tirto.id - Program transisi energi di Indonesia perlu diikuti transformasi sistem ketenagalistrikan dari yang sentralistik menjadi desentralistik. Peralihan itu dipercaya sebagai peluang untuk mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan nasional, serta mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan sesuai potensi di tiap wilayah atau daerah di Indonesia.
Sesuai catatan Outlook Energi Indonesia tahun 2022, potensi energi terbarukan nasional diperkirakan mencapai 3.686 gigawatt (GW) yang meliputi energi surya, bayu, hidro, bioenergi, panas bumi dan juga laut. Namun dari total tersebut, hingga saat ini, hanya 12,54 GW atau 0,34% yang dimanfaatkan.
Sementara, jika dilihat berdasarkan baurannya, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) nasional sepanjang 2021 dan 2022 menunjukkan peningkatan dengan gerak yang relatif lambat, yakni di angka 12,16% dan 12,3%. Di luar persentase tersebut, pemenuhan energi Indonesia masih didominasi batubara, minyak dan gas.
Karenanya, pada tahun 2023 ini, bauran EBT nasional diharapkan melompat ke angka 17,9%, dan pada tahun 2024 menjadi 19,5%, seturut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Lompatan-lompatan signifikan itu ditujukan untuk mengejar target bauran EBT paling sedikit 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.
Dalam konteks inilah peran tiap daerah di Indonesia menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan energi secara mandiri.
Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think-tank di bidang energi dan lingkungan, dalam laporan pada tahun 2019 menyebut beberapa provinsi di luar Jawa dan Sumatera memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Contohnya, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Papua memiliki potensi energi terbarukan masing-masing di atas 20 GW.
Ditambah lagi, total rencana pembangunan pembangkit energi terbarukan dalam RUED (Rencana Umum Energi Daerah) di 34 provinsi tahun 2025 mencapai 47.658 MW.
Angka itu disebut mengindikasikan keinginan pemerintah daerah untuk mengembangkan energi terbarukan yang lebih besar dan variatif dibanding rencana pembangunan pembangkit yang disusun Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang hanya menargetkan pembangunan 20.923 megawatt atau 51% dari total pembangkit tenaga listrik.
Seturut catatan-catatan tadi, desentralisasi energi terbarukan menjadi sebuah skema penting dalam pemenuhan energi nasional di masa mendatang.
Kemandirian Energi
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengkategorikan jaringan listrik terdesentralisasi atau terdistribusi sebagai penggunaan sistem listrik lebih kecil atau sama dengan 1 MW yang letaknya dekat dengan pengguna listrik. Konsep ini berkebalikan dengan sistem listrik terpusat, di mana pembangkit listrik dengan kapasitas 1-1.000 MW disalurkan pada pengguna listrik melalui jaringan transmisi.
Generasi listrik terdesentralisasi disebut memiliki sejumlah keunggulan. Misalnya, di daerah pedesaan tanpa listrik, generasi terdistribusi dalam sistem off-grid (pemenuhan listrik sendiri) atau mini-grid (jaringan yang melayani ratusan hingga ribuan pengguna) bisa menjadi satu-satunya pilihan praktis, karena biaya perluasan jaringan terpusat akan membengkak untuk memenuhinya.
Kemudian, di daerah di mana jaringan terpusat telah terpasang, penambahan generasi listrik terdistribusi dapat meningkatkan keragaman pasokan, ketahanan sistem serta keamanan energi.
Miriam Tuerk, CEO dan salah satu pendiri Clear Blue Technologies, perusaahaan yang memiliki visi menyediakan listrik nirkabel bersih, menjelaskan praktik desentralisasi energi terbarukan secara sederhana. Dalam sebuah kolom di Forbes dia menuliskan, “panel surya atap dapat menjadi opsi pemenuhan sumber daya listrik tanpa jaringan untuk skala lokal dan mengurangi kerumitan ekspansi jaringan yang mahal.”
Dengan cara ini, padamnya satu sistem lokal tidak akan memengaruhi seluruh negara bagian.
Tuerk mencontohkan, ketika listrik di California padam, panel surya atap rumah tangga membantu memulihkan sebagian daya saat jaringan mati. Salah satu model yang semakin umum adalah Decentralized Energy Exchange (DEX), yang telah berhasil diimplementasikan di Australia dengan pemasangan lebih dari 1,6 juta panel surya atap.
“Melalui DEX, konsumen dapat berpatisipasi sebagai penyuplai. Panel surya atap mereka memungkinkan penyediaan energi kembali ke jaringan. Contoh-contoh seperti ini menunjukkan potensi pasar energi terdesentralisasi,” tulis Tuerk dalam artikel bertajuk Off-gird Power Will Be Our New Form.
Di Indonesia, praktik desentralisasi energi listrik juga telah berlangsung. Pemasangan off-grid di Indonesia umumnya menggunakan sumber komoditas surya dan hidro. Laporan Statista mencatat pada tahun 2021 total kapasitas terpasang PLTS off-grid mencapai 67,59 megawatt.
