tirto.id - Clive Humby, salah satu tokoh dalam Data Science, pernah bilang bahwa Data is the new oil. Sementara David McCandless menepisnya, “Data is the new oil? No: Data is the new soil,” ujarnya.
Apapun itu, tujuan utama dari data pada dasarnya sama; mengubah data menjadi informasi dan dari informasi tersebut didapat suatu pengetahuan (insight). Namun, ketidaktepatan informasi dan pengetahuan sangat mungkin terjadi, apalagi jika yang diterima hanya berupa potongan, lebih-lebih jika salah memahami data. Oleh sebab itu, pentingnya mengenali sifat alamiah (nature) dari data, ketepatan membaca data, dan memahami data secara komprehensif begitu penting agar informasi yang diterima tidak keliru.
Sayangnya, urgensi ini tidak dipahami oleh Desmond Junaidi Mahesa.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Partai Gerindra tersebut menilai bahwa kinerja KPK belum optimal. Karena sejak 15 tahun lalu –saat kali pertama KPK dibentuk– jumlah korupsi di Indonesia tidak berkurang. Sebagai penguat, ia pun mengutip data Kejaksaan Agung yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah korupsi di Indonesia.
Memahami Data KPK
Dalam UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat lima jenis kegiatan penindakan terhadap kasus pidana korupsi, yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan, inkracht, dan eksekusi.
Merujuk pada data yang dikeluarkan KPK, jumlah penindakan tersebut bertambah semenjak 2004 –dari total 27 jumlah penindakan di 2004 menjadi 423 jumlah penindakan di 2016. Pada 2004, jumlah penyelidikan yang dilakukan adalah sebanyak 23 kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, hanya 2 kasus yang lanjut ke kegiatan penyidikan dan penuntutan. Pada 2008, jumlah kasus yang diselidiki oleh KPK bertambah menjadi 70 kasus. Dari jumlah tersebut, KPK melakukan eksekusi terhadap 23 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pada 2016, sebanyak 96 kasus korupsi diselidiki dan 81 kasus dieksekusi.
Bila dicermati, selama 15 tahun KPK berdiri, 2016 merupakan tahun terbanyak KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, inkracht, hingga eksekusi. Hal ini menjadi indikasi bahwa partisipasi dan keberanian masyarakat telah meningkat dalam melaporkan tindak pidana korupsi yang (akan) terjadi, juga cepatnya respons KPK dalam menindaklanjuti setiap laporan.
Angka korupsi yang tak kunjung berkurang bukan berarti –secara gamblang– menunjukkan terus bertambahnya jumlah kasus korupsi atau koruptor. Tingginya angka, selain karena semakin terendusnya perkara korupsi, juga disebabkan oleh cara KPK melakukan pendataan. Tiap tahunnya, KPK juga menghitung kembali kasus-kasus yang belum selesai proses penindakannya (lidik, sidik, tuntut, inkracht, dan eksekusi). Sebab, penindakan kasus korupsi yang dilakukan KPK tidak cuma berlangsung dalam satu tahun saja, tetapi bersifat berkelanjutan dan dapat memakan waktu bertahun-tahun. Oleh sebab itu, sangat mungkin terjadi, ketika membaca laporan KPK, ada kasus yang sama muncul selama bertahun-tahun.
Melihat Rapor Kinerja KPK
Soal kinerja KPK sebenarnya bisa dilihat juga dari survei yang dilakukan lembaga lain. Secara umum, kinerja KPK menorehkan prestasi yang dinilai baik sepanjang lembaga ini berdiri. Dari sisi Laporan Keuangan, sejak 2002, KPK selalu memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Begitu pula dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja, yang diberikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, sejak 2010 KPK berhasil mempertahankan Nilai A.
Baca juga:WTP Bukan Jaminan Bebas Korupsi
Sejumlah lembaga telah memberikan apresiasinya terhadap kinerja KPK, seperti Lembaga Terbaik 2014 dari Soegeng Sarijadi School of Governance (SSSG), “Pioneer Kelembagaan dan SDM ULP yang Permanen” dari LKPP, Keterbukaan Informasi Publik Berbasis Internet dari Bakohumas (2014), dan Keterbukaan Informasi Badan Publik Tahun 2016 kategori Lembaga Non Struktural (LNS) dari Komisi Informasi Pusat (KIP).
Selain itu, capaian atas kinerja KPK ini juga dapat dilihat dari meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis oleh Transparency International. Indeks ini digunakan oleh banyak negara sebagai referensi untuk mengukur tingkat keparahan atau kebersihan suatu negara dari korupsi. Angka tertinggi indeks persepsi suatu negara yakni 100, yang dipersepsikan negara bersih dari korupsi. Sedangkan angka terendah yakni 0 dipersepsikan sebagai negara paling korup.
