Tempat & Tanggal Lahir
Batu, Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia, 8 Mei 1965
Karir
- Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
- Ketua Dewan Pengurus KontraS
- Koordinator Badan Pekerja KontraS (1998 - 2001)
- Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI
- Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI
- Sekretaris Bidang Operasional YLBHI
- Direktur LBH Semarang
- Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1992 - 1993)
- Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya
- Ketua LBH Surabaya Pos Malang
- Relawan LBH Surabaya
Pendidikan
- Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Detail Tokoh
8 Desember 2013 Omah Munir di Batu, Malang, diresmikan. Museum yang bertujuan untuk edukasi Hak Asasi Manusia (HAM) itu diresmikan bertepatan dengan ulang tahun ke 48 Munir Said Thalib. 13 tahun lalu, aktivis HAM dan pengacara asal Batu itu meninggal dalam pesawat Garuda yang membawanya menuju Belanda. Omah munir lahir atas inisiatif sang isteri, Suciwati sebagai dedikasinya terhadap Munir dan perjuangan HAM di Indonesia. Omah Munir awalnya merupakan rumah yang ditempati Munir bersama isteri dan anak-anaknya dulu.
Munir merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Di kalangan keluarga, teman dekat dan tetangganya, dia dikenal sebagai orang yang memiliki kepedulian sosial. Di Kota Batu yang asri itulah Munir lahir dan tumbuh dewasa. Pendidikan Sarjana Hukumnya dia tempuh di Universitas Brawijaya Malang. Di kampus inilah Munir aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, salah satunya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia pun bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum sebagai pengacara.
Kemudian selepas kelulusannya, Munir menjadi anggota LBH dan menjabat Ketua LBH Surabaya Pos Malang (1991). Lalu ia menjabat Koordinator Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993) dan Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya sejak 1993-1995. Sebelum hijrah ke Jakarta menjabat Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996), dia lebih dulu menjabat Direktur LBH Semarang (1996). Kemudian di YLBHI dia menjabat Wakil Ketua Bidang Operasional (1997) dan Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998). Sampai kemudian dia mendirikan dan menjabat Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sejak 1998-2001 dan Ketua Dewan Pengurus Kontras pada 2001.
Keseriusan Munir dalam bidang HAM, salah satunya dipengaruhi oleh perkenalannya dengan sosok demonstran bernama Bambang Sugianto yang acap kali mengajaknya berdebat dan membuatnya terpacu untuk menekuni dunia hukum lebih lanjut. Ditambah lagi dengan pengaruh buku tentang memperjuangkan nasib buruh yang ia baca, semakin menambah ketertarikannya untuk menekuni dunia perburuhan. Hingga pada tahun 1996, suami dari Suciwati ini mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Dari sanalah tindak agresifnya demi kemajuan hak asasi manusia semakin terlihat nyata. Tak hanya Kontras, Munir juga mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial.
Jauh sebelum namanya melambung, sejak tahun 1998, pria kelahiran Malang, 8 Desember 1965 ini telah banyak berkontribusi dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Ia bahkan dikenal berani dalam bertindak. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berhasil ditangani Munir salah satunya adalah kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta (1997-1998), pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok (1984 hingga 1998), dan penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi I dan II (1998-1999).
Munir memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000) sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif. Sebelumnya, Majalah Asiaweek pada Oktober 1999 menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat pada 1998. Ia mendapat hadiah uang dari Yayasan The Right Livelihood Award sebesar Rp 500 juta. Separuh dari hadiah itu diberikan ke Kontras dan sebagian lagi dikirim kepada ibunya di Malang untuk renovasi rumah.
Munir lewat KontraS ingin menumbuhkan kepercayaan rakyat bahwa civil society sebagai bahan organik demokrasi, mampu memberikan perlawanan sistemik terhadap kecenderungan negara yang hegemonial dan sifat-sifat kekuasaan yang arbiter dan militeristik. Ia juga menentang keras penggunaan law of the ruler atau hukum dari penguasa dan aparat militer yang menciptakan kekerasan struktural dan politik yang tidak berkeadaban.
Ketika sedang menjabat di Imparsial inilah, Munir kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi pasca sarjana mengenai hukum di Utrecht, Belanda selama satu tahun. Munir berangkat pada 6 September 2004 menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974. Ia berangkat melalui bandara Soekarno Hatta dengan diantar oleh istrinya Suciwati, para penumpang dipersilahkan masuk ke dalam pesawat pada pukul 21.30.
Munir meninggal di pesawat di wilayah udara Rumania setelah berulang kali mondar mandir ke toilet untuk buang air dan muntah-muntah. Kemudian jenasah Munir diotopsi pihak Belanda dan ternyata ditemukan racun Arsenik yang melebihi dosis di dalam tubuhnya. Kemudian berdasarkan hasil penyidikan pihak Kepolisian Republik Indonesia ditangkap lah Pollycarpus Budihari Priyanto dan ditetapkan sebagai tersangka. Dengan bukti-bukti yang diungkapkan oleh istri Munir.Pollycarpus, pilot Garuda sendiri dikemudian hari ditetapkan menjadi tersangka pembunuhan Munir beserta dengan Muchdi Prawiro Pranjono.
Kedua tersangka ini divonis hukuman yang berbeda-beda, Polly dituntut dengan hukuman 20 tahun penjara kemudian mengajukan banding ke MA dan dipotong masa tahanan sebanyak 14 tahun dan sudah keluar di tahun 2013 ini. Sedangkan untuk Muchdi PR yang baru ditangkap di bulan september 2008 kemudian setelah disidangkan di pengadilan dianggap tidak terlibat dalam kasus pembunuhan Munir dan kemudian dibebaskan di tahun 2008 juga.
Terseretnya nama Muchdi karena ia menjabat sebagai Deputi V BIN/Penggalangan pada tahun 2001 – 2005. Muchdi dianggap merupakan otak dari terbunuhnya Munir karena dianggap memiliki dendam pribadi dengannya. Munir merupakan salah satu aktivis HAM yang membongkar kasus penculikan para aktivis reformasi 1998 yang melibatkan tim Mawar yang didalamnya terdapat Muchdi pula. Semenjak terbongkarnya kasus itu karir militer Muchdi kemudian berhenti. Aktivitas Munir disebut-sebut mengganggu orang-orang BIN. Sampai sekarang kasus pembunuhan aktivis HAM Munir masih belum menemui titik terang.