Di sisi lain contoh praktik desentralistik dengan komoditas hidro terlihat di wilayah timur Ibu Pertiwi. IESR mendokumentasikan upaya masyarakat desa Kamanggih, Nusa Tenggara Timur, memenuhi kebutuhan listrik 148 rumah tangga di sana melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Mbakuhau dengan kapasitas 35 kW, yang dibangun pada tahun 2011.
Dua tahun sejak beroperasi, pada tahun 2013, Koperasi Kamanggih mulai menjual listriknya ke PLN dengan harga Rp6475 per kWh. Dengan begitu, di siang hari masyarakat menggunakan listrik PLN, kemudian menggunakan listrik dari PLTMH pada malam hari.
Berdasarkan laporan Mongabay, kerja sama itu dibuat karena PLN berniat membuka jaringan listrik hingga 5 km, warga desa mendapat listrik secara gratis, serta 2 operator turbin PLTMH direktur menjadi pegawai PLN. Hingga tahun 2020, PLTMH Mbakuhau telah melayani 350 rumah.
Hambatan Desentralisasi Energi Terbarukan
International Renewable Energy Agency (IRENA) dan Climate Policy Initiative memperkirakan investasi energi terbarukan off-grid di seluruh dunia tiap tahunnya memerlukan dana sebesar USD2,3 miliar antara 2021 dan 2030 – hanya untuk produk energi surya luar jaringan (tidak termasuk mini-grid). Tetapi, hingga tahun 2022, investasi yang dibutuhkan masih jauh dari target tersebut.
Hal ini dikarenakan adanya disparitas yang meningkat secara signifikan selama enam tahun terakhir, dimana lebih dari setengah populasi dunia yang sebagian besar tinggal di negara berkembang hanya menerima 15% dari investasi global pada tahun 2020.
Afrika Sub-Sahara, misalnya, hanya menerima 1,5% dari jumlah investasi global antara tahun 2000 dan 2020. Sementara, pada tahun 2021, investasi per kapita di Eropa mencapai 41 kali lebih besar daripada di wilayah tersebut, dan 57 kali lebih besar di Amerika Utara.
Di Indonesia sendiri belum ada catatan rinci terkait anggaran desentralisasi energi terbarukan.
Namun, siaran pers Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menyampaikan pemerintah telah berkomitmen setidaknya USD6,78 miliar atau setara Rp101,02 triliun (asumsi kurs Rp14.900/USD) untuk mendukung berkembangnya berbagai tipe energi dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, serta menunjang desentralisasi energi kelistrikan.
Lebih lanjut, studi oleh Hivos dan Climate Policy Initiative menggarisbawahi bahwa persoalan utama untuk mewujudkan desentralisasi energi terbarukan di Indonesia memang terkait dengan penganggaran dan minimnya investasi.
Pertama, rumitnya prosedur untuk mengajukan dan memperoleh wilayah usaha untuk distribusi dan penjualan listrik. Kedua, proyek desentralisasi energi terbarukan yang tersedia berskala kecil, memiliki biaya unit yang lebih tinggi dan tingkat pengembalian investasi yang rendah. Ketiga, kurangnya akses terhadap pembiayaan inovatif. Dan, keempat, kurangnya instrumen keuangan untuk mitigasi risiko.
Terlebih lagi, studi oleh Climate Policy Initiative menyebutkan bahwa sumber utama instrumen keuangan untuk proyek energi terbarukan terdesentralisasi hampir setengahnya atau 49% berbentuk pinjaman. Padahal pinjaman, yang umumnya berasal dari bank lokal, memiliki kemampuan terbatas untuk pembiayaan jangka panjang dan lebih mengandalkan simpanan jangka pendek.
“Obligasi korporasi umumnya diterbitkan dengan jangka waktu antara 3 atau 5 tahun. Sementara itu, model kami menunjukkan periode pengembalian modal untuk proyek energi terbarukan terdesentralisasi adalah 7,1 tahun. Oleh karena itu, instrumen keuangan inovatif diperlukan untuk mengatasi hambatan investasi di Indonesia,” tulis studi tersebut.
Tantangan lainnya, merujuk riset Yoon-Hee Ha dan Surya Sapkota Kumar, pengembangan energi terbarukan di Indonesia pada desa-desa terisolasi masih dipimpin oleh pemerintah pusat, mulai dari tahap penilaian rencana, pendanaan dan pembangunan, sehingga menghalangi partisipasi masyarakat setempat.
Hingga pada akhirnya, artikel yang dipublikasi dalam jurnal Energy Reaserch & Social Science pada tahun 2021 itu menyimpulkan, “jarak fisik dan mental antara kendali pemerintah pusat terhadap kebutuhan masyarakat dan pengawasan terhadap transparansi pembangunan menciptakan ketidakefisienan dan kegagalan.”
Desentralisasi energi terbarukan dapat menjadi jawaban atas persoalan kesulitan transmisi dan akses listrik di pelosok Indonesia. Namun, dibutuhkan dukungan prioritas anggaran dari pemerintah pusat atau daerah, serta dorongan keterlibatan masyarakat setempat untuk capaian solusi ideal tersebut.
Penulis: Themmy Doaly
Editor: Dwi Ayuningtyas