Menuju konten utama

Pertarungan Elite GAM, Dendam dan Mukjizat

Calon walikota petahana Banda Aceh terjungkal lewat golput dan pesaingnya.

Azhari Aiyub

tirto.id - Apa yang paling pukimak selama berlangsung tahapan Pilkada 2017 di Aceh adalah perintah jaga malam bagi warga, atau di Jawa disebut ronda. Pengerahan warga negara untuk mengawasi lingkungan di sekitar tempat tinggalnya ini sempat dibayangkan Agus Yudhoyono (calon gubernur Jakarta 2017 berlatar belakang militer) sebagai neighborhood watch untuk menenangkan kepanikan penduduk DKI Jakarta sesaat setelah geng Si Pincang merampok sebuah rumah di Pulomas.

Perintah ini datang dari otoritas keamanan yang mengimbau pemuka-pemuka kampung di Aceh agar berperan mengamankan Pilkada. Seruan ini tidak dilakukan secara tertulis, sebagaimana seharusnya praktik administrasi negara, melainkan melalui pengarahan. Koramil atau Polsek memanggil para keuchik atau kepala desa. Keuchik menyampaikan perintah ini kepada masyarakat dan menekankan bahwa pelaksanaannya akan diawasi Babinsa.

Jaga malam bukanlah sesuatu yang baru serta, setidaknya bagi saya, menyulut sejenis dendam kesumat. Belasan tahun lalu, ketika provinsi ini masih didera konflik separatisme, penguasa Darurat Militer mengerahkan pemuda-pemuda dewasa untuk menjaga kampung mereka dari cengkeraman Gerakan Aceh Merdeka. Dengan cara ini pula militer dapat dengan mudah mengidentifikasi keterlibatan penduduk dengan gerakan perlawanan berdasarkan daftar hadir jaga malam. Kalau kau tidak pernah mencontreng daftar hadir, urusannya bakal panjang, jika bukan hidup kau akan kelar.

Namun mematuhi perintah ini pun bukanlah suatu jaminan. TNI atau Brimob sewaktu-waktu bisa datang ke pos jaga dan mereka selalu bisa menemukan kesalahan para penjaga malam—sangat tergantung suasana hati serdadu-serdadu itu. Apakah karena mereka mendapati ada satu-dua orang yang ketiduran atau karena melihat beberapa orang sedang asyik bermain domino. Terhadap kesalahan-kesalahan ini selalu ada hukuman. Apa yang paling diingat adalah hukuman direndam di dalam comberan. Itu dilakukan sampai serdadu-serdadu sialan itu puas.

Karena pada masa Darurat Militer saya tinggal di Banda Aceh, ibukota provinsi yang relatif tenang selama konflik, oleh satu dan lain hal saya beberapa kali lolos. Tapi tidak pada Pilkada 2017.

Perintah jaga malam ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada kampung-kampung, terutama di sekitar Banda Aceh, yang mengabaikannya sama sekali. Mereka menolak mengorbankan waktu tidur mereka, sementara para politikus jelas-jelas sedang ngocok. Beberapa kampung lain hanya melaksanakannya pada malam menjelang hari H dengan jaga malam massal.

“Kalau tidak jaga malam, tidak enak dengan kampung sebelah,” kata seorang teman saya beralasan. Sementara yang paling sial bahkan sudah melaksanakannya sebulan sebelum kampanye Pilkada 2017 dimulai.

Pendekatan khas Orwellian ini—menjadikan anggota masyarakat sebagai CCTV negara untuk saling mengintai dan mengawasi—membuktikan untuk kesekian kali bahwa negara masih memandang kejahatan seolah-olah hanya bisa dilakukan oleh anggota masyarakat, bukan misalnya oleh partai politik tempat hampir sebagian besar pembunuh, bandar narkoba, pencuri uang negara, dan pengemplang pajak bersembunyi.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Pilkada 2017 di Aceh diramalkan akan berlangsung dalam suasana penuh kekerasan. Tapi kekerasan-kekerasan yang pernah terjadi sebelumnya hampir tidak pernah berasal dari anggota masyarakat.

Untuk itu, perlu melihat sekilas lanskap kekerasan dalam rentang sekitar 10 tahun terakhir yang pusarannya berlangsung dalam arena pesta demokrasi lima tahunan. Sejak diteken Perdamaian Helsinki 2005 yang mengakhiri konflik bersenjata selama 30 tahun antara RI dan GAM, Aceh sudah melaksanakan dua kali Pilkada dan Pileg. Keduanya dikotori oleh teror dan pembunuhan.

Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh

Allan Nairn, jurnalis AS, misalnya mengungkapkan bahwa Kopassus, elite tempur TNI, mendalangi beberapa pembunuhan politik pada Pileg 2009. Meskipun pernyataan ini dibantah Kapuspen TNI yang menyebutnya sebagai “isapan jempol”, menurut investigasi Nairn, operasi ini menyasar tokoh-tokoh Partai Aceh (PA).

PA adalah partai lokal yang didirikan bekas GAM tak lama setelah gencatan senjata, yang saat itu kekuatannya nyaris tak terbendung. Sebagai sebuah kekuatan politik baru yang sebelumnya mengandalkan gerakan bersenjata, PA bukan hanya tampak mengancam bagi partai-partai politik nasional—tempat oligarki-oligarki lokal selama puluhan tahun berpesta pora dan saling berebut pengaruh sebagai pihak pertama yang paling dipercayai Jakarta—tapi juga diharap mampu mengimbangi setiap kebijakan politik Jakarta terhadap Aceh yang selama ini dianggap tidak adil, picik, dan kasar. Tapi kesan ‘berbahaya’ itu tidak bertahan lama. Kurang dari sepuluh tahun menjadi agak sulit mencari perbedaan antara PA dan partai-partai nasional.

Adapun menjelang Pilkada 2012 kegentingan dipicu oleh perpecahan kepengurusan PA. Di Pilkada 2012, PA menolak mendukung calon gubernur petahana Irwandi Yusuf, seorang elite GAM yang beberapa saat sempat bersarang di partai tersebut sebelum akhirnya ditendang keluar. PA waktu itu mengajukan calonnya sendiri, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Dengan memboyong beberapa elite GAM, Irwandi kemudian mendirikan partai lokal baru, Partai Nasional Aceh (PNA).

Berhubungan atau tidak dengan perpecahan ini, sekitar setahun menjelang pemilihan, terjadi penembakan acak yang tersebar di beberapa tempat di Aceh dan merenggut nyawa sepuluh warga sipil, antara lain buruh-buruh asal Jawa dan para bekas kombatan GAM yang mendukung Irwandi Yusuf dalam Pilkada 2012. Belakangan, di pengadilan terbukti pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan Ayah Banta, seorang bekas gerilyawan GAM. Tapi hingga sekarang pengadilan tidak pernah berhasil mengungkap untuk siapa si pembunuh ini mengabdi!

Warisan perpecahan ini berlanjut dalam Pilkada 2017. Selain pemilihan gubernur, diselenggarakan pemilihan untuk 22 kabupaten/ kota. Setidaknya di setiap kabupaten/ kota terdapat lebih dari satu paslon yang berlatar belakang GAM. PA sebagai sebuah partai yang semula dianggap dapat mempersatukan para bekas gerilyawan, sebagaimana peran itu mampu diterapkan pada Pileg 2009, tidak dapat berbuat banyak ketika sebagian kader bertarung sendiri-sendiri. Mereka yang tidak mendapat restu partai memilih jalur independen atau mencari dukungan melalui partai politik nasional.

Sampai di sini terlihat bahwa sejak 2005 subyek politik di Aceh telah bergeser jauh, dari sebelumnya dikuasai oleh sisa-sisa elite politik Orde Baru beralih ke dalam genggaman bekas orang-orang dari gerakan perlawanan. Bisa dikatakan, Pilkada 2017 merupakan pertarungan di antara para elite bekas Aceh Merdeka.

Namun demikian, pergeseran ini tidak banyak membuat perbedaan. Dalam beberapa kali debat publik, baik untuk pemilihan gubernur ataupun bupati/ walikota, hampir tidak ada isu atau program unggulan yang layak untuk diperdebatkan. Padahal peluang itu terbuka lebar, misalnya ikhtiar untuk menurunkan ranking kemiskinan yang masih membayang-bayangi Aceh; perbaikan peringkat pendidikan yang buruk; program-program pemberantasan korupsi di Aceh yang masih menjadi yang tertinggi; strategi-strategi yang lebih rinci untuk melawan gizi buruk atau wabah penyakit; dan yang tidak kalah penting: posisi para paslon terhadap penyelesaian kejahatan HAM masa lalu. Untuk yang terakhir, hampir semua paslon seperti bersekongkol untuk tidak menyinggung isu ini. Dalam debat, hampir seluruh kemampuan mereka terbuang untuk menyerang latar belakang masing-masing, yang memang tidak semuanya bersih.

Pertarungan antar elite eks-GAM

Untuk memenangkan Pilkada ini, Irwandi Yusuf, gubernur Aceh 2007-2012, masih mengandalkan program-program lamanya. Dalam setiap kampanye, ia mengajak khalayak untuk bernostalgia kembali mengenang “keberhasilan” beberapa program-program populis pada masa kekuasaannya, seperti subsidi kesehatan (Jaminan Kesehatan Aceh), pemberian beasiswa untuk kelas menengah, Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong (sejenis dana desa di tingkat nasional), dan dukungan terhadap dayah-dayah tradisional yang sering dicurigai MPU (Majelis Pemusyawaratan Ulama) sebagai "sarang aliran sesat."

Perlu dicatat, terutama terhadap para pemilih yang menginginkan harapan lebih, jurang antara penduduk miskin dan kaya di Aceh menganga lebar pascatsunami 2004, dan terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sementara subsidi-subsidi kesehatan dan pendidikan terbukti tidak mampu memperkecil kesenjangan tersebut. Meski ketulusan Irwandi untuk menerapkan Syariat Islam sering dipertanyakan oleh kaum agamawan, untuk menepis hal ini dalam Pilkada 2017, ia merangkul beberapa ulama yang secara terang-terangan menunjukkan dukungan mereka.

