Sebenarnya saya malas membuka hal yang sebenarnya, karena mengurangi efek yang akan kita raih. Tapi supaya tidak negatif, saya akan buka hari ini,” katanya ditulis sebuah harian lokal di Aceh.
Selain Sofyan dan Ayah Merin, kata Irwandi, ada lima orang lagi yang mendapat tugas khusus dari PNA. Mereka diperintahkan untuk mendekati partai dan calon yang berpotensi maju dalam Pilkada. Pada awal Oktober 2015, Ayah Merin dan Sofyan terlihat makan malam bersama di rumah makan Tomyan, di kawasan Peuniti, Banda Aceh. Foto mereka saat itu bertebaran di sosial media, dengan beragam spekulasi. Apakah mereka sedang menjalankan tugas partai atau sudah merapat ke kubu Mualem—sapaan akrab Muzakir Manaf?
“Mana ada. Itu tidak benar, tidak ada itu penugasan partai. Saya tidak pernah ditugaskan oleh partai, justru saya yang menugaskan partai,” kata Sofyan.
Sejak itu, Sofyan Dawood seperti menjauh dari Irwandi. Mantan Panglima GAM Wilayah Pasee itu lebih sering terlihat bersama Tarmizi A. Karim, calon Gubernur Aceh yang diusung Partai Golkar, Nasdem, dan PAN dalam Pilkada 2017. Terakhir, mantan juru bicara militer GAM itu dipercaya sebagai ketua tim pemenangan pasangan Tarmizi A. Karim-T. Machsalmina Ali. Ini mengejutkan. Selama dua kali Pilkada Aceh sebelumnya, sosok yang disapa Aduen itu selalu berada di balik kubu Irwandi Yusuf.
Seusai konferensi pers, saya bertanya kepada Irwandi soal apa yang saya duga sebagai operasi penyusupan ke kubu lawan. Irwandi lalu tertawa. “Mereka itu infiltrator,” jawabnya. “Sudah lihat, kan? Mereka satu per satu kembali kepada saya.”
Irwandi tidak menjawab ketika ditanyakan siapa lima orang lagi yang disebutkannya “menjalankan tugas khusus partai.” Ia berlalu ke dalam mobil berpelat BL 666 JM.
Detik-detik terakhir menjelang hari pencoblosan, Sofyan Dawood menggelar konferensi di Aceh Timur, jauh dari Banda Aceh. Kepada awak media, Sofyan mengatakan tidak lagi berada di tim Tarmizi Karim.
“Sebagai ketua tim, saya tak pernah diajak diskusi dan koordinasi,” katanya, yang mengaku belum menetapkan pilihan akan berlabuh ke mana. Hanya saja, ketika menggelar konferensi pers itu, ia ditemani oleh Islamuddin, mantan Wakil Walikota Sabang, yang juga anggota tim pemenangan Irwandi Yusuf.
Siasat Tingkat Tinggi
Suara yang masuk ke Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU untuk Pemilihan Gubernur Aceh 2017 hingga Kamis (23/2) pukul 12.30 mencapai 2.511.709 suara atau 99,30 persen. Pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah memperoleh 889.927 suara atau 37,16 persen, unggul dari pesaing terdekatnya Muzakir Manaf-TA Khalid yang mengumpulkan 761.354 suara atau 31,79 persen.
Pasangan Irwandi-Nova menang di 14 kabupaten/kota, beberapa di antaranya memiliki jumlah pemilih cukup besar seperti Bireuen, Aceh Besar, Banda Aceh, dan Aceh Tamiang.
Sebaliknya Muzakir-Khalid unggul di 8 kabupaten/kota. Di Aceh Utara, kabupaten dengan jumlah pemilih paling besar di Aceh, pasangan yang diusung Partai Aceh ini meraup 45,9 persen. Mereka juga menang di Aceh Timur, Pidie, Kota Lhokseumawe, Aceh Barat, Pidie Jaya, Aceh Jaya, dan Aceh Selatan.
Irwandi hanya memperoleh 14 persen di Aceh Utara, masih kalah dari calon nomor urut 1, Tarmizi A. Karim—mantan penjabat gubernur Kalimantan Timur, Aceh dan Kalimantan Selatan—yang meraih 33 persen suara. Seperti Muzakir, Tarmizi juga putra Aceh Utara, dan pernah menduduki kursi Bupati Aceh Utara saat Aceh masih dibalut konflik.
