Menuju konten utama

Menyoroti Rekor Opini WTP Laporan Keuangan Era Jokowi

Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi idaman bagi pemerintah di pusat maupun daerah. Namun, status opini yang baik tak otomatis berbanding lurus dengan tidak adanya  penyimpangan.

Menyoroti Rekor Opini WTP Laporan Keuangan Era Jokowi

tirto.id - "Opini WTP atas LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) Tahun 2016 ini merupakan yang pertama kali diperoleh pemerintah pusat setelah 12 tahun menyampaikan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN berupa LKPP sejak tahun 2004.”

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Moermahadi Soerja Djanegara menyampaikannya saat memberi laporan kepada DPR pada Sidang Paripurna di Jakarta, akhir pekan lalu. Opini WTP hanya satu dari tiga opini lainnya yang dapat diberikan BPK yakni Wajar Dengan Pengecualian, Tidak Wajar, dan Menolak Memberikan Opini (Disclaimer).

Dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK punya beberapa kewenangan, antara lain pemeriksaan keuangan laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Setelah memeriksa laporan pemerintah, BPK berhak memberikan pernyataan opini (pernyataan profesional) tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Opini ini didasarkan pada kriteria kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal.

Infografik periksa data Opini BPK

Opini WTP merupakan status opini yang paling diincar oleh seluruh lembaga pemerintah di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah pusat melalui Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) baru pertama kali mendapatkan peringkat WTP untuk laporan 2016. Pemerintah Pusat pertama kali menyampaikan pertanggungjawaban LKPP sejak 2004.

Infografik periksa data Opini BPK

BPK mencatat sejak 2004 hingga 2008, lembaga negara tersebut tidak menyatakan pendapat terhadap LKPP. Opini disclaimer BPK ini mengindikasikan belum ada kemajuan dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Penetapan opini tersebut karena terbatasnya akses BPK atas informasi penerimaan dan piutang pajak serta biaya perkara yang dipungut oleh Mahkamah Agung.

Alasan lainnya adalah kelemahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara, belum tertibnya penempatan uang negara dan belum adanya single treasury account pemerintah, tidak adanya inventarisasi aset serta utang maupun piutang negara, sistem teknologi informasi yang kurang andal dan tidak terintegrasi, kelemahan sistem pengendalian internal pemerintah yang belum mampu melakukan kajian kebenaran laporan keuangan sebelum diperiksa oleh BPK, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait masih adanya penerimaan dan pengeluaran di luar mekanisme APBN.

Kemudian beberapa tahun berikutnya, yaitu 2009 sampai 2015, ada tren perbaikan penyajian laporan keuangan oleh pemerintah, terlihat dari opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang diberikan BPK. Alasan penetapan opini WDP pada 2009 hingga 2015 karena permasalahan pajak, pencatatan yang tidak memadai-–seperti ketidaksesuaian pencatatan laporan dengan bukti fisik, permasalahan dalam pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian (IP) Aset Tetap, dan permasalahan utang.

Infografik periksa data Opini BPK

Pada LKPP 2016, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Peningkatan pemberian status opini ini salah satunya karena pemerintah telah melakukan perbaikan atas permasalahan yang muncul dari pemeriksaan tahun sebelumnya. Perbaikan yang dilakukan pemerintah antara lain penerbitan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, perbaikan pengelolaan dan penatausahaan Piutang Bukan Pajak, serta membangun single database yang terintegrasi.

LKPP sudah mendapatkan opini WTP dari BPK, tapi masalah ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak mempengaruhi secara material kewajaran LKPP 2016. Permasalahan tersebut antara lain pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pengelolaan piutang beberapa Kementerian/Lembaga, serta pengelolaan hibah langsung.

Infografik periksa data Opini BPK

Pada Kementerian/Lembaga, dari 88 lembaga yang melakukan pelaporan, 74 institusi mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan 2016. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya di mana hanya 56 institusi yang mendapatkan opini WTP dari 86 lembaga.

Infografik periksa data Opini BPK

Masih ada 8 institusi yang mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 6 institusi yang tidak diberikan pendapat oleh BPK. Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merupakan institusi yang mendapatkan opini WDP atas laporan keuangan 2016. Sedangkan institusi yang tidak diberikan pendapat oleh BPK atas laporan keuangan 2016 adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Penetapan opini Wajar Tanpa Pengecualian atas LKPP 2016 mengindikasikan bahwa laporan keuangan pada 2016 telah disajikan secara wajar untuk seluruh aspek yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Opini ini juga menandai adanya peningkatan upaya pemerintah terkait dengan perbaikan penyajian laporan keuangan.

Oleh sebab itu, pemerintah pusat dan daerah, serta Kementerian/Lembaga berlomba-lomba untuk memperoleh opini WTP dari BPK. Namun, opini WTP dari BPK tidak menjamin institusi yang bersangkutan bebas dari korupsi. Sebab, jika terdapat temuan yang terindikasi korupsi, tidak otomatis memengaruhi kewajaran laporan keuangan sepanjang tak melewati batas materialitas yang ditetapkan. Kata kuncinya adalah kewajaran. Wajar artinya laporan keuangan tersebut secara umum pencatatannya sudah sesuai SAP dan kewajaran bukan berarti kebenaran atas suatu transaksi.

Sebab SAP hanya mengatur kapan suatu transaksi dicatat dengan nilai berapa dan informasi apa saja yang harus diungkapkan. Namun, BPK wajib mengungkap temuan terkait dengan ketidakpatuhan dalam laporan keuangan. Apabila terdapat indikasi penyimpangan terhadap aturan, BPK dapat melakukan pemeriksaan investigatif untuk menilai apakah ada praktik korupsi di dalamnya. Bila persoalan korupsi terjadi tentu menjadi ranah KPK.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saud Situmorang pernah menyatakan status perolehan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pengelolaan keuangan suatu daerah atau pusat bukan jaminan daerah terlepas dari korupsi.

"Meski mendapat WTP pada satu daerah, belum tentu tidak terjadi korupsi di daerah itu," ucap Saud dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Scholastica Gerintya

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Scholastica Gerintya
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Suhendra