tirto.id - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), Jumat kemarin (26/5). Kali ini yang dicokok adalah pejabat Badan Pemeriksa Keuangan berinisial RS, AS, dan Y. Di saat bersamaan, salah seorang pejabat dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa) digelandang ke kantor KPK.
“OTT dilakukan di Jakarta terkait penyelenggara negara di salah satu institusi," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta.
Febri enggan menjelaskan operasi itu dilakukan atas perkara apa. KPK sendiri masih melakukan pemeriksaan mendalam terhadap para pejabat tersebut.
"Ada waktu maksimal 1 x 24 jam untuk memeriksa mereka, nanti disampaikan perkembangannya," kata Febri kepada para wartawan.
Ditemui secara terpisah, Sekjen BPK Hendar Ristriawan membenarkan ada tiga orang dari institusinya yang ditangkap tim satgas KPK. Salah satunya auditor utama keuangan negara III BPK.
Ia menjelaskan, Jumat sore kemarin, pukul 15.12, penyidik KPK mendatangi kantornya. “Petugas KPK itu langsung menuju ke salah satu ruangan auditor," ujarnya di kantor BPK, Jalan Gatot Subroto.
Pukul 17.08, dua pejabat dan seorang staf BPK dibawa ke KPK. Setelahnya, petugas KPK menyegel dua ruangan di BPK.
Sementara itu, Menteri Desa Eko Putro Sandjoyo mengonfirmasi bahwa KPK membawa salah seorang pegawainya. Namun Eko belum tahu siapa si pegawai tersebut, yang dalam pemeriksaan KPK. Ia mengatakan, KPK menyegel salah satu ruangan di kementeriannya sekitar pukul 18.00.
"Yang jelas ada ruangan di kantor biro keuangan saya yang disegel sama KPK," ujar Eko, Jumat kemarin (26/5).
Anggota III BPK Achsanul Qosasi belum tahu secara mendetail mengenai kasus yang menyebabkan sejumlah orang dari institusinya ditangkap KPK. Sejauh ini ia baru menduga penangkapan itu terkait dengan Kemendes. Ia bilang BPK akan menggelar konferensi pers hari ini.
Dugaan Suap soal Status 'WTP' untuk Kementerian Desa
Kamis pekan lalu (18/5), BPK memaparkan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016. Opini BPK adalah "Wajar Tanpa Pengecualian" (WTP). Ini kali pertama pemerintah pusat mendapatkan predikat 'WTP' setelah 12 tahun. Predikat 'WTP' menjadi idaman bagi pemerintah pusat maupun daerah.
Kewenangan BPK memberikan opini alias pernyataan profesional ini menyangkut tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Opini ini didasarkan pada kriteria sesuai standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal.
Selain status opini 'WTP', tiga opini lain yang dapat diberikan BPK adalah 'Wajar dengan Pengecualian', 'Tidak Wajar', dan 'Menolak Memberikan Opini (Disclaimer)'. Selama 2004 hingga 2008, BPK tidak memberikan pendapat alias disclaimer terhadap laporan keuangan pemerintah pusat.
Belakangan ada perbaikan, sehingga BPK menyatakan opini 'Wajar dengan Pengecualian' atas LKPP sejak 2009 hingga 2015. Status opini ini lantaran masih ada masalah pajak, pencatatan tidak memadai (seperti ketidaksesuaian pencatatan laporan dengan bukti fisik), masalah dalam pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset tetap, dan masalah utang.
Meski tahun opini BPK adalah 'wajar tanpa pengecualian', yang artinya keuangan pemerintah pusat menyandang predikat baik, tetapi ia tidak serta-merta bersih dari penyimpangan.
Baca lebih lengkap periksa data Tim Riset Tirto mengenai mekanisme pemberian predikat oleh BPK tersebut: Menyoroti Rekor Opini WTP Laporan Keuangan Era Jokowi
Selama ini, kata Apung, ada kecurigaan soal "jual-beli" status WTP yang diberikan BPK terhadap lembaga atau kementerian di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Ia berpendapat, penangkapan oleh KPK harus dijadikan momentum reformasi total BPK.
BPK, anjur Apung, harus menjalankan reformasi internal dengan memperbaiki sistem integritas internal auditor. Langkah kedua adalah merombak pimpinan BPK yang harus bersih dari jaringan partai politik.
"Bagaimana (negara) kita akan bersih dari korupsi kalau auditornya, yang menentukan kerugian negara, justru malah korupsi juga?" ujar Apung, diplomatis.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam