Menuju konten utama

Teungku Bantaqiah dan Para Santri Dibunuh Militer

Salah satu puncak kekejaman militer Indonesia di Aceh adalah pembantaian Teungku Bantaqiah dan para santrinya pada 1999.

Teungku Bantaqiah dan Para Santri Dibunuh Militer
Patroli TNI pada masa DOM di Aceh. AFP/C. Youn-Kong

tirto.id - Suatu sore di bumi Serambi Mekah, Komandan Korem (Danrem) Lilawangsa Kolonel Syafnil Armen mendapat informasi dari bawahannya. Informasi yang sudah lama ditunggu-tunggu itu menyebut seorang ulama kenamaan dari Beutong Ateuh, Aceh Barat, diduga menguasai benda-benda berbahaya.

Teungku Bantaqiah, nama sang ulama, dicurigai menyimpan ratusan pucuk senjata api. Dugaan lain menyebutkan senjata-senjata itu ditanam di sekitar pesantrennya.

Di Pesantren Babul Mukarramah Desa Blang Meurandeh, Bantaqiah memang mengampu ratusan santri yang belajar agama kepadanya. Ulama itu juga dicurigai memiliki pasukan bersenjata sejumlah 300 personel. Danrem dengan cepat menarik kesimpulan: senjata dan pasukan tersebut berkaitan dengan aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Baca juga:

Mengantisipasi gelagat yang tidak dikehendaki, Danrem segera bereaksi atas informasi tersebut. Ia mengirim perintah lewat telegram bertanggal 15 Juli 1999 kepada beberapa komandan batalyon. Inti perintahnya: cari, temukan, dekati, dan tangkap tokoh gerakan pengacau keamanan dan simpatisannya, hidup atau mati.

Berdasarkan perintah Danrem, dibentuklah pasukan gabungan beranggotakan 215 personel di bawah pimpinan Letnan Kolonel Heronimus Guru dan Letnan Kolonel Sudjono sebagai pengawas operasi. Kecuali Danrem dan pimpinan pasukan gabungan, tak seorang pun menyangka bahwa telegram itu akan membawa malapetaka.

Pada 22 Juli 1999, pasukan gabungan tiba di Beutong Ateuh. Mereka mendirikan tenda-tenda persiapan untuk melakukan penyerbuan. Warga sekitar menyaksikan kedatangan pasukan dengan perasaan cemas. Mereka tidak tahu mengapa tentara datang tiba-tiba dan dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi pengalaman selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) telah mengasah insting mereka: sesuatu akan terjadi.

Esoknya, 23 Juli 1999, sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan bersenjata lengkap mulai memasuki pesantren. Sebagian dari mereka menutupi wajah dengan cat hitam dan hijau.

Baca juga: Rumoh Geudong, Ingatan Korban, dan Umur Panjang Kekejian

Di dalam kompleks pesantren, beberapa pasukan melakukan psy-war: meneriakkan nama Bantaqiah dengan hujatan dan cacian. Bantaqiah dan ratusan santri yang tengah mengaji mendadak tegang. Tak lama kemudian, Bantaqiah bersama seorang muridnya turun menemui mereka.

Setelah bertemu Bantaqiah dan menyampaikan urusan mereka, Sudjono mengontak Heronimus lewat radio soal tindakan yang harus dilakukan. Heronimus tak kunjung menjawab. Sudjono pun meninggalkan lokasi.

Pasukan yang meradang itu menggeledah pesantren dan dengan kasar meminta memerintahkan semua santri laki-laki dewasa turun serta berkumpul di halaman pesantren dalam posisi jongkok sambil memperlihatkan KTP. Mereka disuruh melucuti pakaian, kecuali celana dalam. Bersamaan dengan penggeledahan tersebut, tim yang dipimpin Sudjono datang lagi ke lokasi.

Laporan Pantau menyebut, Sudjono memaksa Bantaqiah menyerahkan semua bedil yang diduga ia simpan. Bantaqiah membantah. Ia merasa tak pernah memiliki sepucuk pun senjata seperti yang dituduhkan. Tak puas dengan pengakuan Bantaqiah dan tetap memaksa, pasukan pun kehilangan kesabaran.

Di tengah-tengah situasi menegangkan, Sudjono mempersoalkan sebuah antena radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren. Ia menyuruh Usman, salah satu putra Bantaqiah, untuk mencopotnya.

Setelah itu, kekejian perlahan-lahan mulai menampakkan wujudnya.

Baca juga: Pembantaian yang Dilakukan Belanda di Pedalaman Aceh

Usman berjalan menuju rumah untuk mengambil peralatan agar lebih mudah membongkar antena. Namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul, seorang pasukan memukulnya dengan senjata api. Menyaksikan putranya disakiti, Bantaqiah pun berusaha mendekati dan memeluknya.

Bersamaan dengan mendekatnya Bantaqiah ke arah Usman, pasukan mengumandangkan aba-aba menembak. Detik itu juga, Teungku Bantaqiah, ulama yang begitu dihormati di seantero Aceh Barat, jatuh tersungkur bersimbah darah. Ia tewas seketika. Pasukan kemudian mengeluarkan tembakan beruntun dan membabi buta ke arah kumpulan santri. Tak sampai satu menit, 34 santri menyusul sang guru.

Setelah berondongan tembakan berulang-ulang itu, pasukan mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan. Dengan dalih membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka diangkut, bahkan santri yang sama sekali tidak terluka juga ikut dibawa. Semuanya berjumlah 23 orang. Mereka dinaikkan truk untuk dibawa menuju Takengon. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan.

Di tengah perjalanan, tepat di kilometer 7, dua puluh tiga santri itu diturunkan dan diperintahkan berjongkok persis pada bibir sebuah jurang. Di situlah mereka juga ditembaki secara membabi buta.

Infografik teungku bantaqiah

Pelanggaran HAM dan Peran Munir

Kasus pembantaian Bantaqiah dan santri-santrinya di Beutong Ateuh ini kemudian menjadi sorotan nasional, bahkan menjadi perhatian dunia. Apa yang dilakukan Sudjono dan anak buahnya termasuk kategori pelanggaran HAM berat.

Azhary Basar, anggota Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Pemda Aceh, menyatakan telah terjadi "penembakan sepihak" dan tidak ada bukti "adanya perlawanan dari Tengku Bantaqiah dan para pengikutnya."

Salah satu orang yang paling getol mengadvokasi keluarga para korban adalah Munir Said Thalib, pendiri Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia membela hak-hak mereka dan menyerukan agar kasus ini diselesaikan dengan cara seadil-adilnya. Munir juga berkali-kali mengunjungi Beutong Ateuh untuk bertemu dengan keluarga Bantaqiah dan para korban.

Baca juga: Catatan Kekerasan HAM pada Zaman Megawati Berkuasa

Pada akhirnya, seperti diungkap dalam The Practice of Torture in Aceh and Papua, 1998-2007 (2008), kasus ini diselesaikan lewat jalan yang sebenarnya sangat politis, yaitu melalui pengadilan koneksitas pada 2000. Peradilan ini dibentuk untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan militer—sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki Munir.

Dalam persidangan, dari 25 terdakwa yang diajukan terdapat tiga perwira: Kapten Anton Yuliantoro, Letnan Dua Maychel Asmi, dan Letnan Dua Trijoko Adwiyono. Selebihnya berpangkat bintara dan tamtama serta seorang warga sipil. Sementara Letnan Kolonel Sudjono tak tersentuh sama sekali.

Munir sendiri sejak awal menuntut agar diselesaikan melalui pengadilan HAM, karena pembantaian itu termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Baginya, persidangan koneksitas kasus Bantaqiah lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kompromi antara elit politik dan tentara. Keputusan pengadilan tersebut juga sama sekali tidak memperhatikan penyelesaian hukum menyeluruh untuk menyelesaikan soal Aceh.

“Persidangan itu,” kata Munir, “hanya untuk menunjukkan bahwa sudah ada persidangan, dan mengabaikan substansi dari tuntutan masyarakat Aceh yang menginginkan keadilan, bukan sekadar pengadilan.”

Ada kisah menarik perihal kedekatan Munir dengan keluarga Bantaqiah dan para korban. Tiap kali berkunjung ke Beutong Ateuh, Munir selalu tidur di masjid pesantren. Berhari-hari ia tidur di situ sekaligus menggunakannya untuk bertemu dengan keluarga korban. Setelah ia meninggal, warga sepakat menamakan tempat itu “Masjid Munir” untuk menghormati dan mengenang jasa-jasanya.

Baca juga artikel terkait ACEH atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Politik
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Windu Jusuf