Menuju konten utama

Kasus Dugaan Korupsi Gubernur Aceh Efek Buruk Desentralisasi?

Desentralisasi dianggap jadi biang keladi maraknya korupsi kepada daerah. Kurangnya pengawasan dan biaya politik yang mahal membuat korupsi semakin subur.

Kasus Dugaan Korupsi Gubernur Aceh Efek Buruk Desentralisasi?
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dibawa ke gedung KPK setelah diamankan untuk diperiksa di Jakarta, Rabu (4/7/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Penetapan status tersangka pada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dan Bupati Kabupaten Bener Meriah, Rahmadi, Rabu (6/7/2018) malam, menambah panjang deretan kepala daerah yang mesti berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua kepala daerah ini diduga terlibat kasus suap anggaran otonomi khusus (otsus).

Sepanjang tahun ini sudah ada 15 kepala daerah yang terseret kasus. Jumlahnya lebih banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun lalu KPK menangkap 13 kepala daerah tingkat kabupaten/kota serta satu gubernur. Satu tahun sebelumnya hanya 9 kepala daerah kabupaten/kota dan satu gubernur.

Statistik ini seolah membenarkan banyak temuan terkait relasi antara korupsi dan desentralisasi yang terjadi sejak Orde Baru runtuh. Saldi Isra misalnya, dalam bukunya yang terbit 2009 menyebutkan "lewat desentralisasi kekuasaan, terjadi pulalah desentralisasi yang melipatgandakan laku korupsi."

Beberapa akademisi lain yang bicara soal itu di antaranya Gerry Van Klinken dan ‎Henk Schulte Nordholt (2007) dan Vedi R. Hadiz (2006).

Pemerhati korupsi Wawan Suryatmiko berpendapat, desentralisasi yang sedemikian besar itu bisa menciptakan ladang korupsi yang semakin luas karena tidak dibarengi dengan pengawasan yang kuat. Wawan, juga anggota Transparency International Indonesia (TII) mengatakan sumber daya APIP (aparatur pengawas internal pemerintah, atau lebih dikenal dengan istilah inspektorat) belum memiliki kapasitas untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan secara ketat.

Padahal, di satu sisi pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah regulasi untuk mencegah korupsi, misalnya Instruksi Presiden tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi Tahun 2016-2017 dan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Korupsi.

"Desentralisasi yang sangat besar ini belum mampu diimbangi oleh penegakkan integritas dan etika," kata Wawan kepada Tirto, Kamis (5/7/2018).

Robert Endi, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah berpendapat semakin mengguritanya korupsi tidak hanya karena lemahnya pengawasan. Ini juga terkait dengan masalah yang lebih struktural.

"Selama ini kita menempuh langkah parsial tambal sulam. Kita butuh strategi komprehensif, menyeluruh, di hulu sampai hilir," kata Robert kepada Tirto.

Masalah pada hulu terkait dengan proses pemilihan kepala daerah. Menurutnya mahar politik—sejumlah uang yang harus disetor calon kepala daerah kepada partai pengusung—yang menyebabkan mereka yang terpilih tidak mengabdi pada kepentingan publik.

Sepengetahuan Robert, seorang calon harus mengeluarkan uang setidaknya Rp20 miliar untuk maju sebagai kepala daerah. "Yang terpilih akan memikirkan cara balik modal," katanya.

Ketika keperluan untuk "balik modal" itu bertemu dengan peluang, modusnya akan lahir seperti obral izin ke swasta, maka terjadilah penyelewengan kekuasaan atau korupsi.

Sementara itu, di tingkat hilir, menurut Robert masalahnya ada pada hukuman yang diberikan pada koruptor tidak sebanding. Sehingga aparat penegak hukum harus berani memperberat hukuman para koruptor. Peluangnya bila mungkin adalah dua pilihannya: antara penjara seumur hidup atau hukuman mati.

"Tetap Saja Terjadi Korupsi"

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengaku sudah berusaha maksimal untuk mencegah korupsi. Ia mencontohkan, tim pencegahan mereka sudah ke daerah-daerah; sistem sudah diperbaiki; pengawasannya juga demikian. "Tapi toh masih tetap saja terjadi korupsi," katanya.

Menurut Basaria yang terjadi sebetulnya bukan korupsinya yang bertambah. Yang terjadi sekarang adalah KPK makin aktif dan bisa mengungkap tindakan yang selama ini memang tidak tersentuh. "Itu kalau menurut saya," katanya.

Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menjelaskan dari pengalaman menangani 97 dugaan korupsi kepala daerah, ia yakin penanganan kasus korupsi tidak cukup dilakukan institusi KPK. Perlu peran serta semua pihak, termasuk masyarakat.

Ini sejalan dengan riset yang dilakukan Gulsum Arikan dari University of Illinois, dalam tulisannya berjudul Fiscal Decentralization: A Remedy for Corruption? (PDF) menyebut tingkat pendidikan dan kebebasan pers berbanding terbalik dengan tindakan koruptif pejabat daerah. Semakin tinggi dua variabel itu semakin kecil peluang korupsi.

Febri bilang upaya lain yang bakal KPK lakukan adalah membuat peraturan yang lebih komprehensif. "Saya kira kalau nanti peraturan jadi, itu bisa menjadi langkah maju yang harapannya tentu membuat upaya pencegahan lebih efektif," kata Febri.

Baca juga artikel terkait OTT KPK ACEH atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino