tirto.id - Korupsi masih menyebar di sejumlah kementerian dan lembaga. Pelaku beragam mulai dari level pegawai hingga menteri. Ironisnya, korupsi juga terjadi di kementerian yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangannya.
Pada Jumat (26/5), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas dugaan pemberian opini WTP untuk laporan keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes).
Sebagai badan audit nasional, BPK memiliki kewenangan untuk memberikan pernyataan profesional terkait tingkat kewajaran laporan keuangan pemerintah baik pusat maupun daerah. Pernyataan profesional ini dikenal dengan nama Opini BPK yang terdiri atas empat tingkatan, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar dan Tidak Memberikan Pernyataan (TMP) atau disclaimer.
Dalam opini WTP, BPK juga dapat memberikan catatan tambahan yang dikenal dengan nama Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP-DPP). Opini ini diberikan jika dalam keadaan tertentu auditor harus menambahkan penjelasan dalam laporan audit. Namun, penjelasan yang diberikan auditor tersebut tidak memengaruhi pendapat.
Kata kunci dari penetapan opini oleh BPK adalah kewajaran. Wajar dalam hal ini berarti laporan keuangan yang disajikan oleh lembaga pemerintahan secara umum pencatatannya sudah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Kewajaran juga berarti laporan keuangan yang disajikan sudah mencakup kecukupan pengungkapan, kepatuhan atas peraturan perundang-undangan serta memiliki sistem pengendalian internal yang efektif.
WTP merupakan opini yang diincar oleh seluruh lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah. WTP mengindikasikan bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar untuk seluruh aspek material sesuai dengan SAP. Semain baik tingkatan opini yang didapatkan, maka semakin baik penyajian laporan keuangan. Artinya, institusi tersebut semakin transparan dalam penggunaan anggarannya.
Sejak 2011 hingga 2016, jumlah kementerian yang mendapatkan opini WTP menunjukkan tren bertambah. Pada 2011, ada 15 kementerian yang mendapatkan opini WTP dan jumlah bertambah menjadi 28 kementerian di 2016. Hal ini mengindikasikan perbaikan penyajian laporan keuangan yang dilakukan oleh kementerian. Dengan kata lain, semakin banyak institusi yang sudah menjalankan tata kelola pemerintah dengan baik (good governance).
Meski terlihat ada perbaikan penyajian laporan keuangan, jumlah kementerian yang tidak mendapatkan opini atau TMP dari BPK sejak 2011 juga bertambah. Pada 2011, hanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mendapatkan opini TMP dari BPK. Sedangkan, pada 2016, ada dua kementerian yang mendapatkan opini ini, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Dalam hal tidak memberikan opini ini menjadi indikasi bahwa institusi tersebut membatasi auditor untuk mendapatkan bukti-bukti penunjang laporan keuangan. Sehingga, auditor tidak dapat menyimpulkan dan memberikan pernyataan atas laporan keuangan.
Meskipun pemberian opini WTP ataupun WTP-DPP oleh BPK tidak mencerminkan bahwa suatu institusi bersih dari segala penyimpangan. Pada kenyataannya banyak pejabat di suatu kementerian yang menerima status opini WTP dari BPK malah terlibat korupsi. Bila dilihat atas penyidikan yang dilakukan oleh KPK pada 2015 hingga 2016, ada 18 nama tersangka tindak pidana korupsi yang merupakan pejabat di berbagai kementerian. Sekitar 50 persen merupakan pejabat yang kala mereka menjabat, institusinya mendapatkan peringkat WTP ataupun WTP-DPP.
#Kasus Korupsi di Kementerian dan Status Opini BPK
Pada 2011, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerima opini WTP dari BPK. Pada saat yang bersamaan, Menteri ESDM saat itu Jero Wacik terjerat kasus pidana korupsi. Ia terjerat kasus penyalahgunaan dana operasional menteri. Pemberian opini ini terus berlanjut hingga 2013 dan korupsi yang dilakukan oleh Jero Wacik pun tetap terjadi pada waktu yang sama.
Keadaan serupa terjadi di Kementerian Agama. Periode 2011-2014, kementerian ini menerima opini WTP-DPP dari BPK. Pada periode yang sama pula Suryadharma Ali, Menteri Agama kala itu menggunakan Dana Operasional Menteri yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Begitu pula pada kasus korupsi besar, KTP Elektronik yang melibatkan mantan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Irman. Pada 2011 hingga 2012, ia diduga melakukan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP Elektronik yang memperkaya dirinya sebesar Rp2,371 miliar, 877,7 ribu dolar AS, dan 6 ribu dolar Singapura. Saat bersamaan, Kementerian Dalam Negeri justru mendapatkan opini WTP-DPP dari BPK.
Opini BPK ternyata memang tidak berbanding lurus dengan bersih tidaknya aparat di kementerian atau lembaga negara. Idealnya, semakin baik opini yang didapatkan, seharusnya semakin baik pula pengelolaan anggaran di suatu kementerian.
Kenyataannya opini ini hanya digunakan sebagai bentuk penyamaran kementerian agar terlihat baik di mata publik. Banyaknya pejabat yang melakukan korupsi ketika institusinya mendapatkan predikat baik menjadi indikasi bahwa jajaran kementerian semakin ahli dalam merekayasa bukti dan laporan keuangan yang disajikan.Jadi, status WTP maupun WDP dari BPK terhadap sebuah kementerian tak menutup kemungkinan organisasi itu telah terjadi tindakan penyimpangan atau korupsi.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Suhendra