Perolehan suara Tarmizi yang cukup besar ini seperti mengonfirmasi “tugas khusus partai” yang dibebankan Irwandi Yusuf kepada Sofyan Dawood. Majunya Tarmizi dalam kontestasi Pilkada Aceh 2017 secara matematis menguntungkan Irwandi, yang sadar tak akan mampu meraup banyak suara di basis Partai Aceh itu. Kehadiran Tarmizi setidaknya bisa memecah suara elektorat. Sebagai mantan Bupati Aceh Utara, Tarmizi tentu masih punya kans mendulang suara di Kabupaten petro dolar itu, sesuatu yang tak akan mampu dilakukan oleh Irwandi.
Dengan menyusupkan Sofyan ke kubu Tarmizi, Irwandi berharap bisa menggerus suara Mualem. Strategi ini menjadi kunci dalam memenangkan pertarungan.
“Banyak yang menyesal memilih Tarmizi,” kata seorang anggota tim pemenangan Partai Aceh. “Mereka memilih Tarmizi karena dianggap akan menang.”
Hal serupa dilakukan Irwandi di Pidie, kabupaten yang memiliki jumlah pemilih nomor tiga terbesar di Aceh. Caranya, membantu kebutuhan KTP Zakaria Saman atau akrab disapa Apa Karya agar lolos persyaratan yang ditetapkan KIP untuk bisa menjadi kandidat. Hal ini terbukti. Apa Karya, kandidat nomor urut 2, mampu mendulang perolehan suara secara signifikan, nomor tiga tertinggi di Pidie, meski raihan suara untuknya di tingkat provinsi nomor dua dari bawah. Keberadaan kandidat Zaini Abdullah (meraup suara tak lebih dari 7 persen), yang juga putra Pidie, semakin mempermulus strategi itu.
Menanti Jawara
Menilik jumlah suara di Situng KPU, sebenarnya sang pemenang Pilkada Aceh 2017 sudah bisa dipastikan milik pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah. Meski begitu, sang jawara secara resmi baru diketahui setelah Komisi Independen Pemilihan (KIP) menggelar sidang pleno rekapitulasi dan pengumuman perolehan suara tingkat provinsi.
Hendra Fauzi, Komisioner KIP Aceh, menuturkan KIP Aceh baru menggelar sidang pleno setelah semua hasil rekap dari kabupaten/kota diterima pihaknya. Rekap hasil perhitungan di kecamatan harus sudah disampaikan ke KIP kabupaten/kota pada 16-22 Februari. Sementara rekap dan pengumuman hasil perhitungan di tingkat kabupaten/kota harus siap pada 22-24 Februari.
“Kita di KIP masih menunggu hasil pleno di tingkat Kabupaten/kota,” katanya, akhir pekan kemarin. Menurutnya, rekap dan pengumuman tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur akan dilangsungkan KIP pada 25-27 Februari 2017.
Namun, siapa pun yang nanti diumumkan sebagai pemenang Pilkada Aceh, hemat saya, hendaknya berkaca pada kebesaran hati Zakaria Saman alias Apa Karya, calon gubernur yang paling santai menerima hasil Pilkada. Selama Pilkada, Apa Karya adalah bintang. Ia menebar keceriaan sepanjang Pilkada, dengan mengusung politik kegembiraan. Perolehan suaranya yang tak lebih dari 6 persen tidak bikin ia sedikit pun terlihat kecewa maupun sedih. Apa Karya menjadi antitesis dari persaingan politik elite mantan pejuang GAM.
Dalam acara kopi pagi dengan para wartawan di Sekber, tempat berkumpulnya jurnalis di Banda Aceh, 18 Februari lalu atau tiga hari setelah gelaran Pilkada serentak, mantan Tuha Puet Partai Aceh itu meminta semua calon untuk menerima apa pun hasil Pilkada.
“Bek rioh-rioh,” katanya dalam bahasa Aceh.
Ia meminta siapa pun tak boleh mencederai perdamaian hanya karena gagal meraih ambisi politik. Sepatutnya, kandidat yang menang segera merangkul pihak yang kalah. Bersama-masa membangun Aceh tercinta, alangkah bijaknya.
Sebagaimana kolega saya menulis di Tirto, dua hari lalu, pekerjaan rumah para pemimpin politik di Aceh mesti menjawab sejumlah problem mendasar rakyat: ia harus menurunkan ranking kemiskinan; ia harus memperbaiki peringkat pendidikan; ia juga harus menjalankan program-program pemberantasan korupsi; dan membuat strategi-strategi terperinci untuk melawan gizi buruk atau wabah penyakit. Juga yang tak kalah penting: menyelesaikan kejahatan kemanusiaan masa lalu di Aceh.
Penulis: Taufik Al Mubarak
Editor: Fahri Salam