Bersumber dari Transparansi Internasional, IPK Indonesia memperlihatkan skor yang meningkat –meski tidak naik secara drastis. Pada 2001 hingga 2003, nilai IPK Indonesia adalah 19. Skor ini naik 11 poin di 2011 menjadi 30. Pada 2012 dan 2013, nilai indeks berada pada angka 32. Angka ini naik 2 poin di 2014 dengan nilai indeks sebesar 34, dan kembali naik 2 poin di 2015 dengan nilai indeks sebesar 36. Kemudian di 2016, nilai indeks naik 1 poin menjadi 37.
Bila dibandingkan dengan nilai IPK di Singapura, Malaysia, dan Thailand, capaian nilai indeks di Indonesia menunjukkan tren positif. Misalnya saja nilai indeks di Singapura turun dari 87 pada 2012 menjadi 85 pada 2016. Lalu di Malaysia, nilai IPK sempat memperoleh nilai sebesar 52, tetapi turun menjadi 49 pada 2016. Bisa dibilang bahwa tren data yang ditunjukkan oleh Indonesia mengindikasikan bahwa arah pemberantasan korupsi cukup baik –dengan catatan kecepatannya perlu ditingkatkan.
Dalam empat tahun terakhir, posisi Indonesia di antara negara lain pun juga meningkat. Pada 2013, Indonesia berada di posisi 114 dari 170 negara. Lalu di 2014, peringkat Indonesia adalah 107 dari 175 negara dan naik menjadi 88 dari 168 negara di 2015. Sayangnya, peringkat ini turun di 2016 menjadi 90 dari 176 negara.
Dilihat dari beberapa karakteristik unsur penilaian IPK, terdapat lima indeks mengalami peningkatan dari 2015 ke 2016. Rata-rata indeks mengalami kenaikan sebesar 2 hingga 3 poin. Seperti skor pada indeks Global Insight Country Risk Rating yang naik dari 32 menjadi 34. Lalu pada indeks Political and Economic Risk Consultancy yang meningkat dari 32 menjadi 35. Kenaikan tertinggi berada pada indeks World Justice Project, yaitu sebesar 9 poin, dari nilai 17 pada 2015 menjadi 26 pada 2016.
Persepsi Masyarakat Terhadap KPK
Melihat area/sasaran penilaian, peningkatan indeks juga menandakan bahwa masyarakat semakin sadar dan peduli terhadap isu korupsi, khususnya dalam kualitas layanan publik, penyelewengan dana, dan penyalahgunaan kewenangan pejabat di berbagai institusi.
Kesadaran ini juga terbangun bersamaan dengan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang dianggap berperan dalam memberantas korupsi. Dalam hal ini, KPK pun mendapat kepercayaan yang baik dari masyarakat. Hal ini didapat dari beberapa survei mengenai persepsi masyarakat terhadap KPK.
Salah satunya adalah Survei Anti Korupsi 2017 yang dilakukan oleh Indonesia Business Links, Lembaga Polling Centre, bersama dengan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi Indonesia Coruption Watch (ICW). Selain melihat persepsi masyarakat terhadap korupsi, survei ini juga mengukur kepercayaan publik terhadap KPK. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 86 persen masyarakat menganggap KPK dan Presiden RI sebagai lembaga yang paling dipercaya dan berperan dalam memberantas korupsi.
Survei lain yang memperlihatkan tingkat kepercayaan publik kepada KPK dilakukan oleh Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC). Dalam survei ini, lebih dari 64 persen masyarakat menyatakan lebih mempercayai KPK ketimbang DPR, sementara hanya 6,1 persen yang menyatakan lebih percaya DPR dibandingkan KPK. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat kepercayaan publik pada KPK jauh berada di atas kepercayaan pada DPR.
Kenyataannya tidak sedikit rilis dan survei yang memberikan penilaian baik terhadap kinerja KPK –baik dari instiusi setingkat pemerintah hingga lembaga survei internasional. Oleh sebab itu, pernyataan Desmond J. Mahesa mengenai KPK bisa dengan mudah dipatahkan. Lebih penting lagi, kegagalan Desmond –atau pejabat lainnya– dalam memahami sifat data dari KPK bisa berujung pada pembuatan kebijakan yang tidak tepat. Bicara tanpa data memang menampakkan suatu kebodohan yang laten, tetapi keliru membaca data juga merupakan hal yang fatal.
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti