tirto.id - Pada pekan pertama Juli lalu, Banda Aceh diterpa angin kencang. Bukan hal istimewa memang karena letak kota ini, yang menghadap Samudera Hindia sekaligus Selat Malaka, membuatnya kerap jadi santapan angin laut sehari-hari. Cuaca seperti itu berlanjut hingga keesokan hari. Ia akan menjadi hari biasa jika saja tak ada kejadian yang bikin percakapan warung kopi tambah hangat: payung elektrik Masjid Raya Baiturrahman robek.
Informasi itu beredar cepat di grup WhatsApp. Saya yang mengetahui kabar itu bergegas ke masjid raya. Begitu sampai, 12 pilar payung elektrik sudah menutup. Kabarnya, ditutup secara manual oleh petugas. Padahal payung elektrik ini—bila benar sesuai klaim spesifikasinya—seharusnya dapat membuka tutup otomatis layaknya payung di Masjid Nabawi; kiblat gaya arsitektur untuk mengubah rona Masjid Raya Baiturrahman.
Payung elektrik itu hasil renovasi masjid raya menggunakan pagu anggaran tahun 2016 dengan total biaya Rp492 miliar, yang dilaksanakan PT Wijaya Karya sebagai pemenang tender.
Dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan yang disimpan redaksi Tirto, ada kejanggalan biaya revitalisasi dan lanskap masjid raya. Di antaranya ada delapan pekerjaan subkontrak yang dikerjakan tanpa persetujuan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA): payung elektrik; instalasi elektrikal; instalasi elektronik; alarm kebakaran; sistem tata suara; sistem CCTV; lanskap; dan tiang pancang. Praktis, pembayaran kepada subkontraktor itu tanpa sepengetahuan KPA.
Pembiayaan pengadaan payung elektrik sebesar Rp112 miliar dikerjakan oleh PT. MSP sebagai subkontrakor. Namun, baru setahun berdiri di halaman masjid, payung-payung raksasa ala Masjid Nabawi itu sudah rusak. (Dalam dokumen audit BPK, nama perusahaan hanya tertulis PT. MSP.)
Temuan lain dari hasil audit BPK mengenai penetapan harga satuan proyek yang tak sesuai harga kontrak awal. Misalnya, biaya pengerjaan kakus dengan volume 121,67 meter kubik. Dalam kontrak awal, harganya Rp26.444 per meter kubik. Namun, saat pengerjaan berubah menjadi Rp410.122 per meter kubik. Total pembiayaan proyek kakus ini membengkak menjadi Rp50 juta dari yang seharusnya hanya Rp3,2 juta.
Dugaan penggelembungan biaya infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman bukan satu-satunya kasus korupsi di bumi Serambi Mekkah.
Kasus lain tentu terkait perkara yang menyeret Gubernur Aceh saat ini Irwandi Yusuf. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Irwandi terkait dugaan penerimaan suap bersama bupati nonaktif Bener Meriah terkait pengerjaan proyek yang menggunakan dana otonomi khusus.
Dalam pembagian dana otsus kabupaten/kota tahun anggaran 2017, Bener Meriah menerima Rp127,3 miliar dari total Rp3 triliun dana otsus untuk kabupaten/kota. Jumlah ini masih kecil ketimbang alokasi anggaran untuk Kabupaten Aceh Timur sebesar Rp252 miliar.
“Ini terjadi setelah dana otsus sepenuhnya dikelola oleh provinsi. Memang sudah ada alokasi tiap kabupaten/kota dapat berapa saja sesuai kriterianya seperti luas wilayah dan lain-lain. Tapi di sana juga ada negosiasi. Dan negosiasi ini yang memunculkan potensi suap,” ujar Alfian dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), organisasi nirlaba antikorupsi setempat.
Seminggu setelah Irwandi ditangkap KPK dan diterbangkan ke Jakarta, awal Juli 2018, KPK menggeledah sejumlah kantor dinas di Aceh. Di antaranya Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan. Dari Dinas Kesehatan, KPK menyita sejumlah dokumen proyek tentang dugaan suap terkait alokasi anggaran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA). Lembaga antirasuah itu agaknya ingin sapu bersih semua kasus terkait dana otsus.
Sebulan sebelum penangkapan Irwandi, pimpinan KPK Laode M. Syarif sempat berkunjung ke Aceh dan mengundang semua kepala daerah. Dalam pertemuan itu ia menegaskan Aceh saat ini sudah masuk dalam penindakan, bukan lagi pengawasan.
Mengapa KPK Baru Menyasar Korupsi di Aceh?
Korupsi di Aceh bagaikan bau tahi ayam. Semua tahu tapi tak ada wujudnya. Praktiknya mengakar dari hulu hingga ke hilir. Dari tingkat provinsi hingga ke dinas-dinas dan kabupaten. Bukan hanya di tahun-tahun sekarang, tapi juga sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya.