Pesaing terberat Irwandi dalam pemilihan kali ini adalah Muzakir Manaf, mantan panglima GAM, Ketua Umum PA, dan wakil gubernur petahana. Muzakir berpasangan dengan TA Khalid, seorang kader Gerindra, kelanjutan dari persekutuan yang telah dibina antara PA dan partai yang dipimpin Prabowo Subianto sejak bergulirnya Pilpres 2014.

Muzakir mengusung isu reformasi birokrasi, percepatan pembangunan infrastruktur, pembangunan pertanian dan kemaritiman. Namun selama masa kampanye program-program itu hampir tidak pernah punya kesempatan untuk diurai, setidaknya dalam tiga kali debat publik di televisi. Seluruh program unggulan tersebut bertekuk lutut di bawah kharismanya sendiri, yang memang kesan itu masih sangat kuat di basis-basis bekas GAM.

Dengan kharisma ini Muzakir berusaha merasuki fantasi massa dengan merebut klaim mutlak atas siapa yang paling berhak menerapkan Kesepahaman Helsinki 2005, butir-butir kesepakatan antara GAM dan Pemerintah RI hasil dari perundingan gencatan bersenjata. Bagaimanapun kesepakatan ini punya dimensi misterius yang kerap diasoasiakan dengan cita-cita dan semangat perjuangan GAM pada fase perang kemerdekaan melawan Indonesia, yang semuanya itu, baik tertunda maupun belum, hanya bisa dibereskan dengan satu syarat: naiknya sang panglima sebagai gubernur. Kecuali Zakaria Saman, mantan Menteri Pertahanan GAM yang mencalonkan diri melalui jalur independen, hampir tidak ada elite GAM di luar PA yang berani menyentuh isu ini, sehingga menjadikan Muzakir sebagai satu-satunya representasi dari perjuangan masa lalu.

Sampai tulisan ini dibuat (21/2), hasil perolehan suara di situs KPU menunjukkan Irwandi unggul atas calon-calon lain. (Penghitungan surat suara sudah mencapai 95 persen)

Golput Menang di Banda

Kejutan tentu saja terjadi di Kota Banda Aceh. Calon walikota petahana Illiza Sa'aduddin Djamal kalah telak, baik oleh lawannya maupun kaum golput. Kekalahan ini seperti mukjizat, alias di luar perkiraan siapa pun.

Di samping sebagai petahana yang diuntungkan oleh jaringan birokrasi tempat dia secara lihai memanfaatkan iklan-iklan milik humas kota Banda Aceh yang kerap menampilkan wajahnya bersanding dengan dai-dai pesohor, Illiza juga mengusung isu penegakan Syariat Islam, yang dipastikan tidak akan ada yang berani mencari gara-gara dengan mempertanyakan ketulusannya menggunakan isu ini untuk menutupi kelemahannya dalam memenuhi kebutuhan dasar warga kota yang sehari-hari tercekik oleh kelangkaan air bersih, buruknya sanitasi, dan ketiadaan transportasi publik.

Melalui propaganda Syariat Islam, dalam beberapa tahun terakhir, Illiza sering berada di bawah gemerlap lampu sorot. Sorotan ini terutama ditujukan untuk proyek kota madaninya. Mengambil istilah dari zaman Rasullulah, Illiza selama bertahun-tahun—baik sejak dia menjadi wakil walikota maupun meneruskan masa jabatan yang ditinggal mati oleh walikota sebelumnya—membayangkan bahwa kota yang diperintahnya bisa terbebas dari maksiat dan kekufuran. Tapi masalahnya, dia menganggap maksiat hanya penyakit orang miskin, sementara orang kaya punya hak dan kekebalan untuk berperilaku durjana.

Para pendukungnya, umumnya laki-laki, memanggilnya Bunda, meskipun dari caranya memimpin tidak ada bedanya dengan Bapak, sang patriark sejati. Dalam Pilkada kali ini dia diserang bertubi-tubi oleh isu yang ditungganginya sendiri, yakni Syariat Islam. Beberapa hipster yang takut kebebasan mereka direnggut melakukan kampanye hitam yang menjijikkan, dengan meminjam fatwa seorang ulama bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin.

Sebelum Illiza, Banda Aceh sebagai kota tua pernah dipimpin oleh empat sultanah secara berturut-turut. Seorang sejarawan mengajukan bukti yang cukup mengesankan bahwa sultanah pertama, Ratu Safiatuddin yang berkuasa 1641-1675, mampu memimpin jauh lebih baik dibandingkan suaminya yang boros, lemah, tamak, dan manja [lihat Sher Banu A. L. Khan dalam Rule Behind The Silk Curtain: The Sultanahs of Aceh 1641-1699, tesis doktoral, 2009]. Ratu misalnya, mampu mengelola keuangan negara secara efisien, menjadikan Banda Aceh sebagai kota terbuka dan tidak picik serta ramah terhadap perbedaan mazhab agama.

Illiza memang telah membuang-buang kesempatannya untuk dinilai berdasarkan kualitas kepemimpinannya, dan kegagalan itu jelas bukan karena dia seorang perempuan.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.