Ini bukan kali pertama Irwandi Yusuf berurusan dengan KPK. Saat ia menjabat gubernur Aceh periode 2007-2012, ia pernah diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan korupsi pelaksanaan pembangunan dermaga bongkar di Sabang pada tahun anggaran 2011. Karena proyek ini penunjukan langsung, Irwandi diduga memiliki peran penting. Kasus ini masih terus bergulir di KPK.
Kasus korupsi lain yang sebenarnya tengah bergulir tapi minim sorotan adalah dugaan korupsi dana beasiswa Lembaga Pengembangan Sumber Daya Masyarakat tahun anggaran 2017 sebesar Rp19,8 miliar. Kasus ini bermula saat delapan mahasiswa penerima beasiswa LPSDM mengaku belum menerima dana beasiswa padahal, menurut info yang beredar, dana itu sudah dicairkan.
Pada akhirnya delapan mahasiswa itu tetap menerima dana beasiswa tapi tidak seperti yang dijanjikan. Misalnya, ada yang mendapatkan hanya Rp7 juta padahal dalam perjanjian awal seharusnya masing-masing Rp35 juta. Program beasiswa pendidikan ini memiliki 803 mahasiswa penerima.
Program beasiswa ini salah satu program unggulan pada masa Irwandi Yusuf, baik saat ia menjabat pada 2007 maupun 2017. Pengusulannya diajukan oleh 24 anggota DPR Aceh. Namun, toh, anggaran untuk kebijakan populis ini pun dikebiri.
Indikasi Korupsi Era Zaini-Muzakir
Pada masa Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, yang memimpin Aceh pada 2012-2017, dugaan korupsi pun mengemuka, tapi minim tindakan dari KPK; hanya jadi rahasia umum dalam obrolan warung kopi.
Dalam laporan organisasi nirlaba antikorupsi setempat bernama GeRAK (Gerakan Anti Korupsi Aceh), melalui hasil pengawasan 2015, tercatat 20 dugaan korupsi di masa pemerintahan para elite GAM itu dengan total kerugian negara mencapai Rp885 miliar.
Salah satu yang terbesar adalah paket pengadaan boat 40 GT dan 30 GT sebanyak 40 unit di 16 kabupaten/kota sebesar Rp136 miliar, dengan harga kapal masing-masing senilai Rp2,4 miliar.
Dalam surat verifikasi calon penerima kapal perikanan tertanggal 17 Juli 2013, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh secara jelas menyebut pengadaan perahu ini untuk para mantan kombatan GAM.
Namun, ada sejumlah kejanggalan saat pengadaan proyek itu. Pada Oktober 2013, salah satu kelompok nelayan penerima kapal melayangkan surat keberatan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan. Mereka menjelaskan bahwa spesifikasi kapal yang diterima mereka tak sesuai dengan spesifikasi awal. Misalnya, ketinggian geladak kapal, baut kapal yang tak sesuai bobot kapal, banyak papan saf yang renggang, dan sebagainya.
GeRAK menyelidiki kejanggalan itu ke sejumlah kabupaten penerima pengadaan kapal tersebut. Askalani dari GeRAK menunjukkan foto-foto hasil temuan lapangan kepada saya. Pada gambar itu banyak kapal yang akhirnya tak terpakai lantaran rusak dan karam. Pihak kelompok nelayan tak punya cukup uang untuk biaya perbaikan kapal.
“Spesifikasi seperti ini seharusnya cukup Rp1 miliar saja,” ujar Askalani.
Pengadaan kapal ini salah satu program bantuan hibah untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi mantan kombatan GAM pada tahun anggaran 2013. Program senilai Rp547 miliar ini disebar ke sebelas dinas, dengan alokasi dana yang variatif. GeRAK menilai banyak program ini yang tidak tepat sasaran dan sulit diaudit.
Misalnya program penggemukan sapi dan budidaya ayam petelur yang menyedot anggaran Rp54 miliar. Hasil pengawasan GeRAK, dinas setempat tidak melakukan verifikasi calon penerima hibah. Pemberian 100 ribu ekor ayam pun tak tepat sasaran dan sulit diaudit. Terakhir, program penggemukan sapi; banyak sapi justru dipotong pada saat Idulfitri sehingga tak produktif.
“Modusnya seperti itu. Biasanya membuat program pengadaan bibit ratusan ribu. Siapa coba yang mau hitung ratusan ribu bibit? Ada yang mati juga mau bagaimana?” sahut Askalani.
Ada pula program hibah untuk Satpol PP dan Wilayatul Hisbah—sebutan untuk polisi syariat—sebesar Rp9 miliar dengan rincian: gaji satgas, bantuan meugang (untuk hewan kurban), biaya pakaian dinas lapangan, kegiatan patroli, dan pembangunan masjid.
Kedua organisasi antikorupsi di Aceh itu sudah melaporkan sejumlah temuannya kepada KPK, kejaksaan tinggi, maupun kepolisian. Beberapa di antaranya, terutama kasus-kasus korupsi pada era Zaini-Muzakir, masih mandek direspons.
“Kami hubungi Kejati. Tidak jelas juga kenapa tidak ada kelanjutannya,” ujar Askalani.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam